Presiden Jokowi akhirnya bergeming menaikkan harga BBM pada 3 September 2022 Pukul 13.30 WIB. Harga Pertalite naik fantastis dari Rp 7.650 menjadi Rp. 10.000. Sementara harga subsidi Solar dikerek menjadi Rp. 6.800 per liter dari harga sebelumnya Rp. 5.150 per liter. Ini kenyataan pahit yang menghimpit rakyat Indonesia setelah didera kesempitan ekonomi akibat wabah Covid-19. Pemerintah beralasan menaikkan BBM lantaran anggaran subsidi dan kompensasi BBM sangat membebani APBN.
Kenaikan harga BBM pasti berbanding lurus dengan penderitaan ekonomi rakyat. Semua elemen bangsa ini berpendapat sama soal kenaikan harga BBM. Sebuah kebijakan yang menzhalimi rakyat. Sebaliknya, kebijakan pemerintah berbasis sistem ekonomi kapitalisme memang meniscayakan kenaikan harga BBM.
Sejatinya, sistem ekonomi kapitalisme merumuskan perangkat ekonomi yang bertumpu kepada ekonomi pasar bebas. Menurut ekonomi kapitalisme, setiap orang hanya dapat memperoleh kesejahteraan ekonomi atau memenuhi kebutuhan yang lebih layak bila dapat menguasai sentra-sentra ekonomi. Berangkat dari logika ini, menjadi sahih apabila akses ekonomi dan kepemilikan ekonomi hanya dikuasai sekelompok orang yang memiliki kekuatan modal, kekuatan pengaruh dengan kekuasaan, serta pemegang simpul-simpul kekuasaan. Artinya, menurut ekonomi kapitalisme, seorang warga negara yang menghendaki jaminan hidup lebih baik maka pilihannya hanya satu, yakni bertarung dalam persaingan ekonomi. Inilah yang dimaksud dengan pasar bebas.
Tragisnya, orang-orang lemah seperti yang sedang sakit, orang yang menyandang disabilitas, miskin tak punya uang, anak-anak, perempuan, para pihak yang tidak punya akses dengan kekuasaan, bakal terlempar untuk mendapatkan kesejahteraan ekonomi. Inilah kekejaman ekonomi kapitalisme, sebuah sistem ekonomi yang tak punya belas kasihan sebagai ibu kandung dari sekulerisme, paham yang memisahkan spritualisme dengan ususan kehidupan masyarakat.
Sistem ekonomi kapitalisme yang kejam tanpa belas kasihan, telah menjadikan barang-barang kepemilikan melulu milik individu. Tak ada kepemilikan milik umum. Semua kepemilikan ekonomi menjadi milik individu yang untuk mendapatkannya, setiap pelaku ekonomi harus bersaing dan saling berebut untuk menguasainya. Fungsi negara hanya sebagai wasit dalam persaingan tersebut.
Sistem ekonomi kapitalisme, sejatinya mengharamkan subsidi negara kepada rakyat. Rakyat tak boleh dimanjakan subsidi. Rakyat harus terjun bebas mengais sendiri rejeki ekonomi. Rakyat tidak boleh jadi beban negara atas nama subsidi. Wajarlah negara dalam jeratan sistem ekonomi kapitalisme telah menjadikan para aparatur negara melakukan perselingkuhan dengan para oligarki ekonomi, sekelompok elit ekonomi yang menguasai pusat-pusat ekonomi. Semua barang komoditas dipermainkan oleh para elit kekuasaan demi memenuhi keserakahan ekonomi para oligarki. Rakyat menjadi tumbalnya.
Logika ekonomi kapitalisme yang menjadikan semua barang ekonomi sebagai komoditas yang diperjualbelikan maka wajar pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup rakyatnya, meniscayakan jual beli dengan rakyatnya melalui patokan harga pasar mengikuti irama harga pasar dunia. Kesimpulannya, rakyat harus membeli kepada negara jika rakyat mau mendapatkan fasilitas kebutuhan ekonomi termasuk fasilitas-fasilitas lainnya, seperti fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan.
Sangat berbeda dengan negara yang menerarpkan sistem ekonomi berbasis syariah atau sistem eknomi Islam. Fungsi negara adalah pelayan bagi rakyatnya. Pemerintah negara Islam dilarang keras oleh Baginda Nabi SAW mengabaikan hak-hak ekonomi rakyat. Tindakan pemerintah yang mengabaikan pelayanan urusan rakyat kelak mendapatkan azab yang sangat pedih dari Allah SWT. Pemerintah demikian diingatkan Rasulullah SAW bakal terkena kesempitan serta kesengsaraan dunia dan akhirat.
Fungsi pemerintah sebagai pelayan rakyat menurut sistem ekonomi Islam, menjadi semakin maksimal sebab pemerintah mendapatkan sumber-sumber kepemilikan ekonomi yang sedemikian melimpah guna membiayai fasilitas pelayanan kepada rakyat. Ini karena sistem ekonomi Islam tidak melulu menjadikan semua sumber kepemilikan ekonomi mutlak milik individu atau oligarki. Sistem ekonomi Islam, berdasarkan syariah, telah menetapkan beberapa sumber ekonomi sebagai milik umum, diantaranya barang tambang yang jumlahnya banyak tidak terbatas, semisal Bahan Bakar Minyak (BBM), dilarang keras dialihkan kepada kepemilikan individu atau diserahkan kepada oligarki. Negara, notabene pemerintah, dilarang keras memperjualbelikan BBM kepada rakyatnya. Sebabnya, BBM adalah milik umum, bukan barang komoditas yang layaknya dijual berdasarkan harga pasar. Status BBM sebagai milik umum menurut sistem ekonomi Islam, telah dijelaskan dalam berbagai kitab fikih ekonomi Islam, semisal Nizhamul Iqtishadi karya Sheikh Taqiyuddin An Nabhani, Al Amwal fi Daulah karya Sheikh Abdul Qadim Zallum, Al Amwal karya Abu ‘Ubaid, silahkan dibaca, kitab terjemahannya sudah tersedia.
Atas dasar itulah, dalam perspektif Islam, menaikkan harga BBM adalah kezaliman luar biasa, sebab BBM merupakan milik umum. Tidak boleh diperdagangkan. Pemerintah hanya dalam posisi mendistribusikannya kepada rakyat. Negara tidak boleh mengeruk untung apapun alasannya. Bahkan bila perlu negara menyediakan gratis kepada rakyat atau paling tidak negara membebani harga BBM kepada rakyat dengan harga murah. Soalnya, BBM sekali lagi bukan barang komoditas yang diperjualbelikan di pasar. Status BBM adalah milik umum (Al-Milkiyatul Aam) yang tidak boleh diperjualbelikan kepada rakyat.
BBM dalam perspektif ekonomi kapitalis, yang tengah berlaku, dipandang sebagai barang komoditas yang layak diperjualbelikan. Wajarlah BBM setiap tahun dinaikkan harganya karena mengikuti harga pasar umumnya. Maka dalam perspektif seorang muslim yang taat kepada syariah, wajib menolak kenaikan harga BBM sebab merupakan tindakan zhalim kepada rakyat. Ini bukan masalah sabar menghadapi kelakuan pemerintah. Persoalan utamanya adalah terjadi pelanggaran syariat berkenaan dengan penanganan BBM sebagai harta milik umum.
Oleh: Abu Muhammad Asyam
Indonesia Justice Monitor
Rubrik
Nasional