Catatan Fiqh Safinah 3: Fardu-Fardu Wudu 1 dan 2 (Niat dan Membasuh Wajah)

Kendaribertakwa.com: Media dakwah online di Kendari, Sulawesi Tenggara yang menyajikan berita Islami. Tampil dengan memandang berbagai peristiwa dengan sudut pandang Islam. Pusatnya artikel Islami untuk membangkitkan budaya literasi kaum muslimin khususnya di Kota Kendari.

Fardu-fardu wudu ada enam:
1. Niat
2. Membasuh wajah
3. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku
4. Mengusap kepala
5. Mencuci kedua kaki sampai mata kaki
6. Tertib

Tulisan kali ini mengulas dua rukun yang pertama.

Secara bahasa, wudu terambil dari kata “al-waḍā`ah” yang berarti “bagus” (ḥasan) dan “indah” (jamāl). Huruf Wāw yang dibaca dengan fatḥah (waḍū`) dimaksudkan untuk menyebut air yang digunakan untuk berwudu. Adapun dengan Wāw yang dibaca dengan ḍammah (wuḍū`) secara istilah bermakna: mencuci bagian tubuh yang khusus dengan niat yang khusus dalam bentuk yang khusus.[1]

Wudu disyariatkan pada malam Isrā` dan Mi’rāj bersamaan dengan difardukannya salat, sekitar 1,5 tahun sebelum hijrah[2].

Dalil perintah wudu di antaranya disebutkan dalam Alquran Surah Al-Mā`idah ayat keenam:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ ....

Wahai orang-orang yang beriman, bila kalian hendak melaksanakan salat maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, serta usaplah kepalamu, juga kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki….

Ayat ini memerintahkan wudu ketika hendak melaksanakan salat. Bagi orang yang berhadas, hukumnya wajib. Adapun bagi yang suci, disunnahkan/dianjurkan.[3]

Dalil berupa hadis, di antaranya adalah riwayat dari Abū Hurayrah raḍiyallāh ‘anh:

لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Tidak diterima oleh Allah salat salah seorang di antara kalian jika berhadas hingga dia berwudu”.
(HR Al-Bukhāri no. 6954[4] dan Muslim no. 225[5]; redaksi yang digunakan adalah riwayat Al-Bukhāri)

Tidak diterima (intifā` al-qabūl) bermakna tidak sah (intifā` aṣ-ṣiḥḥah)[6].

Fardu-fardu wudu ada enam. Kefarduan perkara ini berlaku kendati wudu yang dikerjakan merupakan wudu yang sunnah[7].

1. Niat
Seseorang yang berwudu wajib meniatkan salah satu dari aktivitas: mengangkat atau bersuci dari hadas kecil, bersuci untuk salat, membolehkan (istibāḥah) salat dsb yang mengharuskan keadaan suci, melakukan fardu wudu, menunaikan wudu, atau berwudu[8]. Ada pengecualian bagi orang yang berhadas terus-menerus (misal mengalami inkontinensia urine di mana air kencing terus menetes): dia hanya dapat meniatkan istibāḥah, bukan mengangkat hadas atau bersuci; sebab, wudunya tidaklah mengangkat hadas[9].

Dalil fardu ini adalah hadis Nabi ﷺ yang mashyur dari Amīr al-Mu`minīn Abī Ḥafṣ ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāh ‘anh:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Tak lain amal perbuatan itu berdasarkan niat.”

(HR Al-Bukhāri no. 1[10] dan Muslim no. 1907[11]; redaksi yang digunakan adalah riwayat Al-Bukhāri)

“Sesungguhnya sah dan diterimanya amal perbuatan itu”, tulis Dr Muḥammad az-Zuḥayli ketika mengomentari hadis ini di celah-celah ulasannya tentang kaidah fikih asasi yang pertama (Al-Umūr bi Maqāṣidihā), “bergantung serta terikat dengan niat dan maksud seseorang”[12].

2. Membasuh Wajah
Fardu kedua adalah membasuh wajah, baik kulit maupun rambut yang ada di wajah. Adapun batasan wajah, secara vertikal: dari tempat yang biasanya tumbuh rambut hingga dagu bagian bawah; batas horizontalnya: dari telinga ke telinga. Secara lebih detail, ragam rambut yang bisa tumbuh di wajah dapat dirinci sebagai berikut[13].
a) Al-Gamam: rambut yang tumbuh di dahi.
b) Al-Ḥājibān: dua alis.
c) Al-Khaddān: rambut yang tumbuh di kedua pipi.
d) As-Sibālān: kumis yang memanjang melewati batas horizontal bibir.
e) Al-‘Āriḍān: berewok.
f) Al-‘Iẓarān: cambang.
g) Al-Ahdāb: bulu mata.
h) Al-Liḥyah: janggut.
i) Asy-Syārib: kumis.
j) Al-‘Anfaqah: comek.
k) An-Nafakatān: rambut yang tumbuh di sebelah comek.

Untuk lebih mudahnya, silakan lihat gambar yang disertakan di bawah[14].


Dasar fardu ini adalah ayat keenam Surah Al-Ma`idah di atas. Saat membasuh, air wajib mengenai seluruh kulit dan rambut yang ada di wajah, kecuali janggut dan berewok tebal laki-laki: janggut dan berewok yang tipis semuanya harus dibasuh, luar maupun dalamnya (żāhir wa bāṭin); sementara yang tebal, bagian luarnya saja yang wajib dibasuh.[15]

Tipis-tebalnya janggut-berewok diketahui dari bisa-tidaknya kulit tempat tumbuhnya terlihat dari jarak berbicara yang normal (majlis at-takhāṭub): jika kulit masih bisa terlihat dari jarak itu maka dianggap tipis; jika dapat tidak terlihat maka dianggap tebal[16]. Jarak tersebut kurang lebih 1,5 meter[17].

Wajib pula membasuh sedikit bagian sekitar yang berbatasan dengan wajah, seperti kepala, leher, rahang bawah, telinga, dsb. Sebab, membasuh wajah takkan sempurna tanpanya. Kaidah menyatakan:

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Sesuatu yang tidak sempurna satu kewajiban kecuali dengannya maka ia pun wajib”[18]

Rukun wudu ketiga dst in syā Allāh akan dibahas pada tulisan berikutnya.


*******
[1] Muḥammad bin ‘Ali bin Muḥammad Bā’aṭiyyah ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā Syarḥ Safīnah an-Najā` (Amman: Dār al-Fatḥ li ad-Dirāsāt wa an-Nasyr, 2008), 133.
[2] Hisyām al-Kāmil Ḥāmid, Al-Imtā’ bi Syarh Matn Abī Syujā’ fī al-Fiqh asy-Syāfi’I (Kairo: Dār al-Manār, 2011), 30.
[3] ‘Imād ad-Dīn Abū al-Fidā` Ismā’īl bin ‘Umar bin Kaṡīr al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsīr Al-Qur`ān Al-‘Ażīm (Kairo: Ad-Dār al-’Ālamiyyah li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2017), 499.
[4] Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhāri, Al-Jāmi’ al-Musnad aṣ-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min Umūr Rasūl Allāh ﷺ wa Sunnatih wa Ayyāmih (Kairo: Ad-Dār al-‘Ālamiyyah li an-Nasyr wa at-Tajlīd, 2015), 1015.
[5] Muslim bin al-Ḥajjāj an-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim (Kairo: Ibdā’ li al-I’lām wa an-Nasyr, 2020), 65.
[6] Abū al-Fatḥ Ibn Daqīq al-‘Īd, Iḥkām al-Aḥkām Syarḥ ‘Umdah al-Aḥkām (Damaskus: Mu`assasah ar-Risālah Nāsyirūn, 2021), 18.
[7] Muḥammad Nawawi bin ‘Umar al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā` ‘alā Syarh Safīnah an-Najā fī Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i (Kediri: Maktabah As-Salam, 2019), 36.
[8] As-Sayyid Aḥmad bin ‘Umar Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā` bi Syarḥ Safīnah an-Najā` (Jeddah: Dār al-Minhāj, 2021), 132.
[9] Ibid.; al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā`…, 36—37.
[10] Al-Bukhāri, Al-Jāmi’ al-Musnad…, 21.
[11] An-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim, 464.
[12] Muḥammad az-Zuhayli, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah wa Taṭbīqātuhā fi al-Maẓhab asy-Syāfi’i (Damaskus: Maktabah Dār al-Bayān, 2019), 23.
[13] Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā`…, 132—134.
[14] Gambar yang dimaksud menampilkan seluruh jenis rambut yang disampaikan di atas kecuali jenis terakhir (an-nafakatān). Gambar diperoleh melalui tautan berikut.
[15] Ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā…, 139—140.
[16] Ibid., 140.
[17] Ḥasan bin Aḥmad bin Muḥammad Sālim al-Kāf, At-Taqrīrāt as-Sadīdah fī al-Masā`il al-Mufīdah Qism al-‘Ibādāt (Surabaya: Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah li aṭ-Ṭibā’ah wa at-Tawzī’, 2006), 84.
[18] Ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā…, 140; al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā`…, 37.


Oleh: KH. Mahyuddin
Pengasuh Majelis Nurul 'Ilmi Sultra
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال