Para pemburu kenikmatan konser musik mulai gerilya mendapatkan tiket live concert grup musik asal Inggris, Coldplay. Pengusung aliran neo-Britpop yang sukses dengan lagu-lagu macam Yellow, Fix You, Viva Lavida, ini memang masuk jajaran supergrup dunia. Kata Bloomberg, pada tahun 2022 lalu Coldplay merupakan 1 dari 10 musisi paling besar dan berpengaruh di dunia.
Grup asal London ini sudah mengantongi pundi-pundi kekayaan bersih sebesar US$ 475 juta atau sekitar Rp 7 triliun. Sumber kekayaan mereka dari penghasilan penjualan album, royalti lagu, dan tur konser mereka.
Jelang konser mereka bulan 15 November nanti, dikabarkan semua tiket sudah sold out. Baik yang paling bawah senilai 800 ribu rupiah, sampai yang termahal 11 juta rupiah. Tapi sampai tulisan ini dibuat, para penggemar konser musik ini masih memburu tiket konser itu.
Semangat memburu tiket konser juga terjadi pada konser Blackpink di bulan Maret lalu. Para Kpoper yang rata-rata anak muda juga tidak ragu memburu tiket konser sampai yang platinum yang dibandrol resmi di atas 3 juta rupiah. Belum lagi kalau jatuh ke tangan calo tiket, harga kelas VIP bisa melangit sampai 13 juta rupiah, tapi tetap saja dikejar mereka yang kebelet ingin nonton konser.
Dari kejadian ini kita dapat pelajaran kalau kenikmatan punya harga. Semakin dirasa tinggi suatu kenikmatan, semakin besar juga harga yang harus dikeluarkan. Untuk memburu kenikmatan tidur di hotel bintang tujuh Burj Al-Arab, orang rela membayar sampai USD27 ribu atau sekira Rp250 juta per malam (Rp9.200 per USD). Katanya, di kamar hotel bertipe suite mewah ini disediakan layanan bantal yang tidak ada di hotel lain. Di sana disediakan 17 jenis bantal dengan ukuran dan kenyamanan yang bervariasi. Setiap tamu mendapatkan set perlengkapan mandi dengan merek Hermés secara gratis dengan 14 bagian alat mandi.
Tamu juga mendapat fasilitas iPad berlapis emas 14 karat yang dapat digunakan untuk memesan perawatan spa dan layanan pribadi lainnya. Tak hanya itu, dengan iPad tersebut tamu dapat mengorder berbagai macam menu restoran Burj Al-Arab.
Ada juga cerita seorang sosialita tanah air yang karena ngebet dengan makanan khas Jepang, karaage, ia menyuruh asistennya untuk langsung beli ke negeri Sakura. Alasannya ia ingin mencicipi rasa kaarage yang orisinal. Betulan rasa Jepang. Kenikmatan itu memang sesuatu yang bisa membuat orang mengorbankan harta sebanyak-banyaknya.
Dari perbincangan soal tiket konser musik sampai kaarage asli Jepang, ataupun suite mewah di Burj Al-Arab, terlihat kalau kenikmatan bisa menjadi amat subjektif. Ada juga sih kenikmatan yang obyektif seperti sehat, dipuji orang, cerdas, itu sebagian kenikmatan yang obyektif. Tapi kalau keluar uang belasan juta untuk nonton konser musik yang berdurasi 3-4 jam, misalnya, jelas obyektif.
Suka dengan lagu-lagu Coldplay atau Blackpink saja sudah subjektif. Tidak semua orang suka lagu aliran Britpop ataupun Kpop. Ada yang betah dengan rock atau dangdut. Hasrat untuk nonton konser pun jadi subjektif. Ada yang tidak antusias malah ogah sama sekali datang ke konser Coldplay, tapi mungkin semangat nonton si Raja Dangdut Rhoma Irama dan Soneta Grup.
Jadi, ketika ada sebagian orang yang heran bahkan menganggap pengorbanan uang belasan juta untuk nonton konser, sebagian lagi merasa itu worth it! Kapan lagi nonton langsung Chris Martin cs? Kapan lagi bisa ikutan goyang sambil berdendang “lights will guide you home”?
Sama seperti orang yang rela keluar ratusan ribu atau jutaan rupiah untuk beli sebotol sampanye atau vodka, atau main judi, atau keluar belasan juta perbulan untuk pelihara baby sugar, semua serba subjektif. Sama seperti keheranan sebagian orang melihat kawannya belanjakan uang puluhan juta untuk umroh, haji, atau waqaf, dsb. Benar-benar subjektif.
Keluarkan uang belasan juta untuk konser bagi para pecandu musik adalah kenikmatan subjektif. Mau digoyang dengan isu LGBT sekalipun, mereka takkan goyah. Apalagi cuma sekedar dibilang mubazir, melalaikan solat, gak ngaruh sama sekali.
Disinilah letak keyakinan akan suatu value memegang peranan penting. Keyakinan menjadi penggerak seseorang untuk love it or hate it, take it, do it or leave it. Jangan dulu berdebat soal kenikmatan, sebelum bicara soal keyakinan akan nilai yang mendorongnya. Itu titik bahasan yang penting.
Subjektif itu ada yang bisa manusiawi, namun ada juga yang sumbernya adalah falsafah kehidupan. Suka atau tidak suka makan jengkol itu subjektivitas yang manusiawi. Ada yang lahap makan jengkol mulai dari dibalado atau disemur, ada orang yang sama sekali tidak mau meliriknya.
Tapi ketika bicara tercela dan terpuji apalagi pahala dan dosa, maka subjektivitas itu tidak bisa diserahkan pada akal manusia, tapi pada yang lebih paham soal manusia, yaitu Allah Swt. Orang-orang yang yakin kalau kenikmatan terbesar itu adalah mendapatkan pahala, meraih ridlo Allah, maka akan bekerja dan berkorban sekuat tenaga untuk itu.
Di kelompok manusia seperti ini ada yang mau gelontorkan duit belasan sampai puluhan bahkan ratusan juta untuk sedekah, bangun masjid, dsb. Koh Steven salah satunya. Ceritanya bikin saya dan istri termangu-mangu. Betapa ada muslim seperti itu.
Keyakinan akan value Islam juga yang bikin sebagian orang yang saya kenal atau tahu, rela meninggalkan mata pencaharian yang beri mereka salary belasan bahkan sampai ratusan juta karena tabrakan dengan value yang mereka anut. Di Makassar saya kenal dua orang anak muda yang umurnya jauh di bawah saya meninggalkan bisnis mereka yang beromzet minimal 500 juta perbulan, setelah tahu sistem bisnisnya ternyata tidak sesuai syariat. Amazing, kan?
Apakah bijak membiarkan subjektivitas ini berjalan masing-masing? Tidak. Demi kewarasan dan kebaikan bersama, ada subjektivitas yang harus disepakati bersama, meski ada subjektivitas yang tidak masalah dibiarkan terus berbeda seperti soal makan jengkol. Namun bila sudah bicara subjektivitas diluar kemanusiaan kita, biarlah Allah Swt yang menetapkan nilai-nilai itu. Karena memang hanya Dia yang Mahatahu dan Mahabenar.
Jangan juga mengatakan agama itu (Islam, maksudnya) penuh penafsiran yang subjektif. Dalam Islam ada hal yang dipahami sebagai hal yang tidak berlaku subjektivitas personal, alias diyakini hanya itu satu-satunya; seperti haramnya judi, haramnya zina, haramnya jadi kaum Sodom. Itu tak ada beda di antara para pemikir Muslim.
Memang ada juga yang jadi ladang perbedaan pendapat alias subjektif. Hanya saja subjektivitas di sini berada dalam koridor yang disepakati bersama oleh para ulama. Bukan asal beda, apalagi berdasarkan kepentingan pribadi, kelompok apalagi pesanan asing.
Walhasil, menonton konser Coldplay atau juga yang lain – kabarnya Taylor Swift juga mau ngamen di Indonesia –, bukan subjektivitas seperti makan jengkol. Ada nilai yang harusnya bagi setiap muslim jadi acuan bersama. Tidak membiarkan masing-masing menentukan nilai hidupnya secara subjektif. Karena tujuan kedatangan Islam adalah menunjukkan manusia hanya pada satu kebenaran. Nabi Saw sudah mengingatkan:
كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَباَئِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوْبِقُهَا
Setiap pagi semua orang melakukan perjalanan hidupnya, keluar mempertaruhkan dirinya! Ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang mencelakakannya! (H.R. Imam Muslim).
Pakar Parenting Islam
Rubrik
Opini