Setelah menyebutkan enam fardu wudu, Al-‘Allāmah al-Faqīh al-Muhaqqiq Sālim bin ‘Abd Allāh bin Sumayr al-Ḥaḍrami asy-Syāfi’i raḥimahullāh Ta’ālā memandang perlu—wallāh a’lam—untuk mempertajam dua rukun pertama dan terakhir: niat dan tertib.
Niat: Memaksudkan sesuatu berbarengan dengan melakukannya. Tempatnya adalah hati. Melafalkannya sunnah. Waktunya: ketika mulai membasuh bagian dari wajah.
Tertib: tidak mendahulukan anggota wudu atas anggota wudu lain yang mestinya lebih dahulu urutannya.
Niat
Hakikat niat secara syar’i adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan melakukannya. Jika tidak bersamaan, perbuatannya belakangan, maka itu disebut azam, bukan niat (kendati secara bahasa dapat saja disebut niat).[1]
Niat wudu itu dalam hati; dianjurkan melafalkannya agar lisan membantu hati dalam menghadirkannya[2]. Secara umum, niat itu memang di dalam hati; namun, ada beberapa perkara yang harus dilafalkan saat meniatkannya, seperti talak, nazar, qurban atau al-hady, dan jual-beli dalam situasi tertentu[3].
Waktu meniatkan fardu wudu adalah saat mulai membasuh bagian dari wajah yang merupakan awal fardu. Adapun meniatkan sunnah wudu dilakukan sejak awal wudu, yaitu saat mencuci tangan sampai pergelangan atau ketika memulainya dengan basmalah sehingga mendapatkan kesunnahan tersebut.[4]
Niat ibadah dilakukan pada awal ibadah; ada pengecualian untuk beberapa ibadah berdasarkan dalil khusus. Sebagai contoh puasa. Amat sulit mengepaskan niat puasa dengan terbitnya fajar sebagai awal pelaksanaannya.[5]
Terdapat nas khusus tentang keharusan meniatkan puasa fardu sejak malam, seperti:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Siapa belum berniat di malam hari sebelum fajar maka tiada puasa baginya.” (HR Ad-Dāraquṭni, beliau mengatakan “periwayat-periwayatnya terpercaya”, dan Al-Bayhaqi).[6]
Adapun puasa sunnah, terdapat hadis yang membolehkan meniatkannya saat telah terbitnya fajar selama belum melakukan hal-hal yang membatalkan[7], di antaranya HR Muslim no. 1154 dari ‘Ā`isyah Umm al-Mu`minīn raḍiyallāh ‘anhā, dia berkata, “Nabi ﷺ masuk menemuiku suatu hari. Beliau bertanya, ‘Apakah kalian mempunyai makanan?’ Kami menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda,
فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ
‘Sesungguhnya aku, jika demikian, berpuasa.’…”[8]
Tertib
Sebagaimana dikemukakan di tulisan sebelumnya, tertib bermakna menempatkan segala sesuatu sesuai urutannya. Artinya, fardu-fardu wudu harus dilakukan sesuai urutan yang disebutkan: berniat berbarengan dengan membasuh bagian awal dari wajah, membasuh kedua tangan, mengusap kepala, kemudian mencuci kedua kaki. Orang yang menyelisihi urutan ini—entah sengaja, lupa, atau dipaksa—maka bagian wudu yang tidak tertib itu tidak sah.[9]
Ketentuan tertib ini didasarkan atas pemahaman terhadap nas-nas tentang wudu. Rasulullah ﷺ berwudu tertib. Tidak pernah sekali pun—wallāh a’lam—diriwayatkan beliau berwudu tidak tertib.
Para penulis kitab al-Fiqh al-Manhaji mengemukakan penjelasan an-Nawawi dalam Al-Majmū’:
“Al-Aṣḥāb menggunakan argumentasi dari As-Sunnah dengan hadis-hadis sahih, yang berasal dari sejumlah sahabat tentang sifat-sifat wudu Nabi ﷺ. Seluruhnya mendeskripsikannya tertib. Padahal, mereka itu banyak, momen mereka melihat beliau pun banyak; mereka juga bisa berbeda dalam menyebutkan aktivitas wudu yang dilakukan sekali, atau yang diulang dua kali, tiga kali, dsb. Namun—kendati ada banyak riwayat tentang wudu yang bervariasi—tak ada deskripsi tentang wudu yang tidak tertib. Perbuatan beliau merupakan penjelasan tentang wudu yang diperintahkan. Seandainya boleh meninggalkan tertib, niscaya beliau meninggalkannya pada sebagian kondisi untuk menerangkan kebolehan itu, sebagaimana beliau meninggalkan pengulangan (tikrār) pada beberapa waktu.”[10]
Selain itu, kesimpulan wajibnya tertib dapat dipahami dari firman Allah ﷻ:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ
Hai orang-orang beriman, apabila kalian hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajah-wajah kalian, tangan-tangan kalian sampai siku, dan usaplah kepala-kepala kalian, serta kaki-kaki kalian sampai kedua mata kaki…. (Al-Mā`idah: 6)
Ḥasan bin Aḥmad bin Muḥammad Sālim al-Kāf mengutip ungkapan Al-Imām asy-Syāfi’i yang menyampaikan argumentasi kebahasaan “Sesungguhnya Allah menyebutkan sesuatu yang diusap (al-mamsūḥ) di antara dua perkara yang dibasuh (al-magsūlayn); itu untuk menyiratkan tertib”[11]. Kalam asy-Syāfi’i merupakan ḥujjah dalam bahasa (lugah)[12].
Argumentasi kebahasaan ketentuan tertib juga dapat dibangun atas makna penggunaan huruf Fā` di ayat tersebut. Ini dapat dilihat dalam penjelasan Abū Sahl bin Ziyād al-Qaṭṭān, sebagaimana disampaikan Al-Wāhidi dalam tafsirnya mengutip ucapan Abū al-Fatḥ, “Abū Sahl bin Ziyād al-Qaṭṭān berargumen dengan ayat ini atas wajibnya tertib dalam bersuci. Beliau menyampaikan alasannya: huruf Fā` itu li at-tartīb. Dia berfirman: fagsilū; itu mewajibkan tertibnya membasuh atas al-qiyām, memulai dengan itu, bukan yang lainnya.”[13]
Hanya saja, ketentuan tertib ini tidak mesti berupa tertib ḥaqīqi, boleh saja berupa tertib taqdīri. As-Sayyid Aḥmad bin ‘Umar memberikan ilustrasi sebagai berikut. Seandainya seseorang berendam/menyelam dalam air—walau berupa air sedikit*—dalam keadaan berniat, sah wudunya kendati dia berada dalam air itu sekejap saja di mana itu tidak memadai untuk terwujudnya tertib ḥaqīqi.[14]
*Kriteria air itu tergolong banyak atau sedikit, in syā Allāh, akan dibahas dalam tulisan berikutnya.
*****
[1] Muḥammad Nawawi bin ‘Umar al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā` ‘alā Syarh Safīnah an-Najā fī Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i (Kediri: Maktabah As-Salam, 2019), 39.
[2] Ḥasan bin Aḥmad bin Muḥammad Sālim al-Kāf, At-Taqrīrāt as-Sadīdah fī al-Masā`il al-Mufīdah Qism al-‘Ibādāt (Surabaya: Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah li aṭ-Ṭibā’ah wa at-Tawzī’, 2006), 82.
[3] Muḥammad az-Zuhayli, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah wa Taṭbīqātuhā fi al-Maẓhab asy-Syāfi’i (Damaskus: Maktabah Dār al-Bayān, 2019), 31—32.
[4] Muṣṭafā bin Aḥmad bin ‘Abd an-Nabiyy, Mu`nis al-Jalīs bi Syarh al-Yāqūt an-Nafīs (Kuwait: Dār aḍ-Ḍiyā` li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2021), Juz 1, 39; Hisyām al-Kāmil Ḥāmid, Al-Imtā’ bi Syarh Matn Abī Syujā’ fī al-Fiqh asy-Syāfi’I (Kairo: Dār al-Manār, 2011), 30—31.
[5] Muḥammad bin ‘Ali bin Muḥammad Bā’aṭiyyah ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā Syarḥ Safīnah an-Najā` (Amman: Dār al-Fatḥ li ad-Dirāsāt wa an-Nasyr, 2008), 158.
[6] Muṣṭafā Dīb al-Bugā, At-Tażhīb fī Adillah Matn al-Gāyah wa at-Taqrīb (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā li aṭ-Ṭibā’ah wa an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2019), 109.
[7] Ḥasan Sulaymān an-Nūri dan ‘Alawi ‘Abbās al-Māliki, Ibānah al-Aḥkām Syarh Bulūg al-Marām (Surabaya: Al-Hidayah, tanpa tahun), Juz 2, 378.
[8] Muslim bin al-Ḥajjāj an-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim (Kairo: Ibdā’ li al-I’lām wa an-Nasyr, 2020), 257—258.
[9] Muṣṭafā, Mu`nis al-Jalīs…., Juz 1, 44.
[10] Muṣṭafā al-Bugā, Muṣṭafā al-Khin, ‘Ali asy-Syurbaji, Al-Fiqh al-Manhaji ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2010), 34—35.
[11] Al-Kāf, At-Taqrīrāt as-Sadīdah…., 85.
[12] Muḥammad az-Zuhayli, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh asy-Syāfi’i (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2011), Juz 1, 14.
[13] Abū al-Ḥasan ‘Aliyy bin Aḥmad bin Muḥammad al-Wāḥidi, At-Tafsīr al-Basīṭ, tahqīq Muḥammad bin Ḥamad bin ‘Abd Allāh al-Muḥaymīd (Riyadh: Obeikan, 2018), Jilid 7, 275.
[14] As-Sayyid Aḥmad bin ‘Umar Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā` bi Syarḥ Safīnah an-Najā` (Beirut: Dār al-Minhāj, 2021), 138.
Oleh: KH. Mahyuddin
Pengasuh Majelis Nurul 'Ilmi Sultra
Rubrik
Fiqh