Catatan Fiqh Safinah 7: Perkara-Perkara yang Mewajibkan Mandi

Kendaribertakwa.com: Media dakwah online di Kendari, Sulawesi Tenggara yang menyajikan berita Islami. Tampil dengan memandang berbagai peristiwa dengan sudut pandang Islam. Pusatnya artikel Islami untuk membangkitkan budaya literasi kaum muslimin khususnya di Kota Kendari.

Perkara-perkara yang mewajibkan mandi ada enam:
1. Masuknya al-ḥasyafah ke dalam farji
2. Keluarnya mani
3. Haid
4. Nifas
5. Melahirkan
6. Kematian

Dasar kewajiban mandi di antaranya adalah penggalan ayat [1]:

وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا

“… Jika kalian junub maka bersucilah….” (Al-Mā`idah: 6).

Secara bahasa, mandi (al-gusl) berarti mengalirkan air atas sesuatu. Adapun secara syar’i, kata ini merupakan istilah yang bermakna mengalirkan air ke seluruh tubuh dengan niat khusus.[2]

Lafal al-gUsl/al-gAsl apabila disandarkan kepada sebab maka bacaan yang lebih fasih adalah dengan ḍammah, seperti mandi jumat (gusl al-jumu’ah), mandi dua hari raya (gusl al-‘īdayn), juga gusl al-badan; adapun jika disandarkan kepada pakaian (aṡ-ṡawb) dsb maka yang lebih fasih adalah dengan fatḥah: gasl aṡ-ṡawb. Adapula bacaan dengan kasrah (gisl) untuk menyebut sesuatu yang dipakai mencuci, seperti bidara, sabun, dsb.[3]

Enam perkara yang mewajibkan mandi, tiga berkaitan dengan laki-laki dan perempuan (yakni hubungan seksual, keluarnya mani, dan kematian). Selanjutnya, tiga yang lainnya (haid, nifas, dan melahirkan) spesifik bagi kaum hawa.[4]

1. Masuknya glans penis (al-ḥasyafah) ke dalam farji
Farji di sini mencakup kubul dan dubur perempuan serta binatang, juga dubur laki-laki, hidup atau mati, dsb. Pihak yang memasukkan dan yang dimasukkan al-ḥasyafah semuanya wajib wandi. Khusus untuk jenazah yang disetubuhi, tidak harus diulangi memandikannya.[5]

Perlu ditegaskan, ulasan paragraf di atas itu dalam konteks menjelaskan hukum fiqh, bukan membenarkan perilaku seks menyimpang. Hubungan seksual yang dihalalkan sekarang ini hanyalah hubungan laki-laki—perempuan yang terikat pernikahan yang sah. Selain itu haram hukumnya.

Terkait hal ini, ‘Ā`isyah raḍiyallāh ‘anhā menuturkan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Mājah no. 608:

إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

“Apabila sudah bertemu dua khitan maka sungguh telah wajib mandi….”[6]

Bahkan kewajiban mandi ini tetap berlaku kendati tidak ada air mani yang keluar saat hubungan seksual berlangsung. HR Muslim no. 384 menyebutkan:

وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ

“Walaupun tidak terjadi ejakulasi”[7]

2. Keluarnya mani
Ini berlaku baik dalam keadaan terjaga maupun tidur[8]. Dasarnya adalah sabda Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Muslim no. 343 dari Abū Sa’īd al-Khudri raḍiyallāh ‘anh:

إِنَّمَا الْمَاءُ مِنْ اَلْمَاءِ

“Tak lain air itu karena air”.[9]

Hadis ini menunjukkan wajibnya mandi (al-mā` yang disebutkan pertama) karena keluarnya mani (al-mā` yang disebutkan kedua).[10]

3. Haid
Yang dimaksudkan dengan poin keempat ini adalah terputusnya darah haid[11]. Allah ﷻ berfirman:

وَيَسۡـــَٔلُوۡنَكَ عَنِ الۡمَحِيۡضِ‌ۙ قُلۡ هُوَ اَذًى فَاعۡتَزِلُوۡا النِّسَآءَ فِى الۡمَحِيۡضِ‌ۙ وَلَا تَقۡرَبُوۡهُنَّ حَتّٰى يَطۡهُرۡنَ‌‌

Mereka menanyaimu tentang haid. Katakanlah: Itu adalah kotoran. Olehnya itu, jauhilah istri-istri pada waktu haid dan janganlah kalian mendekati mereka hingga mereka bersih…. (Al-Baqarah: 222)

Yaṭhurn bermakna: terhenti dari mereka darah haid.[12]

فَاِذَا تَطَهَّرۡنَ

“maka jika mereka telah bersuci….” (Al-Baqarah: 222)

Bersuci yang dengannya jimak menjadi halal adalah bersuci dengan air sebagaimana bersucinya orang yang junub; tidak halal melakukan hubungan suami-istri hingga haid berhenti dan istri mandi dengan air.[13]

Makna ini juga ditunjukkan oleh sabda beliau ﷺ kepada Fāṭimah bint Abī Ḥubaysy raḍiyallāh ‘anhā yang diriwayatkan oleh Al-Bukhāri no. 320:

فإذا أقْبَلَتِ الحَيْضَةُ، فَدَعِي الصَّلاةَ وإذا أدْبَرَتْ فاغْتَسِلِي وصَلِّي

“…. Apabila datang masa haid maka tinggalkanlah salat. Bila telah berlalu maka mandilah dan salatlah.”[14]

4. dan 5. Nifas dan Melahirkan
Nifas merupakan kondisi keluarnya darah setelah melahirkan. Darah yang keluar menjelang persalinan (saat pembukaan dsb) atau yang keluar berbarengan dengan keluarnya bayi tidak dianggap sebagai darah nifas. Olehnya itu, wanita yang mengalami perdarahan saat pembukaan atau sedang melahirkan tetap wajib salat; jika tak memungkinkan menunaikan salat, wajib meng-qaḍā-nya. Nifas dapat keluar sebentar saja, bisa juga berhari-hari (umumnya 40 hari), maksimal 60 hari (melebihi ini dianggap istiḥāḍah). Ini ditetapkan berdasarkan pengamatan empiris (istiqrā`).[15]

Andai ada persalinan yang tidak mengeluarkan darah nifas, wanita tersebut tetap wajib mandi menurut pendapat yang muktamad. Ketentuan ini didasarkan pada dalil yang sama dengan haid.[16]

6. Kematian
Tatkala putri beliau, Zainab raḍiyallāh ‘anhā, wafat, Nabi ﷺ bersabda:

اغسلنها ....

“Mandikanlah dia….” (HR Al-Bukhāri no. 1263 dan Muslim no. 939 dari Umm ‘Aṭiyyah raḍiyallāh ‘anhā [17]).

Ini menjadi dalil atas wajibnya memandikan jenazah [18]. Memandikan jenazah merupakan fardu kifayah yang wajib ditunaikan oleh kaum muslimin, termasuk janin keguguran yang belum tampak tanda-tanda kehidupan jika telah mencapai usia empat bulan; dikecualikan dari ketentuan ini adalah orang yang syahid dalam medan pertempuran[19].


*****
[1] As-Sayyid Aḥmad bin ‘Umar Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā` bi Syarḥ Safīnah an-Najā` (Jeddah: Dār al-Minhāj, 2021), 145.
[2] Ibid.
[3] Muḥammad bin ‘Ali bin Muḥammad Bā’aṭiyyah ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā Syarḥ Safīnah an-Najā` (Amman: Dār al-Fatḥ li ad-Dirāsāt wa an-Nasyr, 2008), 1167.
[4] Muḥammad Nawawi bin ‘Umar al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā` ‘alā Syarh Safīnah an-Najā fī Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i (Kediri: Maktabah As-Salam, 2019), 44.
[5] Ibid.
[6] Abū ‘Abd Allāh Muḥammad bin Yazīd bin Mājah al-Qazwīni, Sunan Ibn Mājah, tahqīq Rā`id bin Ṣabri Ibn Abī ‘Alfah (Riyadh: Dār al-Ḥaḍārah li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2015). 95.
[7] Muslim bin al-Ḥajjāj an-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim (Kairo: Ibdā’ li al-I’lām wa an-Nasyr, 2020), 87.
[8] Al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā`…., 45.
[9] An-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim …., 86.
[10] Ḥasan Sulaymān an-Nūri dan ‘Alawi ‘Abbās al-Māliki, Ibānah al-Aḥkām Syarh Bulūg al-Marām (Surabaya: Al-Hidayah, tanpa tahun), Juz 1, 171.
[11] Ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā…., 169—170.
[12] Muḥammad ‘Ali aṣ-Ṣābūni, Rawā`i' al-Bayān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min Al-Qur`ān (tanpa kota: Dār al-Mawāhib al-Islāmiyyah li aṭ-Ṭibā’ah wa an-Nasyr wa at-Tawzī’, tanpa tahun), Jilid 1, 225.
[13] Ibid., 231.
[14] Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhāri, Al-Jāmi’ al-Musnad aṣ-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min Umūr Rasūl Allāh ﷺ wa Sunnatih wa Ayyāmih (Kairo: Ad-Dār al-‘Ālamiyyah li an-Nasyr wa at-Tajlīd, 2015), 68.
[15] Muṣṭafā al-Bugā, Muṣṭafā al-Khin, ‘Ali asy-Syurbaji, Al-Fiqh al-Manhaji ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2010), 50—51.
[16] Muṣṭafā al-Bugā, At-Taẓhīb fi Adillah Matn al-Gāyah wa at-Taqrīb (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2019), 28.
[17] Al-Bukhāri, Al-Jāmi’ al-Musnad …., 194; An-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim …., 208.
[18] Abū al-Fatḥ Ibn Daqīq al-‘Īd, Iḥkām al-Aḥkām Syarḥ ‘Umdah al-Aḥkām (Damaskus: Mu`assasah ar-Risālah Nāsyirūn, 2021), 283.
[19] Ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā…., 170.


Oleh: KH. Mahyuddin
Pengasuh Majelis Nurul 'Ilmi Sultra
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال