Catatan Fiqh Safinah 4: Fardu-Fardu Wudu 3—6

Kendaribertakwa.com: Media dakwah online di Kendari, Sulawesi Tenggara yang menyajikan berita Islami. Tampil dengan memandang berbagai peristiwa dengan sudut pandang Islam. Pusatnya artikel Islami untuk membangkitkan budaya literasi kaum muslimin khususnya di Kota Kendari.

Fardu-fardu wudu ada enam:
1. Niat
2. Membasuh wajah
3. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku
4. Mengusap kepala
5. Mencuci kedua kaki sampai mata kaki
6. Tertib

Tulisan kali ini mengulas empat fardu terakhir. Dua rukun pertama sudah dipaparkan di tulisan sebelumnya yang dapat diakses melalui tautan berikut. https://www.kendaribertakwa.com/2022/09/catatan-fiqh-safinah-3-fardu-fardu-wudu.html

3. Membasuh Kedua Tangan Sampai Siku
Ini juga didasarkan antara lain kepada ayat ke-6 Surah Al-Mā`idah:

وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِق

dan (cucilah) tangan kalian sampai siku….

Lafal “ilā” dalam ayat tersebut bermakna “ma’” sebagaimana dalam firman-Nya Ta’ālā di Surah Āl ‘Imrān ayat 52:

(مَنْ اَنْصَارِيْٓ اِلَى اللّٰهِ)

Yakni: ma’ Allāh. Makna itu juga ditegaskan oleh riwayat Jābir raḍiyallāh ‘anh, dia berkata:

رأيت رسول الله ﷺ يدير الماء على المرافق

“Aku melihat Rasulullah ﷺ mengalirkan air atas siku.”

Hadis ini diriwayatkan oleh ad-Dāraquṭni serta al-Bayhaqi dan keduanya tidak menyatakannya ḍa’īf.[1]

Hanya saja, menurut Az-Zajjāj, sebagaimana dikutip oleh Al-Wāḥidi, penakwilan ke makna “ma’” sebetulnya tidaklah diperlukan. Sebab, seandainya ayat tersebut tidak menyebutkan “ilā al-marāfiq” niscaya tangan seluruhnya wajib dicuci. Penyebutan redaksi “ilā al-marāfiq” menjadi pembatasnya. Dengan demikian, “mirfaq” (siku) yang merupakan bagian dari tangan adalah batas yang wajib dibasuh.[2]

Olehnya itu, wajib membasuh tangan sampai ke siku (kulit, rambut/bulu meski tebal, kuku, daging menumpang dsb yang ada padanya). Perlu lebih memerhatikan bagian kuku dan membersihkannya dari kotoran yang dapat menghalangi sampainya air; kuteks mesti dihilangkan. Wajib pula membasuh sedikit bagian di atas siku agar pembasuhan ini sempurna, berdasarkan kaidah:

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Sesuatu yang tidak sempurna satu kewajiban kecuali dengannya maka ia pun wajib”.[3]

Cincin yang menghalangi air pun menjadikan wudu tidak sah; cincin perlu digerak-gerakkan.[4]

4. Mengusap Kepala
Yang dimaksud dengan al-masḥ (mengusap) adalah sampainya basahan air (wuṣūl al-balal) ke sebagian kulit kepala atau rambutnya dengan syarat rambut tersebut tidak keluar dari batas kepala jika rambut itu diurai. Andai seseorang meletakkan tangannya yang telah dibasahi pada kain yang ada di kepalanya dan basahan itu sampai ke kepalanya maka itu mencukupinya.[5]

Bahkan, sekiranya seseorang membasuh kepalanya, atau meneteskan air ke kepalanya walau tak mengalir, atau meletakkan tangannya yang basah tanpa menggerakkannya, maka itu memadai baginya.[6]

Mazhab Asy-Syāfi’i memang hanya mengharuskan membasuh sebagian kepala, bukan seluruhnya. “Sebagian” ini pun bisa sangat minimalis selama sudah bisa disebut “masḥ”: kendati bagian sehelai rambut kepala saja. Ini didasarkan pada pemaknaan perintah mengusap yang ada dalam Surah Al-Mā`idah ayat 6:

وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ

“… dan usaplah kepala-kepala kalian ...”

Huruf Bā` di sini bermakna “sebagian” (li at-tab’īḍ), yakni: sebagian kepala-kepala kalian.[7]
Mengusap sebagian kepala ini juga didasarkan, antara lain, pada hadis riwayat Muslim no. 274 dari Al-Mugīrah bin Syu’bah raḍiyallāh ‘anh bahwa Nabi ﷺ berwudu, beliau mengusap ubun-ubunnya dan bagian atas surban serta kedua khuff[8].

5. Mencuci Kedua Kaki Sampai Mata Kaki
Seluruh bagian kaki dari jari (termasuk kuku) hingga mata kaki wajib dibasuh tanpa kecuali[9]. Nabi ﷺ mengingatkan dengan tegas, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhāri no. 163[10] dan Muslim no. 242[11]:

وَيْلٌ للاعْقَابِ مِنْ النَّارِ

“Celakalah tumit-tumit dari api neraka!”

Beliau ﷺ juga memerintahkan seseorang yang sudah berwudu tetapi ada sedikit bagian di kakinya yang tidak dibasuh:

ارْجِعْ فأحْسِنْ وُضُوءَكَ

“Kembalilah, perbaiki wudumu.” (HR Muslim no. 243)[12]

Wajib pula mencuci bagian dari betis kaki untuk memastikan terpenuhinya fardu ini sebagai implementasi kaidah terdahulu:

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Sesuatu yang tidak sempurna satu kewajiban kecuali dengannya maka ia pun wajib”.[13]

Kelanjutan ayat ke-6 Surah Al-Ma`idah di atas menjadi dasar fardu ini:

وَاَرْجُلكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ

“… serta (basuhlah) kaki-kaki kalian sampai mata kaki…”

Lafal “arjul” dalam ayat ini dapat dibaca dengan dua macam qiraah. Pertama, bacaan naṣb (arjula) sebagai ‘aṭf atas kata “aydiyakum”; ini merupakan qiraah Nāfi’, Ibn ‘Āmir, Al-Kisā`i, dan Ḥafṣ dari ‘Āṣim[14]. Adapun qiraah ahli Makkah serta Baṣrah, juga Syu’bah dan Ḥamzah adalah dengan khafḍ (arjuli)[15].

Konsekuensi bacaan naṣb (arjula): wajib membasuh kaki, bukan mengusapnya sebagaimana pandangan kalangan Syi’ah. Mereka beralasan dengan bacaan khafḍ sebagai ‘aṭf atas ungkapan “mengusap kepala” (masḥ ar-ra`s). Bacaan khafḍ (arjuli) tidaklah dimaknai bahwa yang wajib adalah mengusap kaki sampai mata kaki. Ibn Kaṡīr mengemukakan beberapa argumentasi terkait hal ini. Pertama, bacaan khafḍ itu bisa karena berdekatan dengan kata yang di-khafḍ yang disebutkan sebelumnya—yakni ru`ūs— dan agar kalam menjadi bersesuaian (‘alā al-mujāwarah wa tanāsub al-kalām) yang ini dikenal luas dalam bahasa Arab. Kedua, ini dapat dimaknai sebagai ketentuan mengusap kedua khuff bagi yang memakai khuff sebagaimana dinyatakan oleh Abū ‘Abd Allāh asy-Syāfi’i rahimahullāh. Ketiga, boleh disebut al-masḥ tetapi maknanya adalah al-gasl al-khafīf (membasuh ringan) berdasarkan apa yang disebutkan oleh as-Sunnah. Intinya, semuanya mengarah kepada kewajiban membasuh kaki.[16]

Bahkan, Muḥammad az-Zuḥayli menyatakan bahwa kewajiban membasuh kedua kaki sampai mata kaki merupakan kesepakatan kaum muslimin—yang diperhitungkan ijmak mereka—berdasarkan ayat Alquran dan hadis masyhur yang banyak dari sejumlah sahabat, seperti ‘Uṡmān bin ‘Affān, ‘Aliyy, Abū Hurayrah, Ibn ‘Abbās, ‘Abd Allāh bin Zayd, dll[17] raḍiyallāh ‘anhum.

