Catatan Fiqh Safinah 10: Pembatal-Pembatal Wudu Bagian 1

 Kendaribertakwa.com: Media dakwah online di Kendari, Sulawesi Tenggara yang menyajikan berita Islami. Tampil dengan memandang berbagai peristiwa dengan sudut pandang Islam. Pusatnya artikel Islami untuk membangkitkan budaya literasi kaum muslimin khususnya di Kota Kendari.

Pembatal-pembatal wudu ada empat:
1. Sesuatu yang keluar dari salah satu dari dua jalan (dari kubul atau dubur), angin atau selainnya, kecuali mani;
2. Hilangnya akal karena tidur atau selainnya (kecuali tidur orang yang duduk menetap mantap tempat duduknya);
3. Bersentuhannya kulit pria-wanita yang sudah besar, asing, tanpa penghalang;
4. Menyentuh kubul manusia atau lubang duburnya dengan telapak tangan atau telapak jari-jemari.
 
Tulisan ini akan menguraikan poin yang pertama.

Apa saja yang keluar dari keduanya membatalkan wudu, entah itu angin (kendati keluar melalui kubul) maupun benda yang kering atau basah[1]. Sama saja apakah yang keluar itu adalah sesuatu yang memang biasa keluar darinya (seperti urin, feses, dan cairan keputihan dari bagian dalam farji) atau yang tidak biasa (seperti cacing, darah, dan batu kecil)[2]; juga sama apakah yang keluar itu suci atau najis[3].
Dasar ketentuan ini di antaranya adalah firman-Nya Ta’ālā dalam Surah Al-Mā`idah ayat 6:
 
أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ

… atau datang salah seorang di antara kalian dari al-gā`iṭ ….
Al-gā`iṭ: tempat yang rendah yang digunakan untuk membuat hajat. “Datang darinya” bermakna: orang yang datang itu telah menunaikan hajatnya di sana. Menunaikan hajat adalah kiasan dari buang air kecil atau buang air besar (yaitu apa yang keluar dari dubur). Penamaan buang air sebagai al-gā`iṭ merupakan bentuk penyebutan tempat sementara yang dimaksudkan adalah apa yang terjadi di sana (iṭlāq al-makān wa irādah mā yakūn fīh).[4]

Adapun dalil dari as-Sunnah antara lain hadis yang diriwayatkan dari Abū Hurayrah:
 
لا تقْبلُ صَلاة أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Tidak diterima salat salah seorang di antara kalian bila berhadas hingga dia berwudu.”
(HR Al-Bukhāri no. 135[5] dan Muslim no. 225[6]; redaksi yang digunakan adalah dari Muslim).

Apa yang disebutkan di atas, dikiaskan terhadap semua yang keluar dari kubul atau dubur.[7]
Dikecualikan dari ketentuan ini ialah air mani. Sebagai contoh, orang yang mengalami ejakulasi semata dengan memandang, mengkhayal dengan penglihatan mata. Ejakulasinya mewajibkan mandi tetapi wudu tidak batal karenanya.[8]
 
Contoh lainnya di mana seseorang keluar air mani (wajib mandi dan wudunya tidak batal) adalah orang yang mengalami ejakulasi saat tidur dalam keadaan duduk yang posisinya mantap menetap di tempat duduknya.[9]
 
Sebagai faedah tambahan, memasukkan sesuatu ke dubur atau kubul tidaklah membatalkan wudu. An-Nawawi menyebutkan contoh, “Sekiranya ada yang memasukkan ujung kayu ke dalam dubur atau kubul, wudunya tidak batal sampai benda itu keluar.” [10]
 
Secara praktis pada masa sekarang, ini dapat diterapkan dalam penggunaan obat-obatan intra-vaginal dan intra-anal, seperti supositoria. Memasukkan obat dalam bentuk sediaan tersebut tidaklah membatalkan wudu. Hanya saja, jika ada yang keluar dari obat tersebut melalui vagina atau anus (termasuk jika memakai aplikator di mana ada bagian dari aplikator yang masuk ke dalam lalu dikeluarkan, misalnya pada penggunaan enema dan ovula) maka wudu menjadi batal.
Wallāh a’lam bi aṣ-ṣawāb


---------
[1] Sālim bin ‘Abd Allāh, Kasyf ad-Dujā bi Syarḥ Safīnah an-Najā fī al-Fiqh asy-Syāfi’i (Kuwait: Ad-Dār aż-Żāhiriyyah li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2021), 34.
[2] As-Sayyid Aḥmad bin ‘Umar Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā` bi Syarḥ Safīnah an-Najā` (Jeddah: Dār al-Minhāj, 2021), 157—158.
[3] Muṣṭafā bin Aḥmad bin ‘Abd an-Nabiyy, Mu`nis al-Jalīs bi Syarh al-Yāqūt an-Nafīs (Kuwait: Dār aḍ-Ḍiyā` li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2021), Juz 1, 64.
[4] Muṣṭafā Dīb al-Bugā, At-Taẓhīb fī Adillah Matn al-Gāyah wa at-Taqrīb al-Masyhūr bi Matn Abī Syujā’ fī al-Fiqh asy-Syāfi’i (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2019), 22.
[5] Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhāri, Al-Jāmi’ al-Musnad aṣ-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min Umūr Rasūl Allāh ﷺ wa Sunnatih wa Ayyāmih (Kairo: Ad-Dār al-‘Ālamiyyah li an-Nasyr wa at-Tajlīd, 2015), 44.
[6] Muslim bin al-Ḥajjāj an-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim (Kairo: Ibdā’ li al-I’lām wa an-Nasyr, 2020), 65.
[7] al-Bugā, Loc. Cit.
[8] Muḥammad Nawawi bin ‘Umar al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā` ‘alā Syarh Safīnah an-Najā fī Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh ‘alā Maẓhab al-Imām asy-Syāfi’i (Kediri: Maktabah As-Salam, 2019), 50.
[9] Muḥammad bin ‘Ali bin Muḥammad Bā’aṭiyyah ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā Syarḥ Safīnah an-Najā` (Amman: Dār al-Fatḥ li ad-Dirāsāt wa an-Nasyr, 2008), 182.
[10] Yaḥyā bin Syaraf an-Nawawi, Kitābat-Taḥqīq fī Fiqh al-Imām asy-Syāfi’i (Damaskus: Maktabah Dār al-Fajr, 1441/2020), 90.


Oleh: KH. Mahyuddin
Pengasuh Majelis Nurul 'Ilmi Sultra
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال