Fardu-fardu mandi ada dua:
1. Niat
2. Membasahi seluruh badan dengan air
Kedua fardu ini harus terpenuhi, baik untuk mandi yang wajib maupun sunnah[1].
1. Niat
Dalil rukun ini adalah hadis Nabi ﷺ yang mashyur dari Amīr al-Mu`minīn Abī Ḥafṣ ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāh ‘anh:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Tak lain amal perbuatan itu berdasarkan niat.” (HR Al-Bukhāri no. 1 dan Muslim no. 1907; redaksi yang digunakan adalah riwayat Al-Bukhāri)[2].
Niat mandi wajib, fardu mandi, atau mengangkat hadas besar dipancangkan saat mulai membasuh bagian tubuh, entah memulainya dari bagian atas tubuh, tengah, atau bawah (bagian tubuh yang sudah dibasuh sebelum berniat wajib diulang membasuhnya)[3], sebab tidak ada keharusan tertib dalam mandi[4].
Niat ini membedakan mandi sebagai kebiasaan (membersihkan atau mendinginkan tubuh) dengan mandi sebagai ibadah, juga membedakan antara mandi ibadah yang wajib dari yang sunnah[5].
Seseorang yang meniatkan mandi untuk mengangkat hadas besar, mandinya tersebut juga mengangkat hadas kecil selama dalam mandinya dia tidak melakukan hal-hal yang membatalkan wudu, seperti menyentuh kemaluan dsb. Sebab, hadas kecil tercakup dalam hadas besar kendati pelaksanaan mandinya tidak sesuai dengan tertib anggota wudu.[6]
Jika perkara penyebab wajibnya mandi secara asal syara’ (wājibah bi aṣl asy-syar’) lebih dari satu, misal seorang wanita yang telah melakukan hubungan seksual (belum sempat mandi) kemudian mengalami nifas dan haid, maka dia cukup meniatkan mandi wajib sekali saat sudah berhenti haid nanti, tidak lebih[7]. Demikian pula jika berhimpun dua mandi yang sunnah, cukup meniatkan dan melaksanakan satu mandi[8].
Apabila berhimpun antara mandi wajib dengan mandi sunnah, semisal seorang laki-laki mengalami janabah sebelum berangkat untuk Salat Jumat, lalu dia ingin mengangkat hadas besar serta ingin memperoleh pahala mandi sunnah, dia dapat meniatkan kedua mandi itu sekaligus dan melaksanakannya dalam satu mandi saja. jika dia meniatkan salah satunya saja maka hanya yang diniatkan itu saja yang sah.[9]
2. Membasahi Seluruh Tubuh dengan Air
Artinya, wajib mengenakan air ke seluruh permukaan tubuh (rambut, kulit, dsb)[10]. Adapun berkumur dan menghirupkan air ke hidung bukanlah keharusan, melainkan kesunnahan sebagaimana dalam wudu dan memandikan jenazah[11]. Apa saja yang dapat menghalangi permukaan tubuh terkena air, mesti dihilangkan, seperti cat kuku yang biasa digunakan kaum wanita; gelungan rambut yang menghalangi sampainya air juga wajib diurai[12].
‘Aliyy raḍiyallāh ‘anh berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يَغْسِلْهَا فُعِلَ بِه كَذَا وَكَذَا مِنْ النَّارِ
“Siapa meninggalkan suatu tempat rambut dari janabah, tidak membasuhnya, maka akan disiksa begini dan begini di neraka.”[13]
Abū Dāwud meriwayatkan hadis ini dan tidak menyatakannya lemah. Artinya, hadis ini ṣaḥiḥ atau ḥasan berdasarkan kaidah beliau. An-Nawawi menyatakan, “Itu ḥasan.”; Al-Qurṭubi mengatakan, “Itu ṣaḥiḥ.”[14]
Lalu, bagaimana dengan rambut yang rontok, kuku yang dipotong, dsb saat sedang berhadas besar: apakah perlu dikumpulkan untuk dimandikan? Beberapa ulama Syafi’iyyah menyatakannya demikian, misalnya Zayn ad-Dīn al-Malībāri dalam Syarah Qurrah al-‘Ayn:
وينبغي أن لا يزيلوا قبل الغسل شعرا أو ظفرا، وكذا دما، لان ذلك يرد في الآخرة جنبا
"Sepatutnya tidak menghilangkan sebelum mandi: rambut atau kuku, begitu pula darah. Sebab, itu akan dikembalikan di akhirat dalam keadaan junub."[15]
Namun, tak ada dasar kuat yang melandasi pendapat di atas. Olehnya itu, banyak ulama Syafi’iyyah yang tidak sepakat dengan kesimpulan tersebut. Artinya, rambut yang rontok dsb tidak perlu dikumpulkan untuk selanjutnya dimandikan. Inilah—wallāh a’lam—pandangan yang lebih tepat.[16]
Sebagai tambahan, dalam bersuci (ṭahārah) ada yang dinamakan konsep muwālah. Maknanya, aktivitas bersuci dilakukan beriringan, tanpa jeda yang lama secara ‘urf, di mana bagian anggota tubuh yang dibasuh sebelumnya tidak sampai kering saat seseorang membasuh bagian berikutnya. Ini sebagai bentuk ittibā’ (meneladani) wudu Nabi ﷺ. Dalam Mazhab Syafi’i, ketentuan muwālah dalam mandi—juga wudu—hukumnya sunnah, bukan wajib. Nāfi’ meriwayatkan bahwa Ibn ‘Umar berwudu di pasar (membasuh wajah, dan kedua tangannya serta mengusap kepalanya) kemudian beliau dipanggil untuk menyalati jenazah; beliau pun memasuki masjid kemudian mengusap kedua khuff-nya setelah kering wudunya dan beliau menunaikan salat (HR Mālik dalam Al-Muwaṭṭa` serta Al-Bayhaqi dan beliau mengatakan “Ini saḥīḥ dari Ibn ‘Umar, masyhur dengan lafal ini dan merupakan dalil yang hasan”). Ibn ‘Umar melakukan itu di hadapan orang banyak yang juga menghadiri penyelenggaraan jenazah dan tiada yang mengingkari beliau. Kesunnahan muwālah ini juga sebagai bentuk keluar dari perbedaan pendapat pihak yang mewajibkannya, seperti kalangan Maliki.[17]
Contoh praktis begini. Si A berwudu. Saat tengah berwudu, dia kehabisan air. Wudunya belum tuntas, katakanlah kurang membasuh kaki kiri. Karena kehabisan air, dia mencarinya ke tetangga. Sampai di rumah tetangga, ternyata anggota wudu yang sudah dibasuhnya sudah kering semua. Dalam Mazhab Syafi’i, karena tak harus muwālah, dia dapat melanjutkan wudunya yang kurang, yakni membasuh kaki kirinya tanpa perlu mengulang dari awal. Bahkan, andai si A tidak ke tetangga, tapi memesan air tangki yang baru diantarkan sejam kemudian, maka dia juga tidak harus mengulang wudu, tinggal membasuh kaki kirinya. Ini dengan catatan, selama jeda tersebut tidak terjadi hal-hal yang membatalkan wudu, semisal buang angin, dsb. Adapun menurut kalangan Maliki, yang mengharuskan muwālah, si A dalam kasus di atas wajib mengulangi wudu dari awal.
Satu contoh terakhir terkait kasus mandi wajib. Seseorang yang berhadas besar dapat melakukan mandi wajib dengan menyicilnya. Misal, mulanya dia meniatkan mandi lalu membasuh bagian atas tubuhnya saja, kemudian melanjutkan sisanya beberapa jam kemudian (sekali lagi dengan catatan, selama jeda tersebut tidak terjadi hal-hal yang membuatnya berhadas besar). Demikian dalam Mazhab Syafi’i.
Wallāh a’lam bi aṣ-ṣawāb.
*****
[1] As-Sayyid Aḥmad bin ‘Umar Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā` bi Syarḥ Safīnah an-Najā` (Jeddah: Dār al-Minhāj, 2021), 149.
[2] Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhāri, Al-Jāmi’ al-Musnad aṣ-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min Umūr Rasūl Allāh ﷺ wa Sunnatih wa Ayyāmih (Kairo: Ad-Dār al-‘Ālamiyyah li an-Nasyr wa at-Tajlīd, 2015), 1015; Muslim bin al-Ḥajjāj an-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim (Kairo: Ibdā’ li al-I’lām wa an-Nasyr, 2020), 65.
[3] Ibid., 150; Muḥammad Nawawi bin ‘Umar al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā` ‘alā Syarh Safīnah an-Najā fī Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i (Kediri: Maktabah As-Salam, 2019), 47—48.
[4] Syams ad- Dīn Muḥammad bin Aḥmad Al-Khaṭīb asy-Syirbīni, Al-Iqnā’ fi Ḥall Alfāẓ Abī Syujā’ (Kairo: Ad-Dār al-‘Ālamiyyah li an-Nasyr wa at-Tajlīd, 2019), Juz I, 79.
[5] Muḥammad az-Zuhayli, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah wa Taṭbīqātuhā fi al-Maẓhab asy-Syāfi’i (Damaskus: Maktabah Dār al-Bayān, 2019), 24.
[6] Muḥammad bin ‘Ali bin Muḥammad Bā’aṭiyyah ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā Syarḥ Safīnah an-Najā` (Amman: Dār al-Fatḥ li ad-Dirāsāt wa an-Nasyr, 2008), 172.
[7] Ibid.
[8] Ḥasan bin Aḥmad bin Muḥammad Sālim al-Kāf, At-Taqrīrāt as-Sadīdah fī al-Masā`il al-Mufīdah Qism al-‘Ibādāt (Surabaya: Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah li aṭ-Ṭibā’ah wa at-Tawzī’, 2006), 118.
[9] Muṣṭafā bin Aḥmad bin ‘Abd an-Nabiyy, Mu`nis al-Jalīs bi Syarh al-Yāqūt an-Nafīs (Kuwait: Dār aḍ-Ḍiyā` li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2021), Juz 1, 76.
[10] Ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā…., 173.
[11] Asy-Syirbīni, Al-Iqnā’ fi…., Juz I, 80.
[12] Hisyām al-Kāmil Ḥāmid, Al-Imtā’ bi Syarh Matn Abī Syujā’ fī al-Fiqh asy-Syāfi’i (Kairo: Dār al-Manār, 2011), 43.
[13] Abū Dāwud Sulaymān bin al-Asy’aṡ al-Azdi as-Sijistāni, Sunan Abī Dāwud, tahqīq Syu’ayb al-Arna`ūṭ dan Muḥammad Kāmil Qurah Balali (Beirut: Dār ar-Risālah al-‘Ālamiyyah, 2009), Juz I, 181.
[14] Taqiyy ad-Dīn Abū Bakr bin Muḥammad al-Ḥusayni al-Ḥiṣni, Kifāyah al-Akhyār fī Hall Gāyah al-Ikhtiṣār (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2004), 62.
[15] Zayn ad-Dīn al-Malībāri, Fatḥal-Mu’īn bi Syarḥ Qurrah al-‘Ayn bi Muhimmāt ad-Dīn fi al-Fiqh ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i, murāja’ah dan ta’līq oleh Musyaffa’ Sirāj (Madura: Gerbang Andalus Publisher and Distributors, tanpa tahun), 15.
[16] Uraian ringkas tentang diskursus ini antara lain dapat dibaca dalam makalah melalui tautan berikut.
[17] Muḥammad az-Zuhayli, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh asy-Syāfi’i (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2011), Juz 1, 82 dan 140.
Oleh: KH. Mahyuddin
Pengasuh Majelis Nurul 'Ilmi Sultra
Pengasuh Majelis Nurul 'Ilmi Sultra
Rubrik
Fiqh