Syarat-syarat wudu ada sepuluh:
1. Islam,
2. Tamyiz,
3. Bersih dari haid dan nifas,
4. Bersih dari apa yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit,
5. Tidak ada di anggota wudu sesuatu yang mengubah air,
6. Mengetahui fardunya wudu,
7. Tidak meyakini salah satu fardu wudu sebagai perkara sunnah,
8. Airnya suci-menyucikan,
9. dan 10. Masuknya waktu dan muwālah bagi orang yang senantiasa berhadas.
Yang dimaksudkan di sini adalah syarat-syarat sahnya wudu. Satu saja yang tidak terpenuhi maka wudu tidak sah. Ini merupakan syarat sahnya mandi juga. Bahkan, dua syarat pertama berlaku untuk seluruh ibadah; adapun yang ketiga dipersyaratkan untuk semua ibadah yang mengharuskan kesucian.[1]
1. Islam
Wudu orang kafir tidak sah. Demikian pula dengan mandi besarnya. Namun, ada pengecualian untuk wanita kafir yang menjadi istri seorang muslim: mandinya dihukumi sah (wajib mengulangi mandi bila telah masuk Islam).[2]
2. Tamyiz
Orang yang tidak tamyiz, seperti anak kecil dan orang gila, tidak sah wudunya berdasarkan ketentuan ini[3].
Orang yang tamyiz itu sudah bisa memahami seruan (khiṭāb), memberikan jawaban, makan-minum sendiri, cebok sendiri, atau sudah bisa membedakan kanan dan kirinya atau membedakan antara buah dan batu, dsb. Ada pengecualian untuk wudunya anak kecil yang belum tamyiz dalam rangka tawaf: hukumnya sah.[4]
3. Bersih dari Haid dan Nifas
Wanita yang sedang mengalami haid atau nifas, tidak sah wudu mereka. Bahkan, haram atas mereka berwudu sebab itu merupakan bentuk ibadah yang mereka tidak layak mengerjakannya. Mandi besar mereka juga tidak sah. Namun, ada pengecualian untuk mandi sunnah dalam rangka berhaji; mereka (wanita yang tengah haid atau nifas) tetap disunnahkan mengerjakannya.[5]
4. Bersih dari Apa yang Dapat Menghalangi Sampainya Air ke Kulit
Contoh benda yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit: lilin, cairan pengoreksi seperti Tipp-Ex, cat, masker wajah, bahan make up yang tak tembus air, dsb.[6]
5. Tidak Ada di Anggota Wudu Sesuatu yang Mengubah Air
Artinya, tidak ada zat yang menempel pada anggota wudu yang dapat merusak kemutlakan air, seperti sabun, tinta, dan za'farān yang relatif banyak.[7]
6. Mengetahui Fardunya Wudu
Seseorang yang berwudu harus mengetahui bahwa wudu yang dikerjakan itu wajib. Jika ragu akan kefarduannya, atau meyakini bahwa itu sunnah, bukan perkara fardu, maka tidak sah wudunya.[8]
7. Tidak Meyakini Salah Satu Fardu Wudu Sebagai Perkara Sunnah
Ada beberapa perincian dalam perkara ini[9]:
a) Meyakini seluruh aktivitas wudu merupakan fardu: wudunya sah
b) Meyakini seluruh aktivitas wudu merupakan sunnah: wudunya tidak sah
c) Menyakini sebagiannya fardu dan sebagiannya sunnah tetapi tidak dapat memastikan persisnya: wudunya sah jika dia awam tanpa ada perbedaan pendapat; adapun jika dia orang orang berilmu atau penuntut ilmu yang sepatutnya bisa mengetahui perbedaannya maka wudunya sah menurut Ibn Ḥajar, tidak sah menurut ar-Ramli
d) Meyakini salah satu dari dua rukun sebagai sunnah tetapi tidak menentukannya (misal mengatakan bahwa mengusap kepala dan membasuh kedua kaki salah satunya merupakan sunnah tetapi tidak menentukan yang mana persisnya): wudunya sah.
8. Airnya Suci-Menyucikan
Tentu saja, air yang boleh digunakan berwudu hanyalah air mutlak. Tidak boleh bersuci menggunakan air bekas bersuci (musta’mal) atau yang mengalami perubahan sifat yang banyak.[10]
9. Masuknya Waktu Bagi Orang yang Senantiasa Berhadas
Orang yang selalu berhadas (dā`im al-hadaṡ), seperti orang yang sedang mengalami inkontinensia urine (salis al-bawl), terus keluar mazi, atau wanita yang tengah istiḥāḍah tidak sah wudunya jika dilakukan sebelum masuknya waktu salat; sebab, itu merupakan bentuk ṭahārah darurat dan tidak ada kedaruratan sebelum masuknya waktu.[11]
Adapun orang yang normal, bukan dā`im al-hadaṡ, boleh berwudu sebelum masuknya waktu.[12]
10. Tidak Berjeda Lama (muwālah) Bagi Orang yang Senantiasa Berhadas
Muwālah dalam wudu bagi orang normal hukumnya sunnah, sebagaimana sudah dibahas di tulisan sebelumnya[13].
Namun, bagi orang yang terus-menerus berhadas, muwālah dalam ini hukumnya wajib. Bahkan, bagi mereka, antara aktivitas membersihkan najis dengan wudu juga harus muwālah (tidak boleh berjeda lama); antara wudu dengan salat pun mesti muwālah.{14]
*****
[1] As-Sayyid Aḥmad bin ‘Umar Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā` bi Syarḥ Safīnah an-Najā` (Jeddah: Dār al-Minhāj, 2021), 152.
[2] Ibid.
[3] Muḥammad Nawawi bin ‘Umar al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā` ‘alā Syarh Safīnah an-Najā fī Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i (Kediri: Maktabah As-Salam, 2019), 49.
[4] Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā`…., 153.
[5] Muḥammad bin ‘Ali bin Muḥammad Bā’aṭiyyah ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā Syarḥ Safīnah an-Najā` (Amman: Dār al-Fatḥ li ad-Dirāsāt wa an-Nasyr, 2008), 177.
[6] Ibid.
[7] Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā`…., 154; Ḥasan bin Aḥmad bin Muḥammad Sālim al-Kāf, At-Taqrīrāt as-Sadīdah fī al-Masā`il al-Mufīdah Qism al-‘Ibādāt (Surabaya: Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah li aṭ-Ṭibā’ah wa at-Tawzī’, 2006), 95.
[8] Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā`…., 154; Muṣṭafā bin Aḥmad bin ‘Abd an-Nabiyy, Mu`nis al-Jalīs bi Syarh al-Yāqūt an-Nafīs (Kuwait: Dār aḍ-Ḍiyā` li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2021), Juz 1, 52.
[9] Al-Kāf, At-Taqrīrāt as-Sadīdah…., 95—96.
[10] Al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā`…., 50.
[11] Ibid.; Al-Kāf, At-Taqrīrāt as-Sadīdah…., 97.
[12] Muṣṭafā Mu`nis al-Jalīs…., Juz 1, 54.
[13] Tulisan sebelumnya tentang Fardu-Fardu Mandi yang menyinggung pembahasan seputar muwālah pada bagian akhirnya dapat dibaca melalui tautan berikut.
[14] Sa’īd bin Muḥammad Bā’ali Bā’asyan al-Ḥaḍrami, Syarḥ Muqaddimah al-Ḥaḍramiyyah: Busyrā Al-Karīm bi Syarh Masā`il at-Ta’līm (Kairo: Dār Ibn al-Jawzi, 2016), 51.
Oleh: KH. Mahyuddin
Pengasuh Majelis Nurul 'Ilmi Sultra
Pengasuh Majelis Nurul 'Ilmi Sultra
Rubrik
Fiqh