Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah ‘Urwah bin az-Zubair bin al-’Awwam bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay bin Kilab al-Qurasyi al-Asadi al-Madani. Ia dilahirkan pada tahun ke-23 Hijrah pada masa Kekhalifahan Utsman bin ‘Affan di Kota Madinah. Ibunya adalah Asma’ binti Abu Bakr ash-Shiddiq ra.
Ia adalah adik kandung Abdullah bin az-Zubair ra. Bibinya adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. Karena itu tidak aneh jika ‘Urwah menjadi salah seorang Tâbi’în yang paling mengetahui hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra., dari Nabi saw. Imam adz-Dzahabi menempatkan dirinya pada thabaqah kedua para tokoh besar Tâbi’în. Urwah pun merupakan salah satu dari Al-Fuqahâ’ as-Sab’ah (Tujuh Ulama Fikih Terkemuka) dari Madinah.
Urwah tumbuh besar di madrasah ilmu para Sahabat Nabi saw. Guru-gurunya antara lain: Zubair bin al-‘Awwam (ayahnya), Abdullah bin Zubair (saudaranya), Asma’ binti Abu Bakar ash-Shiddiq (ibunya), Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Ja,far, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar Abdullah bin Amr bin al-‘Ash, Usamah bin Zaid, Abu Hurairah, Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi, Basrah binti Shafwar, Zainab binti Abi Salamah, Ibunda Ummu Salamah istri Rasulullah, Ummu Hani’ binti Abu Thalib, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, dll.
Karena keluasan ilmunya, wajar jika Urwah bin Zubair memiliki banyak murid. Di antaranya: Umar bin Abdullah bin Urwah, Muhammad bin Ja’far bin az-Zubair, Abu al-Aswad Muhammad bin Abdirrahman bin Naufal, Hubaib dan Zumail (budaknya), Sulaiman bin Yasar, Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah, Saad bin Ibrahim bin Abdirrahman bin ‘Auf, Said bin Khalid bin Amr bin Utsman bin Affan, Abu Bakar bin Hafsh bin Umar bin Saad bin Abi Waqqash, dan masih banyak yang lainnya.
Selain ahli hadis dan fikih, Urwah juga memelopori penulisan Sirah Nabi saw. dan al-maghâzi (peperangan masa Nabi saw). Cuplikan-cuplikannya banyak dikutip dalam kitab-kitab karya generasi selanjutnya, seperti dalam Al-Mu’jam al-Kabîr karya ath-Thabarani dan Târîkh ath-Thabari.
Sebagai ulama besar, banyak pujian ulama lain terhadap Urwah bin az-Zubair. Muhammad bin Saad, misalnya, berkata, “Urwah adalah seorang yang dapat dipercaya, banyak meriwayatkan hadis, ahli fikih dan luas wawasan keilmuannya.”
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Tidak ada seorang pun yang lebih luas keilmuannya daripada Urwah bin az-Zubair.”
Sebagai ulama besar, Urwan bin az-Zubair bukan sekadar mumpuni keilmuannya. Ia juga ahli ibadah. Salah satu kebiasaan Urwah setiap harinya, misalnya, adalah membaca seperempat al-Quran. Kemudian seperempat al-Quran yang beliau baca pada siang harinya tersebut dibaca dalam shalat malamnya. Tidak pernah sekalipun beliau meninggalkan kebiasaan ini kecuali pada malam saat kakinya diamputasi.
Urwah bin az-Zubair juga amat rajin berpuasa. Hisyam bin ‘Urwah mengatakan, “Ayahku biasa berpuasa terus-menerus (banyak berpuasa) dan meninggal dalam keadaan berpuasa. Ketika ajal menjelang pun, ia sedang berpuasa.”
Selain ahli ibadah, Urwah juga ulama yang sangat sabar. Tentang ini, Walid bin Abdul Malik berkata, “Belum pernah sekali pun aku melihat seorang syaikh yang kesabarannya seperti dirinya.”
Komentar al-Walid ini terkait dengan suatu peristiwa yang memang luar bisa. Dikisahkan, Urwah bersama putranya, Muhammad bin Urwah, pernah berangkat dari Madinah menuju Damaskus memenuhi undangan Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Khilafah Umayah. Ketika Urwah sedang bersama al-Walid, Muhammad bin Urwah berkeliling istal kuda istana. Muhammad lalu masuk ke istal demi melihat-lihat kuda. Tiba-tiba seekor kuda menendang Muhammad dengan kuat. Muhammad terpental dan ambruk seketika serta wafat saat itu juga.
Urwah pun saat itu sedang terserang penyakit parah. Salah satu kakinya luka yang mengeluarkan nanah. Penyakit itu telah bersemayam lama di kakinya. Setiap hari rasa sakitnya makin luar biasa. Singkat cerita, kaki Urwah harus diamputasi. Jika tidak, penyakitnya akan makin menjalar ke bagian tubuhnya yang lain.
Hari eksekusi pun ditetapkan. Alat amputasi pun disiapkan, yaitu gergaji. Dalam satu riwayat, para tabib menyarankan Urwah meminum khamar terlebih dulu sebagai bius atau obat penenang untuk mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan selama proses amputasi. Urwah menolak dengan tegas. Apalagi saat itu Urwah sedang menjalankan puasa sunnah. Urwah tidak mau membatalkan puasa sunahnya, apalagi dengan sesuatu yang haram, meskipun saat itu keadaannya darurat.
Selama proses amputasi kakinya dengan menggunakan gergaji—meski tanpa bius terlebih dulu—Urwah tak mengeluhkan rasa sakit sedikit pun. Urwah melawan rasa sakit dengan “bius spiritual”. Bibirnya terus bergetar melantukan tahlil, takbir dan penggalan QS al-Kahfi ayat 62.
Tubuh Urwah akhirnya menemukan batasnya dalam melawan rasa sakit. Urwah pun jatuh pingsan.
Setelah siuman, Urwah berdoa, “Ya Allah, Engkau telah anugerahkan kepadaku dua tangan dan dua kaki. Lalu kini Engkau ambil satu. Engkau pun telah memberiku empat anak dan membiarkan aku memiliki tiga yang lain. Segala pujian hanya milik-Mu.”
Urwah bin Zubair wafat tahun 94 H pada usia 71 dalam keadaan sedang berpuasa.
Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]
Rubrik
Ibrah