Pengamat hubungan internasional Dr. Hasbi Aswar menyatakan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Perancis meruoakan respin masyarakat karena sikap negara yang tidak mampu menjamin kesejahteraan ditambah lagi adanya diskriminasi yang sistematis sistematis dan masif.
“Tapi respon dari kegelisahan dan kekecewaan masyarakat, khususnya masyarakat yang terpinggirkan di Perancis, karena sikap negara yang tidak mampu menjamin kesejahteraan pada mereka gitu ditambah lagi adanya diskriminasi yang sistematis, masif dan struktural,” ungkapnya dalam Program Fokus: Rusuh Perancis, Kegagalan Sekulerisme Tata Masyarakat Plural? di kanal YouTube UIY Oficial, Ahad (9/7/2023).
Ia menegaskan bahwa Presiden Perancis Emmanuel Macron adalah seorang yang berasal dari partai yang menyebut diri mereka sebagai sekuler dan demokratis tapi partainya ini termasuk Macron ini adalah seorang yang Islam phobia dan termasuk mengakomodasi kelompok sayap kanan sejak tahun 2017 sampai sekarang.
"Para politisi ini menggunakan media, bekerja sama dengan media untuk selalu menggembar-gemborkan isu tentang Islam tidak sesuai dengan Perancis, kemudian umat Islam di Perancis tidak bisa klop dengan budaya Perancis, umat Islam itu berbahaya, imigran itu berbahaya. Nah itu yang mengakibatkan terjadi perasaan insecure gitu. Perasaan terancam masyarakat Perancis terhadap muslim," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa konsep-konsep toleransi atau konsep Hak Asasi Manusia (HAM) dan konsep demokrasi ala Perancis ternyata tidak berlaku kepada orang non Muslim.
“Jadi kalau selama ini kita akan memahami bahwa ide-ide liberal, sekuler, kemudian HAM itu berlaku secara universal tapi ternyata negara-negara barat sendiri itu tidak bisa betul-betul mengaplikasikan itu ketika bertemu dengan bangsa atau orang ataupun agama yang berbeda dengan dengan suku atau bangsa mereka. Dan itu yang terjadi di Perancis,” cetusnya.
Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa para politisi ini sebenarnya ingin mengalihkan perhatian masyarakat terhadap persoalan sebenarnya yaitu pada saat Macron terpilih menjanjikan adanya pemerataan kesejahteraan dan mendesain ekonomi menjadi lebih sejahtera, tapi sampai saat ini yang terjadi adalah kondisi menjadi semakin buruk karena Covid-19 dan perang Rusia dengan Ukraina.
“Isu-isu identitas yang dilemparkan oleh rezim yang berkuasa itu akan membuat perhatian masyarakat menjadi teralihkan dari isu-isu yang sifatnya primer yang seharusnya mereka hadapi dan sikapi menjadi isu-isi yang sifatnya lebih supervisial atau lebih sekunder. Begitulah cara rezim yang ada sekarang itu memainkan atau menutupi kegagalan mereka dengan mengangkat isu-isu yang lain dengan menciptakan musuh-musuh bersama,” pungkasnya.[]Prama AW
Rubrik
Internasional