Rencana pemerintah terkait program konversi kompor gas menjadi kompor listrik (induksi) bagi rumah tangga, dinilai justru menguntungkan para oligarki daripada rakyatnya.
“Kebijakan pemerintah itu lebih banyak menguntungkan para oligarki ketimbang rakyat banyak,” ujar Peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada Mediaumat.id, Rabu (21/9/2022).
Sebutlah dari sisi pengadaan alat memasak yang menggunakan tenaga listrik sebagai pembangkit panas tersebut yang ternyata pemerintah telah menyerahkan ke sejumlah perusahaan produsen.
Sebagaimana pemaparan Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Dirjen ILMATE Kemenperin) Taufiek Bawazier dalam rapat dengan Komisi VII DPR, Rabu (21/9), sejumlah perusahaan di antaranya PT Adyawinsa Electrical and Power, PT Maspion Elektronik, PT Hartono Istana Teknologi, PT Selaras Citra Nusantara Persada dan Sutrado yang mendapatkan tender memproduksi setidaknya 5 juta kompor listrik pada 2023.
Rinciannya, Adyawinsa Electrical and Power sebanyak 1,2 juta, Maspion Elektronik 300 ribu, Hartono Istana Teknologi 1 juta, Selaras Citra Nusantara Persada 300 ribu, Sutrado 1 juta, dan perusahaan lain-lain 1,2 juta unit.
Terlepas mekanisme proses tender yang dilakukan, pemerintah sebelumnya mengaku hanya mampu memproduksi 300 ribu kompor listrik. Dengan demikian, bakal melibatkan pihak swasta dengan memproduksi 5 juta unit tahun depan.
“Di 2022, kemampuan nasional bisa 300 ribu, dan nanti begitu ada kepastian jenis daripada kompor induksinya, itu beberapa perusahaan yang eksisting memproduksi kompor listrik akan menambah investasinya khusus di kompor induksi. Tahun 2023 lima juta, 2024 lima juta, 2025 lima juta (unit),” ujar Taufiek.
Terlepas pula simulasi yang dilakukan Dewan Energi Nasional (DEN) yang menunjukkan penggunaan kompor induksi sangat hemat, ramah lingkungan, dan aman digunakan sekalipun, sambung Ishak, tetap yang paling diuntungkan adalah pihak produsen. “Yang paling diuntungkan adalah produsen yang mendapat tender pengadaan kompor listrik,” tegasnya sekali lagi.
Sehingga ia pun tak heran, karena Indonesia saat ini memang menganut sistem kapitalisme liberal yang berarti melepaskan tanggung jawab negara dalam urusan ekonomi termasuk pengelolaan sumber daya alam, dalam hal ini energi, dan menyerahkan kepada mekanisme pasar.
Selain itu, pihak PLN pun diuntungkan. Sebab kata Ishak, akan mengurangi over supply atau kelebihan pasokan listrik yang selama ini selalu merugikan perusahaan listrik milik negara itu.
Begitu pula dengan perusahaan listrik swasta (independent power producer/IPP) yang dibentuk oleh konsorsium untuk melakukan perjanjian Power Purchase Agreement yang selanjutnya disebut PPA, yakni perjanjian pembelian tenaga listrik yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dengan pengembang listrik swasta yang hingga akhir 2018 jumlahnya 328 unit pembangkit.
Solusi
Lantas, membahas jalan keluar dari polemik seperti yang terjadi saat ini, terutama terkait persoalan pengelolaan sumber daya alam berikut segala potensinya, Ishak mengajak umat agar kembali hanya kepada syariat Islam. “Solusinya pengelolaan energi di negara ini khususnya dan negara pada umumnya harus dikelola dengan syariat Islam,” terangnya.
Hanya dengan Islam, kata Ishak, sumber daya alam termasuk minyak dan gas bumi, ataupun batu bara di antara sumber daya utama pembangkit listrik, akan dikuasai oleh negara.
Sehingga kesejahteraan rakyat pun sangat berpotensi lebih baik. “Yang lebih utama, penerapan sistem Islam merupakan kewajiban bagi umat Islam,” pungkasnya.[]
Sumber: Media Umat | www.mediaumat.id
Rubrik
Nasional