Mestinya Rakyat Diperlakukan Layaknya Anak Yatim

Kendaribertakwa.com: Media dakwah online di Kendari, Sulawesi Tenggara yang menyajikan berita Islami. Tampil dengan memandang berbagai peristiwa dengan sudut pandang Islam. Pusatnya artikel Islami untuk membangkitkan budaya literasi kaum muslimin khususnya di Kota Kendari.

Imam Syafi’i rahimahullah punya gambaran yang indah tentang hubungan penguasa dengan rakyat. Ia mengatakan:

مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ الرَّعِيِّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ

Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan seorang wali terhadap yatim.

Penggambaran yang diberikan Imam Syafi’i sesuai dengan prinsip ajaran Islam dalam aturan pemerintahan dan kenegaraan. Penguasa itu adalah entitas politik bukan untuk mengokohkan kekuasaan elit politik atau paham tertentu, tapi ia adalah lembaga yang ditetapkan syariat untuk mengurus keperluan umat (ri’ayah asy-syu’un al-ummah).

Allah Mahatahu bahwa umat manusia, berapapun banyaknya, bahkan bila semakin banyak, butuh entitas yang mengurus segala kebutuhan mereka. Keamanan, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, adalah di antara kebutuhan orang banyak yang tidak bisa diserahkan pada masing-masing individu. Bila itu dilakukan terjadilah logika survival of the fittest, hanya yang kuat yang bakal bertahan, yang lemah akan tumbang.

Beda dengan prinsip negara kapitalisme dimana negara justru diminta menarik diri sejauh mungkin dari pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara hanya sebagai regulator yang mengatur siapa yang akan ‘bermain’ dalam memenuhi hajat publik. Pemerintahan kapitalisme akan mendorong swasta untuk ambil alih seluas mungkin pemenuhan kebutuhan rakyat. Prinsipnya jelas no free lunch. Tak ada yang gratis.

Negara kapitalisme juga hadir, tapi tidak secara luas dan terbatas. Sedangkan swasta bisa menjulurkan tentakel guritanya ke seluruh sektor kehidupan. Sekolah, rumah sakit, listrik, migas, keamanan, dsb. Di beberapa negara, seperti AS, ada tentara sewaan seperti Black Water yang pernah beroperasi di Irak.

Islam justru mengamanahkan Imam atau Khalifah dan aparatnya sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan rakyat. Bahkan Imam Syafi’i melukiskannya seperti orang yang mengurus anak yatim.

Sosok yang disebut anak yatim adalah insan yang ditinggal mati ayah di usia masih anak-anak/belum baligh. Sehingga mereka membutuhkan pihak yang meri’ayah, atau menjaga dan memenuhi kebutuhan hidup mereka, mengingat tidak ada sosok ayah yang harusnya menjadi tulang punggung keluarga.

Bicara soal anak yatim, maka agama ini begitu menekankan pentingnya berbuat baik pada anak yatim. Bahkan dalam QS al-Ma’un orang-orang yang menghardik anak yatim dicela oleh Allah sebagai pendusta agama. Mengerikan. Ada sekitar 22 ayat al-Qur’an yang perintahkan kaum muslimin untuk meri’ayah anak-anak yatim. Di antaranya:

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (TQS. al-Baqarah [2]: 83)

Bila mereka memiliki harta, maka anak-anak yatim ini belum punya kuasa untuk menggunakannya (tasharruf al-mal), karena usianya belum baligh. Sehingga pihak wali yang mengurusnya mesti menjaga dan melakukan tasharruf untuk keperluan mereka.Secara tegas pula al-Qur’an memperingatkan para pengasuh anak yatim untuk tidak memakan harta secara zalim, melainkan sekedar kebutuhan. FirmanNya:

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (TQS. An-Nisa [4]: 10).

Juga firmanNya:

وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ رُشۡدٗا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافٗا وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْۚ وَمَن كَانَ غَنِيّٗا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡۖ وَمَن كَانَ فَقِيرٗا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡ فَأَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبٗا

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (TQS. An-Nisa [4]: 6)

Penguasa dalam sistem politik Islam punya batasan kekuasaan dan wewenang. Hak dan kewajibannya juga bukan tanpa batas. Bedanya dalam sistem demokrasi, semua itu seperti pasal karet yang bisa ditarik dan dikendorkan sekehendak eksekutif dan legislatif. Konstitusi bisa diubah sesuai selera penguasa. Tinggal kongkalikong dengan legislatif, jadilah itu barang. Tak ada konsekuensi bersalah apalagi halal dan haram.

Sementara dalam Islam semua batasan itu ditentukan oleh syariat yang bersumber dari wahyu. Ada konsekuensi halal dan haram juga sudah pasti pahala dan dosa. Para pemimpin dan aparatur negara juga selalu diingatkan akan tanggung jawab di akhirat. Pesan Nabi Saw pada Abu Dzar dan juga pada kita semua:

يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ، وَإِنَهَا أَمَانَةُ، وَإِنَهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا

Hai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya pekerjaan itu adalah amanah, dan sesungguhnya ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban padanya (HR. Muslim).

Karenanya rakyat bukan beban, tapi amanah. Namun cuma orang-orang beriman yang menyadari ini semua. Mereka akan hati-hati mengurus rakyat, apalagi soal harta milik rakyat. Pantang menghalangi hak rakyat, apalagi memakannya dengan serakah. Khalifah Umar bin Khattab ra berkata; “Aku menempatkan diriku terhadap harta Allah (harta rakyat) ibarat harta anak yatim, bila aku berkecukupan maka aku jauhkan diriku darinya, dan jika aku butuh maka aku ambil dengan cara yang ma’ruf.”

Sumberdaya alam adalah harta milik Allah yang dijadikan syariat sebagai kepemilikan umum. Menghalangi rakyat atau menyusahkan mereka untuk mendapatkannya ibarat menahan harta anak yatim. Ini kemungkaran. Termasuk kebijakan menaikkan tarif BBM ini adalah menggerus harta ‘anak yatim’.

Seharusnya penguasa bekerja lebih keras untuk menangani krisis ini dengan melakukan perombakan besar-besaran dalam kebijakan migas. Cabut liberalisasi migas yang membiarkan swasta termasuk asing menguasai sektor migas dari hulu sampai ke hilir. Bangun kilang-kilang minyak yang modern sampai bisa menghasilkan BBM, bukan hanya minyak mentah.

Andaikan negara membutuhkan biaya produksi, maka syariat mengizinkan untuk memungut biaya dari rakyat secara ekonomis. Bukan malah berbisnis dengan pemilik harta ini. Lalu berlagak berjiwa sosial dengan menyalurkan bantuan sosial yang sebenarnya jauh dari memadai hanya untuk sekian juta orang. Sementara yang terdampak kenaikan BBM jauh lebih banyak.

Menghalangi hak rakyat seperti mendapatkan BBM sama seperti makan harta anak yatim. Zalim. Negara seperti itu adalah tipikal negara kapitalis membatasi peran negara untuk mengurusi rakyat. Memang ada kemudian bantuan sosial namun ala kadarnya sekedar untuk membuat rakyat tidak melakukan tindak kriminal, tidak marah kepada penguasa, bahkan belakangan menjadi alat kampanye politik partai atau calon presiden yang nanti akan bertarung di pemilu.

Selain itu, bermunculan lembaga-lembaga sosial yang membantu masyarakat miskin. Mereka menggalang donasi dari sesama warga untuk memberikan bantuan sosial seperti makanan, pakaian, biaya sekolah, perawatan kesehatan, bahkan sampai pengadaan infrastruktur seperti listrik, jalan, jembatan, rumah ibadah, dsb. Semua dikarenakan minimnya peran negara di tengah masyarakat.

Bahkan kondisi masyarakat semakin berat ketika negara menaikkan tarif pajak juga meluaskan obyek pajak. Sementara negara malah memilih membantu kalangan pengusaha besar atau kaum kapitalis dengan meringankan pungutan pajak, memudahkan izin usaha, memberikan konsesi lahan hingga permodalan.

Pemerintah Indonesia misalnya menaikkan PPN jadi 11% atas transaksi barang dan jasa secara umum. Sementara itu tarif PPh badan dari 25 persen ke 22 persen dan pada tahun 2022 menjadi 20 persen. Jelas ini tidak adil. PPN berlaku untuk transaksi barang dan jasa yang dilakukan semua kalangan, sementara PPh hanya dipungut dari aktifitas yang menghasilkan keuntungan seperti karyawan, perusahaan, dsb.

Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mensubsidi pengusaha sawit dengan mega dana Rp 7,5 triliun. Atau membangun proyek-proyek infrastruktur yang tidak berkorelasi dengan kepentingan masyarakat luas. Jalan tol, bandara, LRT, jalur kereta cepat, adalah bukanlah infrastruktur yang jadi kebutuhan dasar rakyat. Beda seperti pendidikan, kesehatan, pangan atau jalan umum selain tol, yang lebih dibutuhkan khalayak.

Menempatkan rakyat sebagaimana harta anak yatim hanya ada dalam konsep kehidupan yang dibangun dengan syariat Islam, bukan selain itu. Sebab, kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang memperlakukan rakyatnya dengan amanah dan adil, tidak mungkin dibangun tanpa landasan akidah Islam dan tanpa bangunan syariat Islam. Dalam kehidupan macam itu barulah rakyat diperlakukan layaknya anak yatim. Diperhatikan, dipenuhi kebutuhan hidupnya, dan hartanya pun akan terjaga.


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال