Mengapa Allah Perlu Dibela?

Kendaribertakwa.com: Media dakwah online di Kendari, Sulawesi Tenggara yang menyajikan berita Islami. Tampil dengan memandang berbagai peristiwa dengan sudut pandang Islam. Pusatnya artikel Islami untuk membangkitkan budaya literasi kaum muslimin khususnya di Kota Kendari.

Soal:

Benarkah Allah tidak perlu dibela? Jika Allah perlu dibela maka itu sama saja dengan mengatakan Allah itu lemah. Benarkah? Lalu, apakah yang dimaksud dengan “Menolong Allah” dalam nas-nas al-Quran?


Jawab:

Pertama: Pandangan atau pemikiran seperti ini bukan pemikiran. Siapa pun yang mengatakannya. Lebih tepat pandangan seperti ini disebut sebagai fantasi intelektual. Fantasi seperti ini tampak seperti logis dan masuk akal, padahal tidak. Mengapa? Karena menggabungkan dua perkara yang seharusnya dipisahkan, karena memang konteksnya berbeda.

Cara berpikir seperti ini juga merupakan cara berpikir kaum Fatalis (Jabariyah). Cara berpikir kaum Fatalis ini dalam sejarah sering digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk meninabobokan rakyat. Tujuannya agar mereka menerima penindasan yang dilakukan oleh rezim dengan alasan takdir.

Karena itu perlu dipisahkan, antara “Allah Maha Segalanya”, misalnya, “Al-Quran kalam Allah yang mulia”, atau “Islam agama yang sempurna” sebagai wilayah-Nya, dengan wilayah kita sebagai manusia untuk menjaga dan melindungi kemuliaan-Nya. Wilayah yang pertama adalah wilayah akidah, sedangkan wilayah kedua adalah wilayah (hukum) syariah.

Kedua: Kesimpulan bahwa Allah, al-Quran, atau Islam tidak perlu dibela, sesungguhnya hasil logika mantik, dari dua premis. Premis mayor menyatakan bahwa Allah Maha Segalanya, al-Quran kalam Allah dan Islam agama Allah yang sempurna. Premis minornya menyatakan bahwa Zat Yang Maha Segalanya tidak perlu dibela. Begitu juga kalam Allah dan Islam agama yang sempurna. Sebab, jika perlu dibela maka Allah, al-Quran dan Islam itu tidak sempurna.

Kesimpulan ini jelas merupakan kongklusi mantik. Bukan merupakan hasil berpikir karena bertentangan dengan fakta. Tampak kongklusi ini benar, padahal sebenarnya salah. Di mana salahnya? Ketika kesimpulan ini bertentangan dengan nas-nas syariah. Nas yang menyatakan kemahaan Allah, kesempurnaan al-Quran dan Islam di satu sisi. Di sisi lain, nas syariah tetap memerintahkan kita untuk membela Allah, al-Quran dan agama-Nya.

Ketiga: Andai saja Allah, kalam dan agama-Nya tidak perlu dibela, Allah tentu tidaka memerintahkan kita menjadi pembela-Nya (Lihat: QS ash-Shaf [61]: 14).

Ketika kita membela Allah, membela kalam-Nya, membela agama-Nya, memperjuangkan syariah-Nya, serta membantu para pejuang yang memperjuang agama-Nya, maka Dia akan menolong kita. Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ ٧

Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah, Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian (QS Muhammad [47]: 7).

Imam Ar-Razi menjelaskan, makna ”In tanshurulLâh (jika kalian menolong Allah)” adalah menolong agama-Nya, memperjuangkan syariah-Nya dan membantu para pejuang yang memperjuangkannya.

Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan tentang ayat ini dengan ungkapan, “Al-Jazâ’ jinsu al-‘amal (Balasan itu sesuai dengan jenis amal yang diberikan).” Artinya, ketika kita menolong Allah, Dia pasti akan menolong kita.

Keempat: Andai Allah tidak perlu dibela, maka tidak akan pernah ada “Awliyâ’-lLâh” (kekasih Allah). Adanya “Awliyâ’-lLâh” merupakan konsekuensi dari status mereka, karena mereka menolong Allah. Di dalam Al-Quran, mereka disebut “Awliyâ’-lLâh (penolong/kekasih Allah)” karena mereka membela Allah. Ketika mereka menjadi “Awliyâ’-lLâh”, maka Allah pun menjadi Wali (penolong/kekasih) mereka. Ketika Allah menjadi Wali mereka (QS al-Baqarah [2]: 257 dan QS an-Nisa’ [4]: 45), karena mereka telah menjadi “Awliyâ’-lLâh”, maka mereka pun tidak lagi mempunyai rasa takut dan sedih sedikitpun. Inilah yang Allah SWT tegaskan (Lihat: QS Muhammad [10]: 62; QS an-Nisa’ [4]: 45).

Karena itu para ulama, sebut saja Imam Abu Nu’aim, dalam kitabnya, Hilyah al-Awliyâ’ dan Al-Hafidz Ibn Al-Jauzi, dalam kitabnya, Shifah ash-Shafwah, menyenaraikan para penolong dan pembela Allah itu, mulai dari Nabi Muhammad saw., para Sahabat, tâbi’în, atbâ’ tâbi’în dan generasi setelah mereka yang berjuang membela agama-Nya. Mereka yang membela agama Allah itulah para “Awliyâ’-lLâh”.

Kelima: Andai saja Allah dan agama-Nya tidak perlu dibela, maka Nabi Muhammad saw. tidak perlu bersusah-payah berdakwah di Makkah hingga berdarah-darah dan tidak perlu berperang bersama para Sahabatnya melawan kaum kafir lebih dari 79 kali; 27 kali di antaranya secara langsung dipimpin oleh beliau.

Begitu juga sejarah dakwah, perjuangan dan jihad yang dilakukan oleh generasi berikutnya, di bawah kepemimpinan Khalifah ataupun bukan, adalah bukti bahwa para “Awliyâ’-lLâh” itu selalu ada. Mereka berjuang untuk membela Allah, agama dan kehormatannya.

Karena itu ketika seorang wanita Muslimah, kehormatannya dinista oleh Yahudi Bani Qainuqa’, Nabi saw. yang mulia mengumumkan perang kepada mereka. Ketika kehormatan seorang wanita Muslimah dinistakan oleh kaum Kristian Romawi, dia menjerit, “Yâ Mu’tashimah (Wahai Mu’tashim, tolonglah)!” pasukan Khalifah Al-Mu’tashim pun memerangi mereka sehingga Amuriah berhasil ditaklukkan. Ketika kehormatan Nabi Muhammad saw. dinista, Sultan Abdul Hamid II, segera memperingatkan Inggris untuk menghentikan pementasan drama yang menista kemuliaan Nabinya, dan jika tidak, Khilafah Uthmani akan melumat Inggris.

Semuanya itu bukti, bahwa “Awliyâ’-lLâh” selalu ada untuk membela, menjaga dan memperjuangkan kemuliaan agama-Nya.

Namun, yang perlu dicatat, Al-Quran juga mencatat bahwa selain “Awliyâ’-lLâh”, ada juga “Awliyâ’ as-Syaythân (kekasih/pembela setan)”. Mereka inilah orang yang menghalangi, merusak dan menghancurkan agama-Nya; menghalangi dan memerangi orang yang berjuang menegakkan agama-Nya (QS an-Nisa’ [4]: 67).

Jadi, jelas sudah. Allah, kalam-Nya, agama dan kesucian-Nya perlu dibela, dijaga dan dilindungi. Ini merupakan kewajipan kita. Karena itu, ketika kita menunaikan kewajiban ini, kita pun layak mendapatkan gelar dari Allah sebagai “Awliyâ’-lLâh”. Sebaliknya, siapapun yang membiarkan agama ini dinista, bahkan membela penistanya, maka mau atau tidak, sesungguhnya dia telah menjadi “Awliyâ’ asy-Syaythân”. Tinggal kita untuk memilih yang mana, menjadi “Awliyâ’-lLâh” atau “Awliyâ’ asy-Syaythân”.

Keenam: Mengenai masalah, “Menolong Allah” dalam nas-nas al-Quran, memang maknanya majaz (kiasan). Maksudnya dengan menolong agama-Nya, menolong Nabi-Nya, menolong siapa saja yang memperjuangkan agama-Nya. Berikut ini penjelasan para Mufassir. Cukup sebagian saja kami kutipkan pendapat mereka, karena penafsirannya nyaris tidak jauh berbeda.

Menurut penulis kitab At-Tafsîr al-Muyassar:
Wahai orang-orang yang telah membenarkan Allah, Rasul-Nya dan mengamalkan syariah-Nya, tolonglah agama Allah dengan berjihad di jalan-Nya, menerapkan pemerintahan berdasarkan kitab-Nya, menunaikan titah-Nya, dan meninggalkan larangan-Nya, maka kalian pasti akan ditolong oleh Allah atas musuh-musuh kalian, dan Dia akan meneguhkan kedudukan kalian ketika berperang.

Al-‘Allamah as-Sa’adi menyatakan:
Ini merupakan perintah dari Allah SWT kepada orang Mukmin, agar mereka menolong Allah dengan menjalankan agama-Nya, menyeru-kannya, memerangi musuh-musuh-Nya. Tujuan dari semuanya itu adalah semata karena Allah. Jika mereka melakukan itu, mereka pasti ditolong oleh Allah, dan Allah akan meneguhkan kedudukan mereka. Maksudnya, Dia akan mengikat hati mereka dengan kesabaran, ketenangan dan keteguhan. Dia akan menjadikan raga mereka pun sabar melakukannya. Menolong mereka mengalahkan musuh-musuh mereka. Ini merupakan janji dari Zat Yang Mahamulia, Yang Mahabenar janji-Nya. Siapa saja yang menolong Dia dengan perkataan atau tindakan, maka Tuannya pasti akan menolong dirinya, sekaligus memudahkan untuk dia sebab-sebab datangnya pertolongan, yaitu keteguhan dan sebagainya.

Syaikh ath-Thanthawi, dalam tafsirnya, Al-Wasîth, menyatakan:
Maksud “Orang Mukmin menolong Allah SWT” adalah mereka menolong agama-Nya dengan istiqamah di atas titah-Nya, mengikuti Rasul saw. dalam semua perkara yang beliau titahkan kepada mereka, dan yang beliau larang atas mereka. Maksudnya: “Wahai siapa saja di antara kalian yang mengimani Allah SWT dengan iman yang sebenar-benarnya, jika kalian menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla dan mengikuti Rasul-Nya, maka Dia pasti menolong kalian atas musuh-musuh kalian, dan meneguhkan kedudukan kalian.”

Alhasil, membela Allah SWT jelas konotasinya adalah membela Dia dengan menerapkan agama-Nya, membela orang atau kelompok yang memperjuangkannya; atau membela agama-Nya, istiqamah memperjuang-kan dan menerapkannya dalam kehidupan.

Membela Allah Yang Mahakuat dan Mahaperkasa adalah bagian dari hukum kausalitas, atau syarat, agar Dia menolong kita. Karena itu membela Allah adalah kebutuhan dan hajat kita, agar kita mendapatkan pertolongan-Nya, supaya hidup kita aman, damai dan tenteram.

WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال