Mendambakan Kepemimpinan Indonesia Masa Depan Tanpa Oligarki, Mungkinkah?

Mendambakan Kepemimpinan Indonesia Masa Depan Tanpa Oligarki, Mungkinkah?

Diskursus tentang diksi "oligarki" dalam kepemimpinan nasional akhir-akhir ini cukup menjadi perhatian publik diberbagai kalangan. Ada pandangan banyak kalangan yang menilai bahwa presiden Jokowi dikelilingi oleh oligarki sehingga banyak kebijakan politiknya sangat kental pro pada oligarki, bukan pada rakyat sebagai pemilik mandat.

Terminologi oligarki sendiri dalam beberapa literatur dapat dipahami sebagai bentuk pemerintahan dimana kekuasaan politik berada ditangan sekelompok kecil individu atau elit yang mengendalikan dan mempengaruhi kebijakan negara (Robert Michels, 1911). Ahli lain menyebutkan bahwa oligarki merupakan sistem dimana kekuasaan politik dan ekonomi dikuasai oleh sekelompok kecil individu yang saling terkait dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam masyarakat (C. Wright Mills, 1956).

Segelintir elit dan elit ini memiliki pengaruh kuat untuk melakukan intervensi kebijakan politik pemerintah adalah dua hal yang ada dalam pemahaman oligarki ini

Dalam sistem politik demokrasi, sejarah kehadiran oligarki dalam pusaran politik sudah banyak terjadi bahkan dinegeri demokrasi itu dicetuskan. Konon, di Yunani Kuno (abad ke-5 SM) pada zaman demokrasi Athena klasik, terdapat salah satu bentuk intervensi oligarki adalah melalui "liturgi". Liturgi adalah kontribusi finansial yang diberikan oleh warga kaya untuk mendanai proyek atau kegiatan publik. Walaupun terkesan filantropis, liturgi juga bisa digunakan oleh oligarki untuk mempengaruhi kebijakan dan keputusan politik.

Pada abad ke-19 hingga ke-20 bersamaan dengan terjadinya Revolusi Industri dan kemajuan kapitalisme, intervensi oligarki meningkat dengan munculnya konglomerat dan perusahaan multinasional yang memiliki kekayaan dan pengaruh besar dalam politik. Pada masa ini, banyak negara mengalami korupsi dan kolusi antara pemerintah dan kelompok ekonomi elit.

Saat ini kita berada di abad ke-21, intervensi oligarki semakin kompleks, melibatkan praktik seperti lobi politik, pembiayaan kampanye, dan "revolving door" antara sektor publik dan swasta. Fenomena ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang bagaimana kepentingan rakyat dapat terwakili dengan adanya pengaruh kuat dari kelompok oligarki. Bahkan terkait ini Ahok pernah mengatakan bahwa Jokowi tidak mungkin bisa jadi presiden tanpa bekingan taipan (baca : oligarki)

Karena itu antara demokrasi dan oligarki seperti dua sisi mata uang. Pembiayaan politik dalam suksesi kepemimpinan nasional itu membutuhkan cost politik berbiaya tinggi. Disinilah yang menjadi pintu awal masuknya kekuatan oligarki dalam pusaran kekuasaan. Fenomena politik seperti ini akan selalu terjadi sehingga tak heran banyak pemimpin yang lahir dari rahim sistem demokrasi bukan mengabdi pada rakyat tapi justru menghamba (menjadi budak) oligarki

Resikonya panjang terutama akan lahir banyak kebijakan politik yang berpihak pada kepentingan para oligarki yang telah menjadi bandar saat pemilihan berlangsung sebelumnya

Jika kita mencoba menemukan khasanah praktek kepemimpinan baginda Nabi Muhammad SAW kita akan menemukan bahwa beliau sangat sukses menciptakan mitigasi masuknya oligarki dalam lingkaran kekuasaan ketika menjadi pemimpin umatnya

Tak salah, Michael H. Hart menobatkan beliau sebagai tokoh pemimpin terbaik didunia dalam bukunya. Meski kontroversi, itu penilaian jujur berdasarkan fakta lapangan

Bentuk mitigasi masuknya oligarki yang akan mengendalikan kekuasaannya dibentuk awal. Dalam suatu kisah, ketika Nabi Muhammad SAW sedang menyebarkan dakwah Islam, terjadi pertemuan penting antara pemuka suku Quraisy dan Nabi Muhammad SAW. Pemuka suku Quraisy ini meliputi Abu Sufyan, Abu Jahl, Umayyah bin Khalaf, dan beberapa tokoh lainnya.

Mereka telah menyaksikan bagaimana Islam mulai mendapatkan pengikut dan banyak orang yang menerima ajaran Nabi Muhammad SAW. Hal ini membuat mereka merasa terancam dan khawatir akan kehilangan kekuasaan yang mereka miliki selama ini.

Suatu malam, mereka mengundang Nabi Muhammad SAW untuk bertemu dan berbicara. Dalam pertemuan tersebut, para pemuka suku Quraisy menawarkan sebuah kesepakatan pada Nabi Muhammad SAW.

"Ya Muhammad, kami tahu bahwa ajaranmu telah membawa perubahan besar di masyarakat dan banyak yang mengikuti kamu. Namun, kami juga ingin menjaga kepentingan kami dan posisi kami di Mekkah. Jadi, kami mempunyai tawaran untuk kamu," ujar Abu Sufyan.

Abu Jahl melanjutkan, "Kami bersedia memberikan kekuasaan kepada kamu selama kamu masih hidup. Namun, setelah kamu wafat, kami yang akan menggantikan posisimu dan mengambil alih kekuasaan. Apakah kamu menerima tawaran ini?"

Nabi Muhammad SAW, yang diberikan wahyu oleh Allah SWT dan memiliki prinsip yang kuat, menjawab dengan tegas, "Tidak, aku tidak akan menerima tawaran ini. Aku hanya menyampaikan wahyu yang aku terima dari Allah SWT. Kekuasaan bukanlah tujuan dakwah ini, melainkan membimbing umat manusia agar kembali kepada jalan yang benar."

Intinya Nabi Muhammad SAW hanya akan menerima tawaran jika diberikan secara ikhlas bukan karena ada kompensasi dan keinginan lainnya

Hal ini tentunya menarik untuk dijadikan pelajaran bahwa kekuasaan itu penting dalam kepemimpinan Nabi Muhammad SAW tetapi jika ada kepentingan tertentu yang bisa membuat kepemimpinan dan keputusan dakwahnya dipengaruhi oleh sang pemberi kekuasaan maka itu harus dihindari, apalagi sang pemberi kekuasaan kepentingannya hanya untuk menjaga kekuasaannya.

Inilah sosok pemimpin yang dirindukan saat ini, pemimpin yang mengayomi dengan ikhlas mengabdi dan menghamba hanya pada Allah SWT pemilik kekuasaan bukan menghamba pada oligarki. Inilah kepemimpinan Islam itu, kepemimpinan yang bukan sekedar "mungkin" tetapi "pasti" untuk hadir kembali pada saatnya nanti [].


Oleh: Dr. La Ode Mahmud
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال