Pasca penetapan tersangka kasus dugaan korupsi proyek Base Transceiver Station (BTS) 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang dialami oleh sekjen partai Nasdem Jhony G. Plate, beredar gosip politik bahwa aliran dana korupsi itu juga mengalir ke tiga partai politik lain (Tempo.co 23/05/2023)
Jika isu yang beredar ini benar, maka ini menambah rentetan panjang cerita partai politik sebelumnya yang juga menjadikan uang hasil bancakan korupsi sebagai alat pembiayaan operasional partai.
Tentu saja fenomena ini bukan hal aneh dan baru dalam politik demokrasi saat ini. Bahkan boleh dikatakan bahwa antara demokrasi dan korupsi seperti saudara kembar yang sulit dipisahkan
Kedudukan partai politik yang berfungsi sebagai wadah bagi berbagai kelompok masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya memungkinkan masyarakat dapat memilih perwakilannya untuk duduk di lembaga perwakilan seperti parlemen. Dalam tataran teori, konsep ini seolah sederhana dan aplikatif untuk dilaksanakan tanpa ada masalah
Sayangnya, ketika Orde Baru runtuh pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi, dan ini memulai proses liberalisasi politik yang signifikan. Reformasi politik pasca-Orde Baru menghasilkan amandemen terhadap UUD 1945 yang memperkuat pemisahan kekuasaan dan menciptakan ruang untuk partisipasi politik yang lebih besar.
Salah satu perubahan yang paling signifikan adalah pengenalan pemilihan presiden langsung oleh rakyat, yang diadakan untuk pertama kalinya pada tahun 2004 dan menghasilkan keterpilihan SBY sebagai presiden RI yang dipilih langsung oleh rakyat untuk pertama kalinya pasca reformasi.
Harus diakui bahwa liberalisasi partai politik pasca Orde Baru telah memperluas partisipasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Namun, juga harus disadari ternyata muncul tantangan baru, seperti fragmentasi politik, politik uang, dan isu korupsi.
Sudah jadi rahasia umum bahwa kampanye politik di Indonesia seringkali membutuhkan dana yang sangat besar, terutama pada tingkat nasional. Para kandidat dan partai politik perlu untuk mengumpulkan dana sebanyak mungkin untuk membiayai kampanye mereka.
Biaya politik yang tinggi ini bisa memicu praktik politik uang, dimana para politisi bisa menggunakan uang untuk mempengaruhi pemilih atau membeli dukungan rakyat
Konsekuensi logisnya adalah politisi yang telah membelanjakan uangnya dalam jumlah yang besar untuk kampanye pasti akan berusaha untuk "mendapatkan kembali" investasinya tersebut. Misalnya, mereka mungkin akan menerima suap atau bahkan memanipulasi proyek pemerintah untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya. Inilah pola yang sudah terjadi secara berulang-ulang saat ini dalam perjalanan demokrasi di Indonesia
Sayangnya, upaya perbaikan bukannya menyelesaikan persoalan ini, tetapi justru memperbesar potensi korupsi baru.
Kita tentunya tahu bahwa menuju pilpres 2024 terdapat sejumlah aturan presidensial threshold atau ambang batas pencalonan presiden. Dalam presidensial threshold ini mensyaratkan bahwa hanya partai politik atau koalisi partai yang memperoleh sekurang-kurangnya 20% kursi parlemen atau 25% suara nasional dalam pemilihan legislatif yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Aturan ini awalnya dimaksudkan untuk memastikan stabilitas politik dan mencegah fragmentasi politik yang berlebihan. Namun, justru aturan ini juga memiliki beberapa dampak negatif, termasuk potensi untuk terciptanya korupsi baru
Untuk memenuhi syarat threshold ini, partai politik mungkin perlu membentuk koalisi dengan partai lain. Terkadang, koalisi ini bukan didasarkan pada kesamaan ideologi atau program, tetapi lebih pada kepentingan praktis, seperti mendapatkan cukup dukungan untuk mencalonkan presiden. Ini dapat menciptakan lingkungan dimana tawar-menawar politik dan korupsi lebih mungkin terjadi.
Aturan presidensial threshold juga dapat memperdagangkan suara dan kursi parlemen sebagai komoditas. Partai yang memperoleh suara dan kursi di atas threshold mungkin menawarkan posisi dalam koalisi kepada partai lain dengan imbalan dukungan politik, dana, atau keuntungan lainnya. Ini tentu bisa berpotensi menciptakan korupsi politik.
Oleh karena itu, setiap upaya menghilangkan korupsi dinegeri ini hanya akan menjadi ilusi belaka tatkala sistem politik demokrasi ini masih menjadi rujukan arus politik Indonesia masa depan. Sehingga, pemandangan tertangkapnya para politisi negeri ini dalam kasus korupsi akan selalu menghiasi layar kaca dan headline media
Pada titik ini, pilihannya adalah apakah terus melanggengkan sistem demokrasi atau mencari alternatif sistem politik lain diluar sistem demokrasi. Semua sangat tergantung pada kesadaran dan kemauan bersama anak bangsa yang cinta negeri ini[].
Oleh: Dr. La Ode Mahmud
Dosen Administrasi Bisnis FISIP UHO
Rubrik
Nasional