Filosofi Pasangan dan Mahar di Mata Said bin Al Musayyab

Filosofi Pasangan dan Mahar di Mata Said bin Al Musayyab

Di sini, di Madinah, seorang tabiin hebat, Said bin al-Musayyab hidup. Beliau dikenal sebagai ahli fikih, ulama dan ahli zuhudnya penduduk Madinah. Saking luar biasanya beliau, sampai Abdullah bin Umar berkata, “Andai Rasulullah melihat ini, pasti membuat senang baginda.”

Beliau berhaji lebih dari 30 kali. Tidak pernah menjadi “masbuq” pada takbir pertama dalam setiap shalat jamaah di masjid selama 40 tahun. Beliau selalu duduk di shaf terdepan, sehingga tidak pernah melihat belakang kepala orang.

Ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan meminang putri Said untuk putranya, meski dengan harta dan kedudukan luar biasa, tetapi semuanya itu tak membuat beliau tertarik. “Apa artinya semuanya ini? Tentang aku, seperti yang Anda dengar. Adapun kamu, sebagaimana yang aku lihat.” Beliau melanjutkan, “Kami telah mendapat riwayat (hadits), bahwa dunia ini di mata Allah tak sebanding dengan sayap lalat.”

Dengan lantang beliau katakan, “Lihatlah apa yang Anda bawa kepadaku. Coba kamu bandingkan dengan dunia ini, semuanya. Maka, Anda telah membandingkan untukku tak lebih dari sayap lalat saja.” Beliau melanjutkan, “Sebelumnya aku ditawari 30,000 Dinar. Aku katakan, “Aku tidak butuh semuanya ini.”

Alasan beliau menolak pinangan itu karena beliau kelak akan disoal oleh Allah. Saat memghadap Allah sendiri-sendiri, justru hisab Amirul Mukminin paling berat. Bagaimana mau mengurus putri beliau, mengurus dirinya saja belum tentu lulus.

Pendek kata, pinangan itu pun ditolak. Setelah itu, beliau mengisi majlisnya di Madinah. Ada yang bertanya kepada beliau tentang pasangan hidup dan mahar. Soal pasangan hidup, beliau mengutip firman Allah

هُوَ ٱلَّذِی خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسࣲ وَ ٰ⁠حِدَةࣲ وَجَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا

“Dialah yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa, dan dari sana, Dia jadikan pasangannya.” [Q.s. Al-A’raf: 189]

Pasangan hidup itu ditemukan bukan pada hartanya, tapi ketika dia bisa menutupi kekurangannya. Ketika keduanya sama-sama cocok. Karena itu, keduanya diibaratkan satu badan (jiwa). Tubuh yang satu dengan yang lain sama-sama menginginkan kebaikan dan kehidupan.

Mengapa Said bin al-Musayyab menolak pinangan Sang Khalifah untuk putranya? Itu karena, pasangan hidup di mata beliau bukan hanya menyatukan raga, tetapi juga jiwa (ruh)

Beliau membayangkan betapa tersiksanya putri beliau saat hidup bersama pasangannya, meski raganya bersama, tetapi ruhnya tidak. Hidup di istana tetapi tidak bahagia

Beliau ditanya oleh murid di majlisnya, “Wanita yang terbaik menurut Anda seperti apa, wahai Syaikh?” Beliau menjawab, “Yang paling baik, dan paling murah maharnya.” Sontak yang hadir bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin, wanita yang paling baik, maharnya paling murah.”

Beliau kemudian menjelaskan. “Begini, kalian membeli hewan mahal, karena apanya?” Mereka menjawab, “Kerena beratnya, atau keindahannya?” Beliau lalu menjelaskan nalarnya, “Apakah kalian menyamakan manusia dengan hewan?” Jawabannya tentu tidak.

Manusia tidak dihargai dari berat, fisik dan penampilannya. Tetapi dari adab dan akhlaknya, dari hati dan kesalihannya. Karena itu, mahar yang diberikan bukan untuk menghargai semuanya itu, tetapi dia hanya syarat dhahir ikatan nikah.

Mahar yang sesungguhnya, kata beliau adalah apa yang diberikan setelahnya. Ketika suami menjaga, menutupi dan menyempurnakan kekurangan isterinya. Ketika suami memperlakukan isterinya dengan baik. Ketika jiwa dan raganya menyatu dengan isterinya, sehingga lelah letih bersama, begitu juga suka dan duka bersama

Itulah makna “Sekufu”, pasangan yang sama, cocok, saling melengkapi, menutupi, dan menyatu seolah menjadi satu tubuh. Tubuh dengan jasad dan ruh yang satu

Itulah filosofi pasangan dan mahar menurut Said bin al-Musayyab. Dengan filosofi itulah, beliau akhirnya memilihkan pasangan untuk putrinya, bukan karena kaya, fisik atau penampilannya, tetapi karena melihat akhlak, adab, hati dan keshalihannya

Murid yang beruntung itu adalah murid beliau yang miskin, tidak memiliki apa-apa. Bahkan ketika ditawari untuk menikahi putrinya, murid itu bertanya, “Siapa yang akan menikahkan orang miskin seperti al-Faqir ini?” Gurunya menjawab, “Saya..” Kata-kata itu seolah dibisikkan oleh Malaikat ke telinganya terngiang-ngiang terus.


Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA.
Fadhilatul Mudir Ma’had Wakaf Syaraful Haramain


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال