Pendahuluan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ (سنن ابن ماجه ج2 ص 1339)
قال العلامة السندي: والرجل التافه الرذيل والحقير والرويبضة تصغير رابضة وهو العاجز الذي ربض عن معالي الأمور وقعد عن طلبه (شرح سنن ابن ماجه - (ج 1 / ص 292)
Menurut al-‘Allamah al-Sindi, laki-laki yang “tafih” adalah orang yang hina, dan tidak bermartabat. Ruwaibidhah adalah merupakan isim tasghir dari “rabidhah” yaitu orang yang lemah yang malas untuk mendapatkan hal-hal yang terbaik, serta putus asa untuk mendapatkannya. (Syarh Sunan Ibn Majah, 1/292).
Membaca UU Minerba No. 4 Tahun 2009
Mengeliminasi peran negara. Padahal dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 3 menyebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun kenyataannya UU Minerba berpotensi hanya menguntungkan kemakmuran investor.
Pada Pasal 169A dan 169B pemegang Kontrak Karya (KK) dan pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) akan memperoleh kemudahan untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan perpanjangan IUPK tanpa melalui proses lelang yang berpotensi seenaknya.
Pasal 47 (a) menyebut jangka waktu kegiatan operasi produksi tambang mineral logam paling lama adalah 20 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan dua kali masing-masing 10 tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan. Sehingga perusahaan di PKP2B bisa "menguasai" tambang batu bara sampai dua dekade.
Terdapat definisi Wilayah Hukum Pertambangan yang akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran, bukan hanya di kawasan daratan tetap juga lautan yang bertentangan UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Adanya perubahan dalam Pasal 100 yang membuat reklamasi dan pascatambang dimungkinkan untuk tidak dikembalikan sebagaimana zona awal.
Pasal 102 dalam revisi UU Minerba juga menghilangkan kewajiban pengusaha batu bara untuk melakukan hilirisasi serta memberikan segala insentif fiskal dan non fiskal bagi pertambangan dan industri batubara.
Pasal 93 memungkinkan IUP & IUPK dipindahtangankan atas izin menteri. Kapasitas pemerintah pusat dalam membina dan mengawasi peertambangan diragukan masyarakat.
Sebagai tambahan, UU Minerba yang disahkan sangat investor friendly, dengan memberikan berbagai kemudahan memperoleh IUPK dan jaminan perpanjangan IUPK. UU Minerba juga tidak mendorong dan menjaga kelestarian lingkungan hidup dan kelangsungan ketersediaan Minerba dalam jangka panjang. UU Minerba juga tidak mendorong pengolahan minerba di Smelter dalam negeri untuk meningkatkan nilai bagi negeri. Paradigmanya masih tetap gali-jual. Akibatnya, investor akan meraup keuntungan besar, sedangkan kemakmuran rakyat diabaikan.
(https://mediaindonesia[dot]com/read/detail/312675-baru-disahkan-uu-minerba-yang-baru-langsung-panen-kritik)
Hadis Tentang Tambang Garam
عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ.
“Dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, dan meminta beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika, Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd)”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal)” (HR. Abu Dawud dan al-Timidzi).
Takhrij:
Posisinya dalam kitab induk hadis, di antaranya:
أخرجه ابن حبان في "صحيحه" والنسائي في "الكبرى" وأبو داود في "سننه" والترمذي في "جامعه" والدارمي في "مسنده" وابن ماجه في "سننه" والبيهقي في "سننه الكبير" والدارقطني في "سننه" وابن أبي شيبة في "مصنفه" والطبراني في "الكبير"
Syawahid:
وَفِي الْبَابِ عَنْ وَائِلٍ وَأَسْمَاءَ اِبْنَةِ أَبِي بَكْرٍ
Kedudukan:
Hadis ini maqbul dengan banyaknya jalan (katsrah al-thuruq) karena memenuhi persyaratan minimal sebagai hadits hasan (dengan beberapa catatan kritik sanad),
حَدِيثُ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ. تحفة الأحوذي (4/ 9)
Pertama. Sanad hadis ini muttashil (bersambung).
Kedua. Secara umum rawinya maqbul. Secara rinci, kriteria rawi beragam mulai tsiqah tsabat, tsiqah, shaduq, wahm, hingga majhul hal. Kelemahan pada beberapa rawi dikuatkan dengan adanya jalur lain.
Ketiga. Madar sanad hadits ini pada Syumair dan Sumay bin Qais.
Kritik Matan (Naqd al-Matn)
Pertama. Matan hadits ini mengandung hukum baru yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an,
Kedua. Matan hadits ini selaras dengan Hadits shahih lainnya.
Ketiga. Lafazhnya menunjukkan keagungan pemilik kalamnya yakni Sayyiduna Muhammad SAW.
Keempat. Berdasarkan data takhrijnya, matan-matan hadis tersebut tidak saling bertentangan (bukan hadis mukhtalif).
Syarah (Penjelasan)
( وَفَدَ ) أَيْ قَدِمَ. ( اِسْتَقْطَعَهُ ) أَيْ سَأَلَهُ أَنْ يُقْطِعَ إِيَّاهُ. ( الْمِلْحَ ) أَيْ مَعْدِنَ الْمِلْحِ. ( فَقَطَعَ لَهُ ) لِظَنِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يُخْرِجَ مِنْهُ الْمِلْحَ بِعَمَلٍ وَكَدٍّ. ( فَلَمَّا أَنْ وَلَّى ) أَيْ أَدْبَرَ. ( قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ ) هُوَ الْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِيُّ عَلَى مَا ذَكَرَهُ الطِّيبِيُّ ، وَقِيلَ إِنَّهُ الْعَبَّاسُ بْنُ مِرْدَاسٍ.
( الْمَاءَ الْعِدَّ ) بِكَسْرِ الْعَيْنِ وَتَشْدِيدِ الدَّالِ الْمُهْمَلَةِ ، أَيْ الدَّائِمُ الَّذِي لَا يَنْقَطِعُ وَالْعِدُّ الْمُهَيَّأُ. تحفة الأحوذي (4/ 9)
( الْمَاء الْعِدّ ): بِكَسْرِ الْعَيْن وَتَشْدِيد الدَّال الْمُهْمَلَتَيْنِ أَيْ الدَّائِم الَّذِي لَا يَنْقَطِع . قَالَ فِي الْقَامُوس : الْمَاء الَّذِي لَهُ مَادَّة لَا تَنْقَطِع كَمَاءِ الْعَيْن . وَالْمَقْصُود أَنَّ الْمِلْح الَّذِي قُطِعَتْ لَهُ هُوَ كَالْمَاءِ الْعِدّ فِي حُصُوله مِنْ غَيْر عَمَل وَكَدّ.
( فَانْتَزَعَ ): أَيْ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ الْمِلْح
( مِنْهُ ): أَيْ مِنْ أَبْيَض .قَالَ الْقَارِي : وَمِنْ ذَلِكَ عُلِمَ أَنَّ إِقْطَاع الْمَعَادِن إِنَّمَا يَجُوز إِذَا كَانَتْ بَاطِنَة لَا يُنَال مِنْهَا شَيْء إِلَّا بِتَعَبٍ وَمُؤْنَة كَالْمِلْحِ وَالنِّفْط وَالْفَيْرُوزَج وَالْكِبْرِيت وَنَحْوهَا وَمَا كَانَتْ ظَاهِرَة يَحْصُل الْمَقْصُود مِنْهَا مِنْ غَيْر كَدّ وَصَنْعَة لَا يَجُوز إِقْطَاعهَا ، بَلْ النَّاس فِيهَا شُرَكَاء كَالْكَلَأِ وَمِيَاه الْأَوْدِيَة ، وَأَنَّ الْحَاكِم إِذَا حَكَمَ ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّ الْحَقّ فِي خِلَافه يُنْقَض حُكْمه وَيُرْجَع عَنْهُ اِنْتَهَى . عون المعبود (7/ 48)
Hadis ini adalah dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Dan tidak boleh dimiliki oleh individu; (Syekh Abdul Qadim Zallum, al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 54-56).
Karena dalam hadits tersebut Beliau SAW yang menarik kembali tambang garam yang beliau berikan pada Abyadh bin Hammal ra setelah beliau mengetahui bahwa tambang garam tersebut depositnya melimpah, maka tambang garam tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu , dan merupakan milik kaum Muslim.
Ini berlaku bukan hanya untuk garam saja –seperti dalam hadis di atas- tapi berlaku pula untuk seluruh barang tambang. Mengapa? Karena larangan tersebut berdasarkan illat yang disebutkan dengan jelas dalam hadits tersebut, yakni “layaknya air yang mengalir”, maka semua barang tambang jumlahnya “layaknya air yang mengalir” –depositnya melimpah- tidak boleh dimiliki oleh individu (privatisasi).
قال الامام ابن قدامة المقدسي: وَأَمَّا الْمَعَادِنُ الْجَارِيَةُ ، كَالْقَارِ ، وَالنِّفْطِ ، وَالْمَاءِ ، فَهَلْ يَمْلِكُهَا مَنْ ظَهَرَتْ فِي مِلْكِهِ ؟ فِيهِ رِوَايَتَانِ أَظْهَرُهُمَا ، لَا يَمْلِكُهَا.... (المغني - (ج 12 / ص 131)
Imam Ibn Qudamah berkata: “Adapun barang tambang yang melimpah seperti garam, minyak bumi, air, apakah boleh orang menampakkan kepemilikannya? Jawabannya ada dua riwayat dan yang lebih kuat adalah tidak boleh memilikinya.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 12/131).
وقد ذهب المالكية إلى أن المعادن سواء كانت جارية أو غير جارية لا تملك ملكية خاصة حتى وإن كانت في أرض مملوكة ملكية خاصة.... (امام ابن رشد المالكي, المقدمات الممهدات 2 / 224 – 225)
“Dan kalangan madzhab Maliki berpendapat bahwa barang tambang baik melimpah maupun tidak, tidak boleh dimiliki dengan pemilikan yang sifatnya khusus (privat), meski barang tambang tersebut terdapat di dalam tanah yang kepemilikannya bersifat privat (khusus).” (Ibnu Rusyd, al-Muqaddamat al-Mumahadat, 2/221-225).
Maka al-’Allamah Syekh ‘Abd al-Qadim al-Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 54, menegaskan:
أما المعادن الكثيرة، غير محدودة المقدار، فإنها تكون مملوكة ملكية عامة لجميع المسلمين، ولا يجوز أن يختص بها فرد، أو أفراد. كما لا يجوز إعطاء امتياز استخراجها لأفراد، أو لشركات، بل يجب أن تبقى ملكية عامة لجميع المسلمين، مشتركة بينهم وأن تقوم الدولة باستخراجها وتنقيتها، وصهرها، وبيعها نيابة عنهم، ووضع ثمنها في بيت مال المسلمين. ولا فرق في هذه المعادن بين أن تكون ظاهرة، يتوصل إليها من غير مشقة، ولا مؤونة كبيرة، كالملح والكح، أو أن تكون في باطن الأرض، وأعماقها، ولا يتوصل إلى استخراجها إلا بمشقة وعمل، ومؤونة كبيرة، كالذهب، والفضة، والحديد، والنُّحَاسِ، والرَّصَاصِ، والقصدير، والكروم، واليورانيوم، والفوسفات، وغيرها من المعادن، وسواء أكانت جامدة كالذهب والحديد أم سائلة كالنفط، أم غازية كالغاز الطبيعي.
Penutup
Barang tambang dengan deposit melimpah, seperti migas, nikel, tembaga, batu bara, dan lain-lain termasuk kepemilikan umum (milkiyyah al-’amah). Syariat melarang individu menguasai dan mengelola barang tambang seperti tambang garam, migas, nikel, dan barang-barang tambang lain yang depositnya melimpah. Dimana kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi tiga, yaitu: kepemilikan Individu; kepemilikan umum, mencakup fasilitas publik, barang tambang yang depositnya melimpah, dan barang yang secara pembentukan mustahil dikuasi individu; dan kepemilikan negara. []
Oleh: Ajengan Yuana Ryan Tresna
Khadim Ma'had Darul Hadis Khadimus Sunnah Bandung
Rubrik
Analisis