Catatan Fiqh Safinah 2: Syarat-Syarat Kebolehan Istinja dengan Batu

Kendaribertakwa.com: Media dakwah online di Kendari, Sulawesi Tenggara yang menyajikan berita Islami. Tampil dengan memandang berbagai peristiwa dengan sudut pandang Islam. Pusatnya artikel Islami untuk membangkitkan budaya literasi kaum muslimin khususnya di Kota Kendari.

Syarat-syarat kebolehan menggunakan batu untuk beristinja ada delapan:
1) Berupa tiga batu
2) Bisa menyucikan tempat keluarnya najis
3) Najisnya tidak kering
4) Najisnya tidak berpindah.
5) Najisnya tidak bercampur substansi yang lain
6) Najisnya tidak melampaui tempat keluarnya (depan dan belakang)
7) Najisnya tidak dikenai oleh air
8) Batunya suci

Istinja merupakan aktivitas membersihkan najis atau meringankannya dari tempat keluarnya air seni atau tinja. Secara bahasa, kata ini terambil dari “an-najā`” (bermakna: bersih dari kotoran), “an-najwah” (bermakna: yang meninggi dari tanah), atau “an-najw” (bermakna: kotoran yang keluar dari dubur). Dinamakan demikian secara syar’i karena orang yang beristinja ingin bersih dari kotoran dan berupaya menghilangkannya dari dirinya, di mana dahulu biasanya orang berlindung di balik sesuatu yang meninggi dari tanah (murtafi’ ‘an al-arḍ) dsb untuk melakukannya[1].

Istinjā` kadang juga disebut istiṭābah (dari kata ṭīb yang berarti baik/bagus/wangi karena pelakunya mengupayakan dirinya baik/bagus/wangi dengan menghilangkan kotoran) dan istijmār (dari kata jimār yang bermakna batu-batu kecil); kata yang terakhir ini spesifik digunakan jika sarana yang dipakai adalah batu[2].

Hukum beristinja dapat dirinci sebagai berikut[3].
a) Wajib beristinja untuk membersihkan semua najis yang mengotori (mulawwiṡ).
b) Sunnah beristinja untuk membersihkan zat padat yang keluar (jāmid) yang tidak dibarengi dengan najis yang mengotori, semisal cacing dsb; demikian pula beristinja karena keluarnya mani sebagai bentuk mengeluarkan diri dari perbedaan pendapat pihak yang mewajibkannya (seperti al-Imām Mālik yang menyatakannya najis dan wajib membersihkannya).
c) Makruh beristinja karena buang angin.
d) Mubah beristinja karena membersihkan keringat.
e) Haram beristinja, misalnya, menggunakan benda yang digasab (istinja ini tetap dianggap sah) atau menggunakan sesuatu yang dihormati (muḥtaram), seperti makanan (istinja ini dihukumi tidak sah).

Dalil istinja, di antaranya berupa ayat Alquran yang memuji penduduk Qubā`, yang menurut Abū Hurayrah RA, mereka adalah orang-orang yang terbiasa beristinja dengan air[4]:

.... فِيْهِ رِجَالٌ يُّحِبُّوْنَ اَنْ يَّتَطَهَّرُوْاۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ

Di sana, ada orang-orang yang senantiasa membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri. (At-Tawbah: 108)

Adapun hadis-hadisnya[5], antara lain:

وَعَنْهُ قَالَ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَدْخُلُ اَلْخَلَاءَ, فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ نَحْوِي إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَعَنَزَةً, فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Darinya (Anas bin Mālik RA), dia berkata, “Rasulullah ﷺ memasuki toilet. Aku bersama seorang anak sebayaku membawakan sewadah air dan tombak pendek. Beliau pun beristinja dengan air itu.” (Muttafaq ‘alayh).

وَعَنْ سَلْمَانَ – رضي الله عنه – قَالَ: – لَقَدْ نَهَانَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – “أَنْ نَسْتَقْبِلَ اَلْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ, أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ, أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ, أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ عَظْمٍ” – رَوَاهُ مُسْلِم

Dari Salmān RA, dia berkata, “Rasulullah ﷺ benar-benar melarang kami menghadap kiblat saat buang air besar atau buang air kecil, beristinja dengan tangan kanan, beristinja kurang dari tiga batu, atau beristinja dengan kotoran atau tulang. (HR. Muslim)

Pada dasarnya, beristinja itu menggunakan air; boleh pula beristinja menggunakan benda-benda padat dan keras lain yang dapat menghilangkan najis, seperti batu, daun/kertas, dsb[6]. Dipersyaratkan pula, benda-benda yang dikiaskan dengan batu hakiki tersebut bukanlah sesuatu yang dihormati, seperti kertas berisi sesuatu yang diagungkan, kitab bertuliskan ilmu, makanan manusia dan jin, serta anggota tubuh manusia atau hewan yang terpotong[7].

Beristinja dengan batu merupakan bentuk keringanan dan kekhususan umat Islam (tidak disyariatkan untuk umat sebelumnya)[8]. Apabila ingin menghimpun cara beristinja dengan air dan batu maka yang paling utama adalah menggunakan batu terlebih dahulu kemudian air sebab batu menghilangkan fisik najisnya (al-‘ayn) sementara air menghilangkan bekasnya (al-aṡar) tanpa perlu menyentuh langsung najis tersebut dengan tangan[9]. Jika ingin mencukupkan diri dengan salah satunya, menggunakan air adalah yang paling utama karena dapat menghilangkan bekas-bekas najis dan membersihkan kemaluan[10].

Adapun jika ingin beristinja dengan batu (dan sejenisnya) maka perhatikanlah syarat-syarat berikut[11].
1) Berupa tiga batu, atau lebih tepatnya: minimal tiga sisinya. Artinya, tidak mesti batunya benar-benar tiga asalkan menggunakan setidaknya tiga sisi yang berbeda, tak boleh kurang dari tiga sisi ini. Sekiranya dibutuhkan lebih, dianjurkan untuk diganjilkan (lima, tujuh, dsb).
2) Batu dan sejenisnya itu bisa menyucikan tempat keluarnya najis (qubul dan dubur).
3) Najisnya tidak kering sehingga tidak dapat lagi dibersihkan menggunakan batu dsb.
4) Najis yang keluar tidak berpindah, melebar ke bagian lainnya.
5) Najis yang menempel di kemaluan tidak bercampur substansi yang lain, seperti najis lainnya atau air dan debu.
6) Najisnya tidak berpindah melampaui tempat keluarnya (depan dan belakang), meluber ke mana-mana.
7) Najisnya tidak dikenai oleh air (olehnya itu, tidak boleh menggunakan batu yang basah).
8) Batunya suci, tidak bernajis.

Jika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, istinja hanya boleh dilakukan menggunakan air[12].

Pada masa sekarang ini, istinja dengan batu hakiki sudah jarang dilakukan mengingat ketersediaan air yang relatif memadai, termasuk di negeri gurun pasir sekalipun. Terlebih lagi, penggunaannya di rumah-rumah sangatlah tidak praktis (setelah beristinja dengan batu, selanjutnya batu-batu itu diapakan? Dibuang di toilet tentu tidak cocok, dibuang di luar juga bisa menjadi masalah).

Namun, ada tren penggunaan tisu toilet, terutama di negara-negara Eropa, AS, dan Asia Timur. Tidak perlu risih dengan sarana ini sebab dapat dikiaskan dengan batu, sah digunakan secara syar’i. Justru, umat Islam mestinya bisa lebih adaptif dengan hal ini, terutama untuk beberapa situasi yang memang menyulitkan menggunakan air, seperti dalam penerbangan atau saat berada di luar negeri dengan toilet yang belum tentu menyediakan air yang memadai[13]. “Batu” yang banyak dibahas dalam kitab-kitab fikih klasik, pada masa kita sekarang ini dapat berupa tisu atau kain[14].

*******
[1] Muṣṭafā al-Bugā, Muṣṭafā al-Khin, ‘Ali asy-Syurbaji, Al-Fiqh al-Manhaji ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi’i (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2010), 28.
[2] Muṣṭafā bin Aḥmad bin ‘Abd an-Nabiyy, Mu`nis al-Jalīs bi Syarh al-Yāqūt an-Nafīs (Kuwait: Dār aḍ-Ḍiyā` li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2021), Juz 1, 99.
[3] As-Sayyid Aḥmad bin ‘Umar Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā` bi Syarḥ Safīnah an-Najā` (Beirut: Dār al-Minhāj, 2021), 125; Muḥammad bin ‘Ali bin Muḥammad Bā’aṭiyyah ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā Syarḥ Safīnah an-Najā` (Amman: Dār al-Fatḥ li ad-Dirāsāt wa an-Nasyr, 2008), 117—118; Ḥasan bin Aḥmad bin Muḥammad Sālim al-Kāf, At-Taqrīrāt as-Sadīdah fī al-Masā`il al-Mufīdah Qism al-‘Ibādāt (Surabaya: Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah li aṭ-Ṭibā’ah wa at-Tawzī’, 2006), 105.
[4] Muṣṭafā al-Bugā, At-Taẓhīb fī Adillah Matn al-Gāyah wa at-Taqrīb (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2019), 19.
[5] Aḥmad bin Ḥajar al-‘Asqalāni, Bulūg al-Marām min Adillah al-Ahkām, tahqīq Māhir Yāsīn al-Faḥl (Riyadh: Dār al-Qabs li an-Nasyr wa at-Tawzī’, 2014), 76, 78.
[6] Al-Bugā, Al-Fiqh al-Manhaji…, 28.
[7] Ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā…,122—124.
[8] Ibid., 117.
[9] Muṣṭafā, Mu`nis al-Jalīs…, 100.
[10] Hisyām al-Kāmil Ḥāmid, Al-Imtā’ bi Syarh Matn Abī Syujā’ fī al-Fiqh asy-Syāfi’I (Kairo: Dār al-Manār, 2011), 35.
[11] Asy-Syāṭiri, Nayl ar-Rajā`…, 126—128; Ad-Dū’ani, Gāyah al-Munā…, 125—130; Al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā…, 34—35.
[12] Ḥāmid, Al-Imtā’…, 34.
[13] Kisah pengalaman menggunakan berbagai toilet yang dapat dijadikan pelajaran penting bisa dibaca, misalnya, di tautan berikut.
[14] Muḥammad az-Zuhayli, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh asy-Syāfi’i (Damaskus: Dār al-Muṣṭafā, 2011), Juz 1, 54.


Oleh: KH. Mahyuddin
Pengasuh Majelis Nurul 'Ilmi Sultra

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال