Prof. Fahmi Amhar: Nilai Hakiki Intelektual, Mampu Membangun Peradaban Lebih Baik

Kendaribertakwa.com: Media online di Kendari Sulawesi Tenggara yang menyajikan berita Islami. Tampil dengan memandang berbagai peristiwa dengan sudut pandang Islam.

Pembina Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Prof. Dr. Fahmi Amhar mengatakan, nilai hakiki intelektual itu mampu membangun peradaban yang lebih baik.

“Nilai hakiki mereka ditentukan apakah ilmu yang mereka bangun, dan pengetahuan yang mereka sebarkan, itu mampu membangun peradaban yang lebih baik, ataukah tidak?” ungkapnya dalam acara International Conference of Islamic Civilization (ICIC) 2022: The Global Call of Muslim Intellectuals for The Islamic Civilization Development and Sustainability, Ahad (7/8/2022) melalui kanal Youtube Rayah TV.

Peradaban yang lebih baik itu, jelas Fahmi, adalah sebuah peradaban yang memanusiakan manusia, berjalan harmoni dan lestari dengan alam, dan semakin mendekatkan manusia kepada Penciptanya.

“Ini adalah peradaban yang tidak akan menyerahkan nasib sekelompok manusia ke sekelompok penjajah. Ini juga bukan peradaban yang mendorong manusia terus berkompetisi pada tataran global sehingga tanpa sadar melakukan penghampaan diri dari nilai-nilai sosial dan spiritual, pemerkosaan kepada lingkungan atau penindasan kepada bangsa lain. Tapi ini adalah sebuah peradaban yang tidak terjajah, tidak pula menjajah, namun membebaskan dunia dari penjajahan,” tegas Fahmi.

Fahmi menilai, peradaban Islam mengharmonikan agama, sains maupun politik. Mengharmonikan ketenangan pribadi, kemajuan material, maupun keadilan sosial dalam skala lokal maupun global.

Masih menurut Fahmi, Cendekiawan Muslim adalah bagian dari umat dan telah dicerahkan dengan cahaya pengetahuan untuk membela umat, untuk memimpin mereka berhijrah menuju ketenangan dalam kemakmuran, dan melangkah ke cahaya, dari gejolak global menuju pembebasan global melalui wahyu.

“Mereka memiliki peran untuk berkontribusi di semua bidang keilmuan termasuk pemerintahan dan hukum, ekonomi, ilmu sosial, pendidikan, bahasa, budaya, komunikasi, kesehatan, teknologi, hubungan internasional, pertahanan dan keamanan, serta lingkungan,” imbuhnya.

Seorang intelektual Muslim, ujar Fahmi, sudah semestinya mendapatkan penghayatan atas Kemahakuasaan Allah pasca mempelajari sains. Tidak sekadar mencocok-cocokkan ayat. Juga bukan sekadar mencari-cari hikmah suatu syariat. Namun dia benar-benar menguasai sains, dan semakin mendalam sains yang dikuasainya, semakin dia tunduk, bersungkur menyadari kehadiran Allah di seluruh penjuru semesta. “Ini adalah dimensi tasawuf,” tandasnya.

“Seorang intelektual Muslim juga sudah semestinya mempelajari sejarah peradaban dunia. Dan dia akan mendapatkan bahwa jejak peradaban Islam ada di mana-mana. Dia akan melihat bahwa nenek moyang umat Islam sudah menorehkan amal jariah di bidang sains dan teknologi. Siapa pun menggunakan sains dan teknologi hari ini, kebaikan akan otomatis terkirim kepada para ilmuwan nenek moyang kita itu, baik mereka seorang dokter atau astronom, baik mereka seorang ahli fikih ataupun ahli persenjataan,” ungkapnya.


Nostalgia

Kekaguman pada prestasi masa lalu ini, menurut Fahmi, tidak boleh terhenti pada sekadar nostalgia, namun sebuah tekad, bahwa kaum Muslim pasti mampu lagi menghadirkan peradaban yang mulia ke tengah dunia ini, sebagaimana nenek moyangnya. “Ini adalah dimensi sejarah dan politik,” tegasnya.

“Seorang intelektual Muslim juga seharusnya terus mencari inspirasi dari ayat-ayat Al-Qur’an atau pun sunah-sunah Nabi SAW, lebih dari sekadar kebutuhan sehari-hari akan fikih atau sains sehari-hari. Dia akan terus bertanya, mengapa Allah menurunkan ayat dalam kalimat seperti ini. Ketika membaca ayat tentang minuman ahli surga yang bercampur jahe, seorang ahli farmasi atau bioteknologi Muslim akan terdorong untuk mendalami jahe sebagai bagian dari sebuah riset besar. Ketika membaca ayat yang memerintahkan manusia dan jin menjelajahi penjuru langit dan bumi, seorang ahli aerospace Muslim akan terpacu untuk menciptakan wahana-wahana yang lebih hebat untuk mewujudkan perintah di ayat itu. Ini adalah dimensi inspirasi teknologi,” bebernya.

Meski demikian, Fahmi mengingatkan, tidak boleh terjebak pada sains ta’wili, atau klaim sains sesuai Islam tanpa pembuktian empiris.

“Sains adalah dunia yang wajib bisa diuji kebenarannya oleh siapa pun. Kebenaran terlihat dari prediksi yang terpenuhi. Bila sebuah teori diklaim berasal dari tauhid, dari Al-Qur’an, dari sunah atau sejenisnya, maka bila teori itu gagal dalam pengujian, jangan sampai yang disalahkan adalah tauhid, Al-Qur’an atau sunah tersebut,” ujar Fahmi mengingatkan.

Fahmi mengatakan, setiap intelektual Muslim sudah sewajarnya mendapatkan dorongan untuk mempelajari sains dan teknologi yang berguna untuk menyukseskan terlaksananya syariat, baik itu syariat shalat, atau pun syariat jihad. “Shalat itu fardhu ‘ain, tetapi mengadakan teknologi untuk mendatangkan air wudhu, itu fardhu kifayah,” jelasnya.

Demikian juga, tambahnya, jihad adalah sebuah perintah syariat yang mulia, untuk membebaskan dunia dari penghambaan kepada manusia kepada penghambaan kepada Allah.

“Dan jihad ini membutuhkan banyak hal, membutuhkan politik dalam negeri yang stabil, ekonomi yang kuat, sumber daya manusia yang cerdas, intelijen yang canggih, hingga teknologi persenjataan yang menggentarkan musuh. Ini adalah dimensi fikih sains. Sains ada di setiap perintah syariat, sesuai kaidah ma laa yatimul wajib illa bihi, fahuwa waajib (apa yang mutlak diperlukan untuk tuntasnya sebuah kewajiban, maka hukumnya wajib pula),” terangnya.

Yang juga penting, ujar Fahmi, agar sains dan teknologi juga diarahkan dan diterapkan secara benar. “Tidak dipakai untuk menjajah, namun untuk membebaskan manusia dari penjajahan,” pungkasnya. []

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال