Anak tinggi besar itu, Dion, terus terusan menangis. Sekuat apapun ia berusaha mencoba tak menangis, tapi tetap saja ia menangis juga. Berkali-kali ia mengusap air mata yang meleleh di pipinya.
Malam itu Dion, pelajar satu SMP di Bogor, curhat pada saya dalam sesi kumpul dengan para remaja di satu sekolah swasta. Ia bertanya, “Pak, bagaimana ya kalau orang tua kita suka merendahkan kita?” Kemudian ia bercerita kalau orang tuanya suka menyebutnya tidak becus, dan lain-lain. Ketika saya menjelaskan bagaimana semestinya orang tua bersikap pada anak, air mata Dion mulai meleleh.
Saya terhenyak. Ini memang salah satu problem pengasuhan anak. Kita, orang tua seringkali tidak sabar dalam mendidik anak-anak. Saat anak tidak bisa memenuhi harapan kita, amarah serta merta keluar. Kita menjadi orang tua yang tidak sabaran. Sumbu pendek.
Kita juga lebih punya semangat menyalahkan ketimbang mencari solusi. Padahal semestinya kita sadar sesadar-sadarnya kalau kecerdasan dan kemampuan anak memang sedang berkembang. Banyak hal yang sudah kita pahami, mereka tidak paham. Coba saja yang simpel; tidak semua anak tahu cara menguras bak mandi. Maka saat ia tidak bisa melakukannya apa seharusnya yang kita lakukan? Tentu mengajarkannya cara menguras bak mandi yang benar. Bukan memarahinya.
Orang tua harusnya berfungsi sebagai pendidik, bukan semata yang melahirkan anak dan memberi mereka uang jajan. Namun banyak orang tua yang tidak sadar dan tidak mau belajar mengembangkan ketrampilan mendidik anak. Bila sudah demikian maka langkah yang paling praktis yang bisa dilakukan orang tua adalah memarahi anak, mencemoohnya dan melecehkannya.
Itulah yang dirasakan Dion, juga mungkin anak-anak kita. Padahal, saat kalimat cemoohan dan bentakan itu terlontar, hati anak terluka. Apa yang kemudian terjadi? Umumnya bila anak sering dibentak dan dihina orang tuanya, maka akan terbentuk self-image atau citra-diri dalam pikiran mereka.
Anak yang sering disebut ‘dasar bodoh’ atau ‘dasar nakal’ oleh orang tuanya, maka akan melekat citra diri seperti itu dalam benak mereka. Itu karena citra diri tumbuh berkembang bersumber dari apa yang anak percayai dari dalam dirinya, dan dari penerimaan lingkungan terhadap dirinya. Ketika lingkungan di sekitarnya – terutama orang tua – merendahkan dirinya, maka citra diri itu yang tumbuh dalam dirinya. Ia akan menjadi pribadi yang rendah diri, inferior dan hilang kepercayaan.
Mari kita renungkan, apakah ada orang tua yang ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi seperti demikian? Pribadi yang rendah diri, serba gamang, tak punya kepercayaan diri? Bukan salah anak bila mereka berkembang menjadi pribadi kacau seperti itu. Anak hanyalah produk pendidikan dan pengasuhan orang tua. Sayang orang tua sering tak sadar bahwa lidah merekalah yang telah membuat keruh hati anak-anak sejak kecil. Padahal hati setiap anak itu awalnya adalah bersih, sampai lidah orang tualah yang mengotorinya.
Pantas bila Rasulullah SAW. mengingatkan setiap dari kita untuk menjaga lisan sebaik-baiknya. Apalagi bila sampai mendatangkan petaka yang besar di kemudian hari. Sabda Beliau:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat”
Ayahbunda, kendalikan lisan saat berhadapan dengan buah hati kita. Sampaikan hanya perkataan yang ma’ruf, perkataan yang memberi motivasi, harapan dan doa. Bukan perkataan yang merusak pikiran dan hati mereka. Karena, hati anak terletak pada lidah orang tua.
Oleh: Ustadz Iwan Januar
Pakar Parenting Islam
Pakar Parenting Islam
Rubrik
Keluarga