6. Tertib
Tertib bermakna menempatkan segala sesuatu sesuai urutannya. Artinya, fardu-fardu wudu harus dilakukan sesuai urutan yang disebutkan: berniat berbarengan dengan membasuh bagian awal dari wajah, membasuh kedua tangan, mengusap kepala, kemudian mencuci kedua kaki. Orang yang menyelisihi urutan ini—entah sengaja, lupa, atau dipaksa—maka bagian wudu yang tidak tertib itu tidak sah.[18]

Uraian lebih detail terkait tertib in syā Allāh akan dibahas pada tulisan berikutnya.


*******
[1] Taqiyy ad-Dīn Abū Bakr bin Muḥammad al-Ḥusayni al-Ḥiṣni, Kifāyah al-Akhyār fī Hall Gāyah al-Ikhtiṣār (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2004), 35—36.
[2] Abū al-Ḥasan ‘Aliyy bin Aḥmad bin Muḥammad al-Wāḥidi, At-Tafsīr al-Basīṭ, tahqīq Muḥammad bin Ḥamad bin ‘Abd Allāh al-Muḥaymīd (Riyadh: Obeikan, 2018), Jilid 7, 277.
[3] Muḥammad bin ‘Ali bin Muḥammad Bā’aṭiyyah ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā Syarḥ Safīnah an-Najā` (Amman: Dār al-Fatḥ li ad-Dirāsāt wa an-Nasyr, 2008), 141—142.
[4] Muḥammad az-Zuhayli, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh asy-Syāfi’i (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2011), Juz 1, 72.
[5] As-Sayyid Aḥmad bin ‘Umar Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā` bi Syarḥ Safīnah an-Najā` (Jeddah: Dār al-Minhāj, 2021), 135—136.
[6] Muḥammad Nawawi bin ‘Umar al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā` ‘alā Syarh Safīnah an-Najā fī Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i (Kediri: Maktabah As-Salam, 2019), 38.
[7] ‘Imād ad-Dīn Abū al-Fidā` Ismā’īl bin ‘Umar bin Kaṡīr al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsīr Al-Qur`ān Al-‘Ażīm (Kairo: Ad-Dār al-’Ālamiyyah li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2017), 502; Ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā…, 142.
[8] Muslim bin al-Ḥajjāj an-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim (Kairo: Ibdā’ li al-I’lām wa an-Nasyr, 2020), 74.
[9] Hisyām al-Kāmil Ḥāmid, Al-Imtā’ bi Syarh Matn Abī Syujā’ fī al-Fiqh asy-Syāfi’i (Kairo: Dār al-Manār, 2011), 31.
[10] Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhāri, Al-Jāmi’ al-Musnad aṣ-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min Umūr Rasūl Allāh ﷺ wa Sunnatih wa Ayyāmih (Kairo: Ad-Dār al-‘Ālamiyyah li an-Nasyr wa at-Tajlīd, 2015), 47.
[11] An-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim…., 69.
[12] Ibid.
[13] Ḥasan bin Aḥmad bin Muḥammad Sālim al-Kāf, At-Taqrīrāt as-Sadīdah fī al-Masā`il al-Mufīdah Qism al-‘Ibādāt (Surabaya: Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah li aṭ-Ṭibā’ah wa at-Tawzī’, 2006), 85.
[14] Aḥmad aṣ-Ṣāwi al-Māliki, Ḥāsyiyah al-‘Allāmah aṣ-Ṣāwi ‘alā Tafsīr al-Jalālayn (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), Jilid 1, 356.
[15] Muḥammad Arwānī Amīn al-Qudusi, Al-Muṣḥaf al-Quddūs bi ar-Rasm al-‘Uṡmāni wa bi Hāsyimih Fayḍ al-Barakāt fī Sab’ al-Qirā`āt (Kudus: CV. Mubarokatan Thoyyibah, tanpa tahun),107.
[16] Ad-Dimasyqi, Tafsīr Al-Qur`ān…., 502—503.
[17] Az-Zuḥayli, Al-Mu’tamad fī…., Juz 1, 74.
[18] Muṣṭafā bin Aḥmad bin ‘Abd an-Nabiyy, Mu`nis al-Jalīs bi Syarh al-Yāqūt an-Nafīs (Kuwait: Dār aḍ-Ḍiyā` li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2021), Juz 1, 44.


Oleh: KH. Mahyuddin
Pengasuh Majelis Nurul 'Ilmi Sultra
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال