Masuk di sepuluh hari pertama tahun 2023, sinyal nasib keluarga Indonesia tak kunjung membaik sepertinya makin kuat. Berita hari ini dikejutkan dengan perbuatan terkutuk seorang anggota Satsabhara Polres Pamekasan, Madura, Jawa Timur, berpangkat Aiptu dilaporkan istrinya atas kasus dugaan kekerasan seksual dan pornografi. Lelaki bejat berinisial AR ini sejak tahun 2015 menjual istrinya ke sesama anggota kepolisian. Dua orang di antara anggota kepolisian yang juga mencabuli istrinya adalah berpangkat perwira yang merupakan atasannya sendiri.
Berita di atas salah satu dari sekian potret buram sejumlah keluarga di tanah air. Di lingkungan kepolisian beberapa kali kasus perselingkuhan jadi pemberitaan. Tahun 2022, seorang anggota kepolisian berpangkat Aipa juga diberhentikan dengan tidak hormat karena berselingkuh dengan istri seorang anggota TNI AL.
Perselingkuhan bukan cuma dilakukan lelaki, di Tual, Maluku. Seorang polwan berpangkat Ipda dilaporkan suaminya karena berselingkuh bahkan dengan dua orang teman kerjanya. Padahal suami sang polwan juga anggota kepolisian. Pernikahan mereka sendiri bermasalah karena sang suami diduga melakukan penganiayaan setelah tahu istrinya berselingkuh.
Kilas balik kondisi keluarga Indonesia di tahun 2022, bisa dikatakan tidak beranjak dari potret buram. Catatan akhir tahun (CATAHU) 2022 Komnas Perempuan mencatat dinamika pengaduan langsung ke Komnas Perempuan. Terdata sejumlah 338.496 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan rincian, pengaduan ke Komnas Perempuan 3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG (Badan Peradilan Agama) 327.629 kasus.
Statistik ini menggambarkan peningkatan signifikan 50% KBG terhadap perempuan yaitu 338.496 kasus pada 2021 (dari 226.062 kasus pada 2020). Lonjakan tajam terjadi pada data BADILAG sebesar 52%, yakni 327.629 kasus (dari 215.694 pada 2020).
Jumlah perceraian di tanah air juga tak alami tren turun, justru terus naik. Kasubdit Bina Keluarga Sakinah Kemenag, Agus Suryo Suripto, menyebutkan angka perceraian di Indonesia hingga tahun 2022 masih tertinggi di Asia Afrika, sekitar 28 persen dari angka perkawinan.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan data angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hasto mengatakan, peningkatan signifikan dimulai sejak 2015 sebanyak 350 ribu dalam setahun. Angka itu terus naik hingga tahun 2021 perceraian di indonesia 580 ribu lebih sedikit.
Hasto menerangkan, penyebab perceraian karena tidak harmonis sebanyak 97.615 kasus, faktor ekonomi 74.559 kasus, lalu karena cemburu 9.338 kasus. Sisanya, alasan cerai karena tidak bertanggung jawab sejumlah 81.266 kasus, sementara akibat pihak ketiga sebanyak 25.310 kasus.
KONFLIK KELUARGA DAN MINIM KESEJAHTERAAN
Tahun 2022 juga mencatat tragedi konflik anak dengan orang tua. Di bulan November, satu keluarga tewas diracun di Magelang, pelakunya adalah anak mereka sendiri. Korban meninggal adalah ayah Abbas Ashari (58), ibu Heri Riyani (54), dan anak perempuan pertama Dhea Chairunisa (25). Pelakunya ada Dio Dhaffa (22) anak bungsu mereka. Motif pelaku adalah soal penggelapan uang yang dilakukannya.
Beberapa kali juga diberitakan kasus penganiayaan terhadap orang tua yang dilakukan anak. Termasuk tren anak melaporkan orang tua ke polisi atau menggugat orang tua ke pengadilan juga terus terjadi. Di bulan Desember seorang remaja putri berusia 12 tahun melaporkan ibunya ke kepolisian karena sudah melarangnya melanjutkan hubungan pacaran dengan seorang pria yang merupakan kekasihnya. Peristiwa yang terjadi di Palembang, Sumatera Selatan, ini heboh dan viral di media sosial.
Sebaliknya, peristiwa penelantaran anak oleh orang tua dan kekerasan bahkan pelecehan seksual oleh anggota keluarga juga terus terjadi. Di Lampung, tepatnya di Pesawaran, seorang bocah perempuan kelas 1 SD mengalami trauma akibat diperkosa ayah kandungnya. Di Surabaya, seorang remaja perempuan berusia 19 tahun dirudapaksa ayahnya hingga hamil dan melahirkan.
Selain menghadapi krisis hubungan antar anggota keluarga, banyak keluarga di Indonesia juga rawan gizi. Berdasarkan riset dari Harian Kompas, biaya yang perlu dikeluarkan orang Indonesia untuk membeli makan bergizi seimbang adalah sebesar Rp 22.126 per hari atau Rp 663.791 per bulan. Harga tersebut berdasar standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB), yang juga digunakan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO). Dengan biaya sebesar itu, ada 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia yang tidak mampu memenuhi biaya tersebut (Kompas.com, 10/12/2022).
Dari kondisi itu, pantas saja angka kematian ibu (AKI) dan stunting di tanah air cukup tinggi. Selain karena kesulitan mengakses fasilitas kesehatan tingkat kematian ibu melahirkan juga disebabkan asupan gizi yang tidak memadai. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan terdapat 6.856 jumlah kematian ibu tahun 2021, meningkat dari sebelumnya 4.197 kematian ibu tahun 2019. Ketua Umum Aliansi Pita Putih Indonesia (APPI) periode 2015-2019, Dr Ir Giwo Rubianto MPd, mengatakan, malnutrisi menjadi penyebab utama tingginya angka kematian ibu melahirkan.
Anak-anak Indonesia juga terancam stunting, yaitu masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyebut angka stunting di Indonesia masih mencapai 24,4 persen. Angka ini masih berada di atas standar yang ditetapkan oleh WHO yaitu 20 persen. Penyebab utama stunting adalah kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang lama pada ibu hamil dan anak.
TIDAK BERPIHAK PADA KELUARGA
Melihat kondisi di tanah air sepertinya nasib banyak keluarga di tanah air belum akan membaik. Ada dua sebab utama; pertama, keluarga di Indonesia terus menerus dimasuki nilai-nilai liberalisme yang melahirkan budaya hedonisme dan individualisme. Tingginya budaya hedonisme terlihat dari naiknya tren perselingkuhan dan prostitusi yang melibatkan perempuan remaja, dewasa bahkan wanita yang sudah menikah. Tingkat konten dan konsumsi pornografi di media sosial yang semakin tinggi juga tanda masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim terpapar hedonisme.
Tingginya perilaku individualistik nampak dari tingginya konflik dalam keluarga, perceraian, hingga KDRT, lalu penelantaran anggota keluarga oleh suami ataupun istri. Sikap saling mementingkan urusan sendiri dan mencari masa bodoh dengan kondisi keluarga jadi pemicu konflik dan perceraian.
Sementara nilai-nilai agama terus dijauhkan dari masyarakat misalnya dengan isu radikalisme, moderasi beragama, keluarga muslim diproses agar menjauh dari ajaran agama dengan alasan menghindari sikap fanatisme beragama.
Kedua, kebijakan negara tidak berpihak pada masyarakat. Lolosnya KUHP yang baru membuka peluang perzinaan dan perselingkuhan, karena keduanya menjadi delik aduan absolut. Pasangan yang berzina atau kumpul kebo tidak bisa lagi dicegah masyarakat selama tidak ada pengaduan dari keluarga ke kepolisian. Warga yang mencegah bahkan bisa dipidanakan karena melanggar KUHP.
Harapan untuk hidup sejahtera juga masih angan-angan karena justru kehidupan warga semakin berat dengan kenaikan PPN, kenaikan BBM, krisis pertanian akibat beragam kondisi seperti pencabutan subsidi pupuk, inflasi, kenaikan iuran BPJS, lemahnya rupiah terhadap dolar, dan masih merosotnya perekonomian negara. Sementara itu dana BLT hanya bersifat sementara, nominalnya jauh dari mencukupi kebutuhan hidup, dan menjangkau sedikit keluarga di tanah air.
Keuangan negara selain diberatkan dengan beban cicilan utang, juga prioritas negara pada sejumlah proyek yang jauh dari menyejahterakan rakyat seperti pembangunan IKN, kereta cepat Jakarta-Bandung, dan beragam proyek infrastruktur lainnya. Proyek-proyek itu tidak langsung berdampak pada kesejahteraan rakyat.
KHATIMAH
Membaca sepintas kondisi tahun lalu dan melihat sejumlah kebijakan yang terus berlangsung, sulit berharap keluarga di tanah air akan membaik secara materi dan mental. Keadaan ini jelas akan merugikan negeri ini, khususnya kaum muslimin. Karena, keluarga adalah bagian awal dari pembentukan masyarakat dan negara. Bisa dibayangkan bila banyak keluarga di tanah air terdampak kondisi negatif, maka dalam hitungan satu dekade kerusakan ini akan meluas.
Oleh karena itu, dakwah Islam menjadi satu kewajiban penting untuk melakukan perubahan sosial. Menanamkan nilai-nilai Islam yang menentramkan dan optimisme di tengah keluarga, serta berupaya meluruskan arah umat dalam hidup bernegara menuju kehidupan yang relijius dan menjamin nilai-nilai kemanusiaan sesuai prinsip ajaran Islam. Tanpa itu, maka perubahan apapun tak ada artinya. Bahkan bisa jadi kian memperburuk kondisi kaum muslimin.
Sumber: Iwan Januar | https://www.iwanjanuar.com
Rubrik
Keluarga