Menantang Kepemimpinan Nasional Untuk Menolak Hutang Riba

Menantang Kepemimpinan Nasional Untuk Menolak Hutang Riba

“Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung (negeri), maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah." [HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani]

"Indonesia Darurat Utang Riba". Kira-kira begitulah yang penulis bisa tafsirkan ketika membaca satu statemen tokoh nasional, mantan Wapres RI dua kali yang juga ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla.

Jusuf Kalla dalam Milad ke 21 PKS di Istora Senayan Jakarta 20 Mei 2023 sebagaimana dikutip gelora.co mengatakan bahwa dalam setahun kita membayar hutang dan bunga sampai seribu triliun. Ini terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka.

Isu hutang negara beserta jumlahnya yang terus bertambah secara 'eksponensial' sebenarnya bukan hal baru. Sudah banyak tokoh publik dan ekonom nasional yang mengkritik cara mengelola negara berbasis hutang yang ugal-ugalan. Tentu bukan hutang biasa tapi hutang berbunga yang bahkan untuk membayar bunganya saja negara harus berhutang lagi

Secara historis, akumulasi membengkaknya hutang negara hari ini tidak bisa dipisahkan dari 'kontribusi' setiap rezim yang berkuasa. Hal ini karena semua rezim pasti berhutang walau tentu dengan porsi yang berbeda-beda

Berhutang, sejatinya wajar-wajar saja. Menjadi masalah jika hutang itu adalah hutang dengan bunga berbunga yang bahkan telah menjadi sarana jebakan untuk menyandra dan mendikte negara (pihak) debitur seperti Indonesia oleh negara (pihak) kreditur seperti IMF, World Bank dan negara-negara besar seperti China. Lebih tragis lagi malah ada negara kreditur minta jaminan hutang itu dengan APBN

Kembali pada statemen pak Jusuf Kalla, tentunya term 'bunga' yang dimaksud oleh beliau bukanlah bunga yang bisa dipahami oleh banyak orang sebagai sesuatu yang 'harum', tetapi sebaliknya 'bunga' yang dimaksudkan adalah 'bunga' yang 'haram'. Bunga ini timbul dari konsekuensi kesepakatan atas hutang-piutang negara dengan modus investasi. Negara debitur seperti Indonesia harus membayarkan bukan saja hutang pokok tapi juga disertai beban bunga yang memberatkan.


Dalam terminologi Al Quran dan Hadits, bunga hari ini sama dengan riba yang sudah banyak dinyatakan haram dalam Al Qur'an dan Hadits sejak ribuan tahun silam.

Di negeri yang menganut dasar negara berupa Pancasila ini, dengan sila pertamanya adalah ketuhanan yang maha esa idealnya bisa menjadikan nilai ajaran ilahiah (ketuhanan) sebagai inspirasi dalam membangun perekonomian bangsa. Sayangnya, bangsa kita saat ini justru telah menjadi instrumen utama persemaian dan tumbuh suburnya praktek hutang berbasis riba baik riba yang dilakukan oleh individu, kelompok, institusi keuangan maupun oleh negara.

Secara faktual, korban riba ini sudah demikian banyak. Betapa banyak keluarga yang berantakan, bisnis hancur-hancuran karena bersumber dari harta tak berkah bernama riba

Demikian pula negara ini, dilimpahkan padanya begitu banyak kekayaan alam yang melimpah tapi bukan menghasilkan masyarakat yang sejahtera, rukun dan damai sebaliknya yang terjadi kemiskinan yang terus bertambah, kriminalitas yang terus meningkat serta aneka kerusakan dan kemaksiatan lainnya yang aneh-aneh

Terkait dengan hal ini, penulis teringat dengan satu hadits berikut ini :

Rasul SAW pernah bersabda, “Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung (negeri), maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah." (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)

Tentu ini menjadi bahan renungan bagi kita untuk memuhasabah diri akan kondisi negeri ini yang makin lama makin tak tentu arahnya. Jangan sampai segudang masalah timbul karena kemaksiatan sistemik tumbuh subur salah satunya karena suburnya riba dinegeri ini

Karena begitu berbahayanya utang riba ini dari sisi pengelolaan ekonomi keluarga, masyarakat dan negara maka sudah sepantasnya ada pemimpin yang berani bersuara menolak hutang riba. Ini tantangan yang serius.

Dalam skala yang lebih besar kita perlu menantang para calon pemimpin itu untuk berani menolak sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan dalam negara ini. Karena sistem kapitalisme adalah payung utama tempat riba ini bersemai bahkan tumbuh subur.

Pertanyaannya, adakah calon pemimpin nasional yang lantang menolak hutang riba dan sistem ekonomi kapitalisme?[].


Oleh: Dr. La Ode Mahmud
Dosen Administrasi Bisnis FISIP UHO
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال