Topik fikih pertama yang dikemukakan oleh Al-‘Allāmah al-Faqīh al-Muhaqqiq Sālim bin ‘Abd Allāh bin Sumayr al-Ḥaḍrami asy-Syāfi’i (wafat 1316 H) dalam matan beliau yang sangat terkenal, “Safīnah an-Najāh”—ada juga yang menyebutnya “Safīnah an-Najā” atau “Safīnah an-Najā`”—adalah tanda-tanda balig. Tanda atau alamat balig ini ada tiga.
1. Genap berusia 15 tahun, berlaku untuk laki-laki dan perempuan
2. Mimpi basah, juga berlaku untuk laki-laki dan perempuan
3. Haid (khusus untuk wanita yang telah melewati usia sembilan tahun)
Satu saja dari ketiga perkara di atas terpenuhi (mimpi basah, haid, atau cukup umur) maka seseorang dinyatakan balig[1]. Artinya, dia telah mencapai batas dimulainya taklif[2].
1) Genap berusia 15 tahun berdasarkan kalender Qamariyyah; kriteria ini merupakan pembatasan yang tegas (taḥdīdi) tanpa ada perbedaan pendapat (bi al-ittifāq), berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan[3]. Artinya, seseorang yang telah mencapai usia ini, secara pasti dinyatakan balig kendati belum pernah mengalami mimpi basah atau belum mengalami menstruasi (haid)[4].
Olehnya itu, terkait tanda pertama ini, penting sekali mengetahui tanggal, bulan, dan tahun kelahiran Anda (juga anak-anak Anda) dalam penanggalan Hijriyyah[5]. Anda dapat menggunakan aplikasi atau situs daring untuk memudahkan konversi penanggalan Masehi Gregorian ke penanggalan Hijriyyah[6].
Dasar dari batas usia 15 tahun ini di antaranya adalah riwayat dari Ibn ‘Umar raḍiyallāh ‘anhumā:
عرضني رسول الله صلي الله عليه وسلم يوم أحد في القتال وأنا ابن أربع عشرة سنة فلم يجزني و عرضني يوم الخندق وأنا ابن عشرة سنة فأجزني
“Rasulullah ﷺ menawariku pada Perang Uhud saat aku berumur 14 tahun, beliau ternyata tidak membolehkanku. Beliau menawariku pada Perang Khandaq ketika aku berusia 15 tahun, lalu beliau membolehkanku”. (HR al-Bukhāri no. 2664[7] dan Muslim no. 1868[8] ; redaksi yang digunakan adalah riwayat Muslim).
Ibn Ḥajar al-‘Asqalāni menambahkan terkait hadis ini, menghubungkannya dengan kondisi balig:
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبَيْهَقِيِّ: فَلَمْ يُجِزْنِي، وَلَمْ يَرَنِي بَلَغْتُ وَصَحَّحَهَا ابْنُ خُزَيْمَةَ
“Dalam riwayat oleh Al-Bayhaqi: ‘Beliau tidak membolehkanku; beliau tidak menganggapku sudah balig.’ Ini disahihkan oleh Ibn Khuzaymah.”[9]
2) Mimpi basah; ini dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan yang telah berusia sembilan tahun. Ketentuan usia sembilan tahun ini dinyatakan oleh sebagian ulama (semisal Al-Bayjūri dan Asy-Syirbīni) bersifat taḥdīdi; ada pula yang menilainya sekadar taqrībi atau perkiraan (seperti Ibn Ḥajr al-Haytami dan Zakariyyā al-Anṣāri); ar-Ramli, sebagaimana dinukilkan oleh ‘Abd Al-Karīm, menyatakannya taqrībi pada perempuan dan taḥdīdi pada laki-laki[10].
Di antara nas yang menjadi dalil ketentuan ini adalah:
وَاِذَا بَلَغَ الۡاَطۡفَالُ مِنۡكُمُ الۡحُـلُمَ فَلۡيَسۡتَـاْذِنُوۡا كَمَا اسۡتَـاْذَنَ الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِهِمۡؕ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَـكُمۡ اٰيٰتِهٖؕ وَاللّٰهُ عَلِيۡمٌ حَكِيۡمٌ
“Dan apabila anak-anakmu telah mencapai al-ḥulum, maka mereka meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayat-Nya. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (An-Nur [24]: 59)
Al-Bagawi menyatakan bahwa al-ḥulum bermakna al-iḥtilām (mimpi basah) sehingga makna awal ayat tersebut (وَاِذَا بَلَغَ الۡاَطۡفَالُ مِنۡكُمُ الۡحُـلُمَ): mereka telah balig[11]. Aṣ-Ṣābūni bahkan menegaskan bahwa para ahli fikih telah bersepakat tanpa ada satu pun yang menyelisihi: anak yang mengalami iḥtilām sungguh telah balig[12].
Kriteria ini bisa lebih diperjelas lagi sebagai keluarnya air mani (al-imnā`), baik terjadinya dalam mimpi (nawm) maupun saat terjaga (yaqẓah), melalui aktivitas seksual (jimā’) atau selainnya[13].
3) Haid; ini spesifik untuk perempuan yang telah berusia sembilan tahun. Sekali lagi, standarnya adalah penanggalan Qamariyyah. Hanya saja, batas usia sembilan tahun di sini merupakan taqrībi (approximately), bisa saja kurang sedikit dari itu. Sebab, memang tidak ada nas khusus yang menyebutkan batasan ini secara tegas; penetapannya berdasarkan pengamatan empiris terhadap fakta yang terjadi (al-istiqrā`: tatabbu’ al-ḥawādiṡ)[14].
********
[1] Muṣṭafā bin Aḥmad bin ‘Abd an-Nabiyy, Mu`nis al-Jalīs bi Syarh al-Yāqūt an-Nafīs (Kuwait: Dār aḍ-Ḍiyā` li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2021), Juz 1, 168.
[2] Muḥammad bin ‘Ali bin Muḥammad Bā’aṭiyyah ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā Syarḥ Safīnah an-Najā` (Amman: Dār al-Fatḥ li ad-Dirāsāt wa an-Nasyr, 2008), 106.
[3] As-Sayyid Aḥmad bin ‘Umar Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā` bi Syarḥ Safīnah an-Najā` (Beirut: Dār al-Minhāj, 2021), 124.
[4] Muṣṭafā al-Bugā, Muṣṭafā al-Khin, ‘Ali asy-Syurbaji, Al-Fiqh al-Manhaji ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2010), 48.
[5] Mengetahui penanggalan Hijriyyah ini juga penting karena berkaitan dengan banyak ketentuan syariat yang lain, semisal haul zakat, penetapan awal-akhir Ramadhan, mulai dan usainya pelaksanaan manasik haji, dll.
[6] Di antara yang biasa kami gunakan adalah fitur yang terdapat dalam laman di tautan berikut.
[7] Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhāri, Al-Jāmi’ al-Musnad aṣ-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min Umūr Rasūl Allāh ﷺ wa Sunnatih wa Ayyāmih (Kairo: Ad-Dār al-‘Ālamiyyah li an-Nasyr wa at-Tajlīd, 2015), 390.
[8] Muslim bin al-Ḥajjāj an-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim (Kairo: Ibdā’ li al-I’lām wa an-Nasyr, 2020), 456.
[9] Aḥmad bin Ḥajar al-‘Asqalāni, Bulūg al-Marām min Adillah al-Ahkām, tahqīq Māhir Yāsīn al-Faḥl (Riyadh: Dār al-Qabs li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2014), 332.
[10] Muḥammad Nawawi bin ‘Umar al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā` ‘alā Syarh Safīnah an-Najā fī Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i (Kediri: Maktabah As-Salam, 2019), 32—33.
[11] Ḥusayn bin Mas’ūd al-Bagawi, Ma’ālim at-Tanzīl (diakses secara daring melalui tautan https://quran.ksu.edu.sa/taf.../baghawy/sura24-aya59.html...
[12] Muḥammad ‘Ali aṣ-Ṣābūni, Rawā`i' al-Bayān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min Al-Qur`ān (tanpa kota: Dār al-Mawāhib al-Islāmiyyah li aṭ-Ṭibā’ah wa an-Nasyr wa at-Tawzī’, tanpa tahun), Jilid 2, 166.
[13] Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā`…, 124.
[14] Muḥammad az-Zuhayli, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh asy-Syāfi’i (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2011), Juz 1, 120.
Oleh: KH. Mahyuddin
Pengasuh Majelis Nurul 'Ilmi Sultra
Rubrik
Fiqh