ARR, pelajar SMA usia 15 tahun itu berjalan di belakang kelas menuju kawannya yang sedang duduk di pojok. Lalu..set..set…sebilah pisau diarahkan ke tubuh kawannya. Lengan dan lambungnya terkena tusukan. Melihat korban berdarah, ARR melarikan diri tapi kemudian dapat diamankan satpam di gerbang sekolah.
Peristiwa kekerasan yang terjadi di salah satu SMA negeri di Banjarmasin itu terekam kamera CCTV di dalam kelas. Videonya langsung viral di media sosial. Pelaku kini sedang diperiksa kepolisian. Dalam pengakuannya, ARR merasa sakit hati karena sering dibully kawan-kawannya sejak SMP. Korban adalah salah satu pelaku yang kerap melakukan perundungan pada dirinya.
Sementara itu ayah korban menyangkal kalau anaknya adalah pelaku perundungan. Ia melihat chat antara anaknya dan pelaku sama sekali tak ada tanda-tanda perundungan. “Tidak ada indikasi bahwa anak saya ini melakukan tindakan bullying,” katanya.
Sebelum kejadian di Banjarmasin, peristiwa mengejutkan juga terjadi di Jawa Tengah. Seorang pelajar putra kelas VII SMPN 2 Pringsurat, Temanggung, membakar sekolah karena merasa sakit hati sering dibully oleh kawan-kawannya. Meski demikian, Kepala Sekolah yang bersangkutan malah menyebut pelaku sering caper. Hal lain yang mengundang keheranan dan kemarahan publik, saat konferensi pers, pelaku yang masih pelajar dibawa dengan menggunakan tutup kepala dan wajah serta diborgol, lengkap dikawal polisi bersenjata. Seolah pelaku adalah teroris atau pembunuh berbahaya.
Kejahatan Dalam Kesunyian
Siapa saja yang sering memperhatikan dunia pendidikan dan perkembangan sosial di tanah air akan percaya kalau Indonesia darurat perundungan. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, juga berpendapat demikian. Sebab, sekitar 25 persen peserta didik di Indonesia mengalami berbagai bentuk perundungan berdasarkan hasil Asesmen Nasional (AN) 2021.
Tapi perlu digarisbawahi angka itu adalah yang terlaporkan alias puncak gunung es. Jumlah sebenarnya bisa jadi lebih banyak. Sebabnya, perundungan adalah tindakan menyakiti seseorang dalam kesunyian. Pelaku melakukannnya dengan hati-hati, korban memilih diam karena takut, dan kawan-kawan yang tahu cenderung juga tutup mulut. Biasanya baru akan terdeteksi ketika jatuh korban secara fisik atau korban membalas seperti dua kejadian di atas.
Banyak guru dan orang dewasa, termasuk orang tua yang kerap mengabaikan terjadinya perundungan. Biasanya mereka akan menganggap itu adalah hal biasa dalam dunia pertemanan. “Drama kehidupan”, begitu dalam istilah orang dewasa.
Begitu sunyinya aktivitas perundungan, orang tua pelaku perundungan belum tentu tahu anak mereka melakukan tindak kekerasan pada orang lain. Pelaku perundungan biasanya akan berhati-hati dan menyembunyikan semua tindakannya. Mereka juga akan merahasiakan atau menghapus chat, atau malah tidak akan menggunakan chat sebagai sarana komunikasi dengan korban atau sesama pelaku perundungan. Jangan harap guru atau orang tua bisa mudah mendeteksinya atau melihatnya dari chat di ponsel mereka.
Lebih malang lagi, tidak sedikit korban justru dipersalahkan oleh lingkungan. Misalnya korban dianggap overthinking (terlalu berpikir buruk tentang pertemanan), lebay dan baperan. Orang dewasa akan menuntut anak atau murid-muridnya bermental kuat, tanpa mereka tahu seberapa dalam luka perundungan itu menimpa.
Ada korban perundungan yang memilih menutup diri dari semua orang, termasuk dari orang tuanya. Ada beberapa remaja yang hanya bisa menangis ketika ditanyakan pengalaman pahit yang mereka alami tersebut. Ada juga yang kemudian tak tahan memilih pindah sekolah. Kondisi terparah adalah melakukan pembalasan atau bunuh diri seperti dalam sejumlah kasus.
Kegagalan penanganan perundungan terlihat selain dari meningkatnya jumlah perundungan, juga dari sikap orang tua, guru dan lingkungan yang lebih fokus pada apa yang dilakukan korban, bukan pada pencegahan dan penanganan perundungannya. Dalam kasus di Banjarmasin itu – dengan asumsi pelaku benar korban perundungan –, maka akan terfokus pada kekerasan yang ia lakukan sebagai pelaku, bukan sebagai korban perundungan. Sama seperti pembakaran sekolah oleh siswa di Temanggung, maka yang tersangka adalah siswa pelaku pembakaran. Sementara aktivitas perundungan dan para pelakunya tetap tersembunyi dan tidak ada perlakuan untuk menyembuhkan mereka.
Cegah Dan Tangkal
Perundungan yang makin marak adalah tanda kegagalan pendidikan dalam sistem sekulerisme. Tanda ketika pendidikan tidak menghasilkan para pelajar yang beradab, tapi justru suka menindas orang lain. Anak-anak kita hanya dijejali beban akademik, tapi dijauhkan dari adab. Tidak heran akan bermunculan mesin-mesin kekerasan di tengah masyarakat; kekerasan politik lewat kebijakan, kekerasan fisik dan perundungan.
Namun bukan berarti umat Muslim harus berdiam diri di tengah derasnya arus perundungan pada anak-anak dan pelajar. Tetap harus ada langkah yang diambil untuk meminimalisir dan mencegah berulangnya perundungan pada anak-anak kita.
Diantaranya adalah:
Pertama, ciptakan rasa aman dan nyaman di tengah lingkungan keluarga. Jadilah orang tua yang berkarakter pelindung dan kasih sayang. Sehingga anak-anak terbebas dari rasa terintimidasi. Landasan paling kuat untuk keluarga adalah iman dan takwa. Maka orang tua harus bisa menjadi cerminan pribadi muslim yang salih dan salihah dan menularkan kesalihan pada anak-anak.
Dengan suasana keluarga yang seperti ini, maka anak-anak akan tercegah menjadi pelaku perundungan. Bila mereka mengalami perundungan mereka tahu kalau orang tua mereka bisa dipercaya untuk menolong mereka. Ini penting karena dalam banyak kasus perundungan banyak korban tidak mau mengungkap kekerasan yang mereka alami sekalipun pada orang tua sendiri.
Kedua, para pendidik, baik guru, muadib/ah atau para ustadz/ah, harus membekali diri dengan skill pencegahan dan penanganan bullying. Harus ada penambahan skill khusus bagi para pendidik untuk hal itu yang mencakup diantaranya;
- Mengetahui jenis-jenis perundungan,
- Mengetahui grup-grup siswa/pelajar dalam menghadapi perundungan,
- Mengetahui jejaring perundungan dan memutuskan mata rantainya
- Memulihkan mental korban perundungan
- Memulihkan pertemanan yang rusak akibat perundungan
- Membangun keberanian para siswa dalam mencegah perundungan
- dsb
Ketiga, penting mengetahui latar belakang terjadinya perundungan dan latar belakang para pelaku. Agar bisa dibedakan mana yang sebenarnya pernah menjadi korban, atau anak yang mengalami salah pengasuhan sehingga memiliki cacat kepribadian, dan mana yang sudah berani melakukan tindak perundungan yang berbahaya seperti melakukan pemerasan, tindak kekerasan, dsb.
Jadi, jangan sampai menunggu kondisi ideal tegaknya kehidupan Islam untuk menghentikan perundungan. Ada langkah-langkah praktis dan krusial yang bisa dilakukan untuk menangani hal ini. Tentu sebatas kemampuan yang bisa dilakukan.
Pakar Parenting Islam