Air itu ada yang sedikit, ada pula yang banyak. Air yang sedikit adalah air yang kurang dari dua qullah. Adapun air yang banyak adalah yang mencapai dua qullah ke atas. Air yang sedikit menjadi bernajis dengan masuknya najis ke dalamnya meski tidak mengalami perubahan. Air yang banyak tidak menjadi bernajis kecuali jika berubah rasanya, warnanya, atau baunya.
Standar banyak-sedikitnya air adalah dua qullah. Artinya, air yang kurang dari dua qullah merupakan air yang sedikit; adapun yang melebihi itu dianggap sebagai air yang banyak. Batas ini didasarkan kepada hadis Nabi ﷺ dari ‘Abd Allāh bin ‘Umar raḍiyallāh ‘anhumā:
إِذَا كَانَ اَلْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ - وَفِي لَفْظٍ - لَمْ يَنْجُسْ - أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ
“Jika air itu dua qullah, ia tidak mengandung najis”; dalam redaksi lain: tidak bernajis. (HR Al-Arba’ah; disahihkan oleh Ibn Khuzaymah dan Ibn Ḥibbān).[1]
Qullah merupakan wadah air yang besar, setara dengan kurang lebih 500 Riṭl Bagdād atau sekitar 562,5 Riṭl Tarīm[2]. Disebut qullah karena laki-laki kuat yang sanggup membawanya (yuqilluhā)[3].
Jika dikonversi ke dalam satuan yang banyak digunakan saat ini, dua qullah itu sekitar 200 liter[4]. Ada juga yang menyatakan 192,857 kg air [5](dengan asumsi massa jenis air 1 kg/liter, dua qullah setara dengan 192,857 liter). Variasi perhitungan lainnya: 204 kg dan 192,85 kg [6], serta kurang lebih 217 liter [7].
Secara praktis, ada baiknya Anda memerhatikan ketentuan ini dalam membuat bak kamar mandi. Bak berkapasitas dua qullah dapat dibuat dalam ukuran persegi sekitar: 60 cm × 60 cm × 60 cm. Bisa juga melihat gambar ilustrasi yang tercantum (dimensi bak dalam gambar 56 cm × 56 cm × 56 cm; penulisnya berpatokan pada Kitab Fatḥ al-Qadīr yang menetapkan dua qullah itu 175 liter)[8].
Saran tambahan, lebih bagus lagi jika kapasitasnya diperbesar sehingga untuk mencapai dua qullah bak tidak harus dalam posisi penuh. Kalau kapasitas maksimalnya mepet dua qullah, itu artinya baru dianggap dua qullah ketika penuh. Jika bak tidak terisi penuh, airnya dianggap sedikit. Lebih baik dibuat lebih ukurannya, misal lebarnya 1 meter dsb. Nanti dikalkulasi kembali, batas dua qullah-nya di mana, kemudian diberi warna tehel atau cat yang berbeda sebagai penanda. Ini sangat berguna dalam menghukumi apakah air dalam bak terkategori sedikit atau banyak. Sebab, air sedikit dan air banyak memiliki konsekuensi yang berbeda sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Air Sedikit
Konsekuensi air sedikit: auto-najis jika najis yang tidak dimaafkan (najas gayr ma’fuww ‘anh) mengenainya walaupun tak terjadi perubahan fisik. Adapun jika terkena najis yang dimaafkan—seperti bangkai yang tiada darah mengalirnya (semisal bangkai lalat) dan najis yang tidak kasat mata oleh penglihatan normal selama bukan karena perbuatan yang disengaja—maka tidak mengapa. Demikian pula dengan najis-najis yang tak terelakkan. Memang, najis-najis yang biasanya sangat sulit dihindari (yasyuqq al-iḥtirāz ‘anh gālib[an]) itu dimaafkan.[9]
Dasar pengecualian najis yang dimaafkan ini di antaranya adalah hadis Nabi ﷺ tentang lalat yang masuk ke dalam minuman yang diriwayatkan dari Abū Hurayrah raḍiyallāh ‘anh:
إِذَا وَقَعَ اَلذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ, ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ, فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً, وَفِي اَلْآخَرِ شِفَاءً
“Apabila lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang di antara kalian maka tenggelamkanlah ia kemudian buanglah ia. Sesungguhnya di salah satu sayapnya ada penyakit dan di sayap lainnya ada penawar. (HR Al-Bukhāri no. 3320)[10]
Bentuk istidlāl-nya: sekiranya bangkai lalat menajisi air itu, tentu tidak akan diperintahkan untuk menenggelamkannya.[11]
Air Banyak
Adapun air banyak yang terkena najis maka perlu dirinci. Pertama, jika tidak berubah rasa, warna, atau baunya maka tidak dihukumi sebagai air yang bernajis. Kedua, dihukumi bernajis jika sifatnya berubah (entah rasa, warna, atau baunya) karena najis tersebut. Para ulama ber-ijmā’ atas kenajisan air yang berubah sifatnya oleh najis.[12]
Bahkan, penulis Kitab Ibānah al-Aḥkām menegaskan adanya ijmā’ tersebut kendati tetap menyatakan bahwa hadis Nabi ﷺ dari Abū Umāmah al-Bāhili tentang hal ini lemah:
إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ, إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ, وَلَوْنِهِ – أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ
وَلِلْبَيْهَقِيِّ: – اَلْمَاءُ طَاهِرٌ إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ, أَوْ طَعْمُهُ, أَوْ لَوْنُهُ;بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ –
“Sesungguhnya air tidak dapat dinajisi oleh sesuatu kecuali oleh yang dapat mengubah bau, rasa, dan warnanya.” (HR Ibn Mājah dan Ābu Ḥātim menganggapnya lemah). Riwayat al-Bayhaqi: Air itu suci kecuali jika berubah baunya, rasanya, atau warnanya dengan najis yang masuk ke dalamnya.[13]
*******
[1] Aḥmad bin Ḥajar al-‘Asqalāni, Bulūg al-Marām min Adillah al-Ahkām, tahqīq Māhir Yāsīn al-Faḥl (Riyadh: Dār al-Qabs li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2014), 48.
[2] As-Sayyid Aḥmad bin ‘Umar Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā` bi Syarḥ Safīnah an-Najā` (Beirut: Dār al-Minhāj, 2021), 142.
[3] Hisyām al-Kāmil Ḥāmid, Al-Imtā’ bi Syarh Matn Abī Syujā’ fī al-Fiqh asy-Syāfi’I (Kairo: Dār al-Manār, 2011), 23.
[4] Ibid.
[5] Muṣṭafā al-Bugā, Muṣṭafā al-Khin, ‘Ali asy-Syurbaji, Al-Fiqh al-Manhaji ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2010), 22.
[6] Muḥammad az-Zuhayli, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh asy-Syāfi’i (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2011), Juz 1, 41.
[7] Ḥasan bin Aḥmad bin Muḥammad Sālim al-Kāf, At-Taqrīrāt as-Sadīdah fī al-Masā`il al-Mufīdah Qism al-‘Ibādāt (Surabaya: Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah li aṭ-Ṭibā’ah wa at-Tawzī’, 2006), 62.
[8] Gambar diperoleh melalui tautan https://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/5487297901292973/
[9] Muḥammad Nawawi bin ‘Umar al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā` ‘alā Syarh Safīnah an-Najā fī Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i (Kediri: Maktabah As-Salam, 2019), 41.
[10] Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhāri, Al-Jāmi’ al-Musnad aṣ-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min Umūr Rasūl Allāh ﷺ wa Sunnatih wa Ayyāmih (Kairo: Ad-Dār al-‘Ālamiyyah li an-Nasyr wa at-Tajlīd, 2015), 485.
[11] Muṣṭafā Dīb al-Bugā, At-Tażhīb fī Adillah Matn al-Gāyah wa at-Taqrīb (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā li aṭ-Ṭibā’ah wa an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2019), 36.
[12] Muḥammad bin ‘Ali bin Muḥammad Bā’aṭiyyah ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā Syarḥ Safīnah an-Najā` (Amman: Dār al-Fatḥ li ad-Dirāsāt wa an-Nasyr, 2008), 163.
[13] Ḥasan Sulaymān an-Nūri dan ‘Alawi ‘Abbās al-Māliki, Ibānah al-Aḥkām Syarh Bulūg al-Marām (Surabaya: Al-Hidayah, tanpa tahun), Juz 1, 34—35.
Oleh: KH. Mahyuddin
Pengasuh Majelis Nurul 'Ilmi Sultra
Rubrik
Fiqh