Kemarin bangsa ini merayakan Hari Guru Nasional. Menjadi guru adalah salah satu profesi tertua di dunia, termasuk di tanah air. Menjadi guru juga dahulu adalah cita-cita banyak anak Indonesia. Banyak kawan saya di kala kecil bila ditanya cita-citanya di masa depan, jawaban yang cukup banyak adalah; menjadi guru! Kala itu, guru adalah profesi mulia, menyenangkan dan tidak terlalu memberatkan. Sebab itulah banyak orang tua tempo dulu yang berharap anak perempuannya menjadi guru.
Menurut beberapa literatur kata ‘guru’ berasal dari bahasa Sanskerta. Suku kata Gu ( गु ) dalam Bahasa Sansekerta berarti bayangan. Sesuai dengan sifatnya, bayangan pasti gelap. Jadi gu atau bayangan bisa diartikan juga sebagai gelap dan/atau kegelapan. Suku kata Ru ( रु ) berarti (orang yang mebawa) terang. (Orang yang) menghilangkan bayangan/gelap/kegelapan.
Ketika digabungkan menjadi satu kata yang utuh: guru. Bermakna sebagai orang yang membawa pencerahan kepada orang lain yang sedang mengalami kegelapan. Mereka yang memiliki kemampuan dan mendedikasikan hidupnya untuk membawa terang dan menghilangkan kegelapan disebut guru.
Dalam bahasa Arab, guru bisa disebut ustadz, bisa juga mualim, atau mudarris. Kata alim bermakna sohibul ma’rifah, pemilik pengetahuan. Sedangkan mualim orang yang mengajarkan ilmu. Guru, mualim atau mudarris bisa dijalani sebagai profesi (ajir), atau juga sebagai sebuah amal tanpa pamrih. Banyak orang di dunia yang menjadi mualim tanpa pamrih, semata jalankan kewajiban menebarkan ilmu dan petunjuk. Mereka mengamalkan sunnah Nabi Saw:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya. (HR. Muslim).
Guru, mualim, mudarris, atau apapun sebutannya, harusnya disadari oleh umat bahwa tugas mereka menentukan kaum muslimin, bukan sekedar menentukan masa depan seorang individu. Inilah yang disadari oleh Kaisar Jepang Hirohito setelah dua kota besar di negerinya, Hiroshima dan Nagasaki, dilumat bom atom Amerika Serikat. Menyadari negerinya lumpuh dan kalah di Perang Dunia II, ia bertanya pada bawahannya, “Berapa jumlah guru yang tersisa?”
Hirohito menyadari bahwa untuk membangun kembali Jepang agar lebih kuat, bisa kembali bersaing dengan negara-negara lain di dunia, maka pendidikan harus diperkuat. Salah satunya adalah mengumpulkan guru sebanyak-banyaknya. Senada dengan Kaisar Jepang, tokoh perjuangan kemanusiaan dan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela berkata, “Education is the most powerful weapon you can use to change the world.”
Dalam Islam, penghormatan terhadap guru amatlah besar. Dalam kitab yang jadi sandaran banyak para pencari ilmu, Ta’lim Muta’alim Thariq At-Ta’allum karya Syekh Az-Zarnuji , dicuplik berbagai perkataan (maqolah) yang menyebutkan keutamaan para guru. Di antaranya:
أنا عبد من علمنى حرفا واحدا، إن شاء باع، وإن شاء استرق
Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan ataupun tetap menjadi hambanya.
Soal Kualitas Guru
Namun banyak persoalan membelit dunia pendidikan kita. Pantaslah bila Human Development Index (HDI) Indonesia terbilang jauh dibandingkan dengan negara-negara lain. Dari pelaporan PBB untuk tahun 2021/2022 dengan nilai HDI 0.705 yang menempatkan Indonesia pada ranking tinggi tetapi tidak banyak menggambarkan kemajuan Indonesia.
Sementara itu peringkat pendidikan Indonesia meskipun di tahun 2021 berada di peringkat 53 – naik satu peringkat dari tahun 2020 – namun masih kalah dengan Kolombia atau Thailand. Pemeringkatan ini dilakukan oleh US News and World Report, BAV Group, dan Wharton School of the University of Pennsylvania, kegiatan dan penilaian yang dilakukan adalah dengan mensurvei ribuan orang di 78 negara, kemudian memeringkat negara-negara tersebut berdasarkan tanggapan survei tersebut.
Salah satu penyebab belum majunya pendidikan di Indonesia adalah kualitas guru di tanah air yang jauh dari memadai. Peneliti Bank Dunia (World Bank), Rythia Afkar menilai bahwa kualitas guru di Indonesia rendah berdasarkan hasil survei yang pihaknya lakukan pada 2020.
Hal itu disampaikan Rythia dalam rilis survei Bank Dunia terkait learning loss akibat pandemi Covid-19 di Indonesia selama 1,5 tahun terakhir. Dia menyebut rendahnya kualitas guru RI itu mulai dari kompetensi dan kemampuan mengajar.
Sepertinya hasil pernyataan di atas sejalan dengan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015, rata-rata nasional hanya 44,5, berada jauh di bawah nilai standar 55. Bahkan, kompetensi pedagogik, yang menjadi kompetensi utama guru pun belum menggembirakan. Masih banyak guru yang cara mengajarnya masih text book, cara mengajar di kelas yang membosankan.
Persoalan ini bisa terjadi karena kelemahan rekrutmen SDM pengajar, juga upaya peningkatan kemampuan guru dalam mengajar secara nyata. Berbagai pelatihan sebagai upaya meningkatkan kualitas guru memang sudah banyak dilakukan, namun apakah ada evaluasi atas hasil pelatihan tersebut? Ataukah pelatihan tersebut juga berjalan sekedar memenuhi tuntutan formalitas?
Karakter Guru
Hal yang tak kalah penting dalam menyukseskan sebuah proses pendidikan adalah karakter guru. Menjadi guru bukan sekedar mengantarkan ilmu pada para murid, tapi juga membentuk kepribadian Islami. Guru yang punya kemampuan pedagogik namun tak punya ahlak yang luhur sebagai pendidik, dapat membahayakan proses pendidikan dan perkembangan karakter para pelajar.
Belakangan marak tenaga pendidik terlibat masalah hukum, mulai dari kekerasan terhadap siswa hingga pelecehan seksual. Di Buton, seorang guru SMP menghukum murid-muridnya yang dianggap nakal dengan menyuruh mereka makan sampah plastik. Di Kupang, NTT, seorang guru yang marah pada muridnya membenturkan kepala sang murid seratus kali ke dinding.
Sejumlah kasus pelecehan seksual hingga pencabulan juga melibatkan oknum guru. Di Batang, Jawa Tengah, seorang ASN yang menjadi guru agama ditangkap polisi karena melakukan tindakan tidak senonoh dan memperkosa 35 orang siswanya.
Di Bima, NTB, seorang kepala sekolah mencabuli 20 orang siswinya. Sedangkan di Purbalingga, seorang ASN yang menjadi kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyyah ditangkap polisi setelah dilaporkan lakukan pencabulan pada murid lelaki. Lebih tragis lagi di Medan, seorang siswi usia 10 tahun mengaku diperkosa bergiliran oleh kepala sekolah, staf administrasi hingga petugas kebersihan.
Deretan kasus kejahatan yang melibatkan tenaga pendidik tentu memprihatinkan sekaligus menyadarkan orang tua bahwa dunia pendidikan hari ini menjadi tidak ramah pada anak. Karena guru yang harusnya memberikan rasa aman dan nyaman bagi para siswa, bahkan menjadi orang tua kedua, malah menebar ancaman.
Oleh karena itu dalam Islam seorang pendidik bukan saja harus memiliki kompetensi teknis dalam mengajar, tapi juga harus memiliki etika/adab yang Islami. Ini sebagai implementasi dari firman Allah Swt.:
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (TQS. ash-Shaf [61]: 2-3).
Para ulama telah menyusun kode etik para guru, mualim, mudarris, agar dipahami dan dihayati saat menjalankan peran mereka. Imam al-Ghazali misalnya dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 431) menuliskan ada 11 etika/adab yang harus dimiliki para pengajar, yakni:
آداب العالم: لزوم العلم، والعمل بالعلم، ودوام الوقار، ومنع التكبر وترك الدعاء به، والرفق بالمتعلم، والتأنى بالمتعجرف، وإصلاح المسألة للبليد، وبرك الأنفة من قول لا أدري، وتكون همته عندالسؤال خلاصة من السائل لإخلاص السائل، وترك التكلف، واستماع الحجة والقبول لها وإن كانت من الخصم.
Artinya: “Adab orang alim (guru), yakni: tidak berhenti menuntut ilmu, bertindak dengan ilmu, senantiasa bersikap tenang, tidak takabur dalam memerintah atau memanggil seseorang, bersikap lembut terhadap murid, tidak membanggakan diri, mengajukan pertanyaan yang bisa dipahami orang yang lamban berpikirnya, merendah dengan mengatakan, ‘Saya tidak tahu,’ bersedia menjawab secara ringkas pertanyaan yang diajukan penanya yang kemampuan berpikirnya masih terbatas, menghindari sikap yang tak wajar, mendengar dan menerima argumentasi dari orang lain meskipun ia seorang lawan.”
Para guru, mualim, mudaris, juga bisa mempelajari adab-adab para guru dalam kitab Tadzkirah As-Sami’ wal Mutakallim karya Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Al-Kinani yang membagi adab seorang pengajar menjadi 4 bagian, yakni;
1. Adab seorang alim terhadap dirinya
2. Adab seorang alim bersama murid dan pelajarannya
3. Adab seorang alim pada pembelajarannya
4. Adab seorang alim dengan para muridnya secara mutlak dan ketika di dalam halaqoh
Imam Nawawi juga menyusun kode etik untuk para guru, mufti, alim, dalam risalah Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’alim Muqaddimah Al-Majmu’. Beliau menuliskan sejumlah sifat yang harus dimiliki para pencari ilmu dan para pemilik ilmu serta para pengajar.
Hal-hal seperti ini luput dari para pengajar dan lembaga-lembaga pendidikan yang mencetak tenaga pengajar. Ideologi kapitalisme dan sekulerisme telah menghapus kewajiban para calon tenaga pengajar dari memiliki adab-adab yang mulia ini. Malah menanamkan semangat materialistik kepada para tenaga pengajar dan para pelajar, kecuali sedikit saja mereka yang menyadarinya.
Hari ini ketika Islam telah dipinggirkan dari kehidupan, syariat Islam dimusuhi, maka dunia pendidikan terbelit beragam persoalan besar; tujuan pendidikan, kurikulum, penanggung jawab pendidikan bagi masyarakat, hingga persoalan tenaga pengajar yang berkualitas dan beretika. Persoalan-persoalan tersebut sebagian besar akan terselesaikan ketika kaum muslimin memiliki sistem kehidupan Islami, berlandaskan iman.
Dalam keadaan sekarang, dunia pendidikan bisa diselamatkan sebagian dengan kesadaran para penyelenggara pendidikan dan kesungguhan para guru serta mualim. Kesadaran mereka, meski bersifat parsial, bisa menjadi seteguk air yang menyegarkan untuk menjaga dan melindungi keberkahan dunia pendidikan dan mencetak generasi yang unggul. Meski sulit, tetap harus diperjuangkan.
Karenanya, di Hari Guru, yang biasa diperingati setiap tanggal 25 November, para guru muslim, para mualim, para mudaris, harus merenungi, memperbaiki diri, dan berusaha menciptakan sistem kehidupan yang kelak akan memajukan pendidikan kaum muslimin agar dapat bersaing bahkan mengalahkan dominasi negara-negara adidaya yang telah mencengkram negeri-negeri muslim. Tidak sekedar memikirkan karir pribadi, sertifikasi, serta dana pensiun.
Oleh: Ustadz Iwan Januar
Sumber: Iwan Januar | https://www.iwanjanuar.com/
Rubrik
Keluarga