Dakwah merupakan kewajiban syar’i. Aktivitas dakwah adalah aktivitas yang mulia di hadapan Allah SWT. Seruan dakwah dinilai sebagai sebaik-baiknya ucapan. Para pengembannya dipuji oleh Allah SWT sebagai umat terbaik.
Dakwah seharusnya menjadi aktivitas utama. Para nabi dan rasul pun telah menjadikan dakwah sebagai aktivitas utama mereka. Bahkan tidaklah diutus para nabi dan rasul kecuali dalam rangka berdakwah menyampaikan syariah-Nya.
Tantangan Dakwah
Ruh dakwah adalah perubahan. Mengubah kondisi buruk menjadi baik; dari sesat menjadi petunjuk; dari kufur menjadi Islam; bahkan dari kondisi yang baik menjadi jauh lebih baik lagi. Karena ruh dan semangat dakwah adalah perubahan, maka selain ada pihak yang menerima dakwah, pasti ada juga pihak yang menolak dakwah. Di antara pihak yang menolak dakwah hampir pasti ada pihak yang menentang, menghalang-halangi hingga memusuhi dakwah dan para pengembannya. Pihak yang menentang, menghalangi dan memusuhi dakwah biasanya berasal dari para penguasa dan orang-orang yang sudah berada pada zona nyaman kekuasaan. Mereka tidak ingin eksistensi dan kekuasaannya terganggu dan tergantikan.
Dakwah yang dilakukan para nabi dan rasul selalu mengalami ujian penentangan dari para penguasa pada zamannya.
Nabi Ibrahim as. harus berhadapan dengan Raja Namrudz. Beliau mengalami ujian berat, yakni dengan cara dibakar tubuhnya di atas gunungan kayu bakar. Namun demikian, pada akhirnya Allah SWT menyelamatkan beliau.
Nabi Musa as. harus berhadapan dengan Firaun, raja zalim yang mengklaim diri sebagai tuhan. Dia memburu Musa as. dan para pengikutnya. Akhirnya, Allah menenggelamkan Firaun dan balatentaranya. Sebaliknya, Allah menyelamatkan Nabi Musa as. dan para pengikutnya.
Nabi Isa as. harus menghadapi ancaman pembunuhan Raja Herodes. Akhirnya, Allah SWT menyelamatkan beliau dengan mengangkat beliau ke langit.
Begitupun Baginda Nabi Muhammad saw. Dakwah beliau pun tidak luput dari penentangan dan permusuhan. Berbagai cara dilakukan kaum musyrik Quraisy untuk menghentikan dakwah beliau, mulai dari cara yang halus hingga cara yang paling kasar, di antaranya:
Pertama, meminta Abu Thalib untuk menghentikan fakwah Nabi Muhammad saw. Abu Thalib adalah orang yang sangat dihormati dan disegani oleh Nabi Muhammad saw. Mereka berharap Muhammad saw mau mendengar perkataan Abu Thalib agar menghentikan dakwahnya. Namun, Rasulullah saw menolak secara halus permintaan pamannya seraya berkata, “Pamanku, demi Allah, walaupun mereka meletakkan matahari di sebelah kananku dan bulan di sebelah kiriku supaya aku meninggalkan urusan (agama) ini, niscaya sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya, sampai Allah memenangkan agamanya atau aku binasa karenanya.”
Kedua, membujuk Nabi saw. dengan harta dan tahta. Untuk melaksanakan tugas ini, pimpinan kaum musyrik Quraisy menugaskan tokoh di kalangan mereka yang memiliki jiwa kepemimpinan, kuat dalam berargumentasi dan mampu melakukan bargaining dengan baik. Orang itu adalah Utbah bin Rabiah. Utbah membujuk Rasulullah saw. dengan tawaran harta sehingga dikatakan beliau saw. akan menjadi orang terkaya di antara mereka. Utbah pun menawarkan Rasulullah saw. menjadi raja dan pemimpin mereka sehingga tidak ada keputusan kecuali beliau ikut memutuskannya. Namun, tawaran Utbah ditolak secara halus oleh beliau seraya membacakan QS Fushilat ayat 1 hingga 37. Setelah sujud (karena membaca ayat sajdah), beliau lalu berkata kepada Utbah, “Abu Walid, setelah kamu mendengar apa yang kamu dengarkan itu, masihkan kamu dengan sikapmu?” Saat itu, Utbah menjadi yakin bahwa Muhammad benar-benar utusan Allah, jauh dari keinginan mencari dunia.
Ketiga, melakukan propaganda negatif. Cara lain yang dilakukan kaum musyrik Quraisy untuk menghentikan dakwah Nabi saw. adalah dengan propaganda dan stigma negatif. Mereka berharap hal itu akan menjauhkan masyarakat dari Muhammad saw. Karena itu menjelang datangnya musim haji, yakni ketika Makkah banyak didatangi banyak orang dari berbagai penjuru, tokoh-tokoh Quraisy berkumpul di rumahnya Walid bin Mughirah. Di rumah Walid, mereka berembuk untuk menghasilkan keputusan, yakni sebutan apa yang akan mereka lekatkan kepada Muhammad agar masyarakat menjauhi beliau. Muncul beberapa usulan, mulai dari sebutan paranormal alias dukun, orang gila, penyair hingga tukang sihir. Walaupun semua sebutan tersebut sama sekali tidak sesuai dengan fakta Nabi Muhammad saw., akhirnya mereka memutuskan untuk menyebut Muhammad sebagai tukang sihir. Alasan mereka, karena Muhammad datang membawa perkataan yang mengandung sihir yang mampu memisahkan tali persaudaraan, hubungan suami istri dan ikatan kekeluargaan.
Karena itu pada awal musim haji, bangsa Arab heboh dengan isu-isu mengenai Muhammad saw., sehingga opininya menyebar di seluruh Jazirah Arab. Namun, cara mereka justru membawa “berkah” bagi Nabi Muhammad saw. Dengan begitu beliau dan dakwahnya semakin dikenal di kalangan bangsa Arab.
Keempat, penyiksaan fisik. Ketika cara-cara “halus” gagal menghentikan dakwah, mereka mulai meningkatkan eskalasi penentangan dengan cara penyiksaan fisik terhadap orang-orang lemah yang telah memutuskan memeluk Islam. Di antara mereka yang disiksa secara tidak manusiawi adalah Bilal bin Rabah al-Habsyi. Bilal disiksa oleh majikannya, yakni Umayyah bin Khalaf al-Jumahi. Ia ditarik ke tengah jalan yang sangat panas dan penuh dengan kerikil. Diletakkan batu besar di atas dada Bilal. Selain Bilal, ada Zinnirah. Siksaan yang dia terima menyebabkan dia buta akibat dia sering dipukuli kepalanya. Ada budak wanita Bani Muammal yang mendapatkan siksaan dari Umar bin al-Khaththab sebelum beliau masuk Islam. Begitu pun yang terjadi terhadap keluarganya, Ammar bin Yasir, ibunya serta ayahnya. Bahkan Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir, meninggal sebagai syahidah dalam penyiksaan kaum musyrik.
Kelima, pemboikotan. Setelah berbagai cara gagal menghentikan dakwah Nabi saw., berikutnya mereka melakukan boikot terhadap Rasulullah saw. dan orang-orang yang telah memutuskan masuk Islam. Kaum Quraisy dilarang melakukan transaksi jual-beli dengan mereka. Mereka tidak boleh menikahkan atau dinikahkan dengan salah seorang di antara mereka. Mereka menulis teks pemboikotan itu di atas lembaran yang digantung di dinding Ka’bah. Pemboikotan berlangsung selama tiga tahun. Selama pemboikotan ini, Rasulullah saw. dan kaumnya benar-benar menderita. Mereka tidak mendapatkan kebutuhan hidup primer mereka, kecuali yang dikirim oleh sebagian sahabat secara sembunyi-sembunyi. Kesempitan hidup yang dialami Rasulullah saw. dan para Sahabat telah menggerakkan hati mereka. Mereka menaruh simpati terhadap kaum yang tertindas meski mereka tidak mengimani ajakan Rasulullah saw. Di antara mereka ada Hisyam bin Amr. Ia datang dengan membawa keledai yang dimuati makanan dan kebutuhan lain selama boikot berlangsung. Hisyam juga mengajak beberapa orang seperti Zuhair bin Abi Umayyah bin al-Mughirah, Muth’im bin ‘Adi, Abu al-Bakhtari bin Hisyam dan Zam’ah bin al-Aswad untuk bersama-sama melakukan tindakan yang dapat mengakhiri pemboikotan. Setelah mereka tawaf mengelilingi Ka’bah, Zuhair berbicara kepada khalayak yang isinya mengajak masyarakat menghentikan boikot. Walaupun ditentang oleh Abu Jahal, kelima pemuda tersebut saling membenarkan ucapan mereka. Akhirnya, Muth’im mendekat lembaran untuk merobeknya, dan dia mendapati lembaran itu telah dimakan rayap, kecuali kalimat Bismika Allahumma. Setelah kejadian tersebut, berakhirlah pemboikotan.
Dakwah Tak Boleh Berhenti
Dakwah itu ibarat darah dalam tubuh manusia. Dia harus terus mengalir dan berjalan, tidak boleh berhenti, walau sesaat. Mengalirnya darah menjadi ciri kehidupan. Berhentinya aliran darah pertanda kematian. Begitupun dengan dakwah. Dia tidak boleh berhenti walau sebentar. Dengan dakwah manusia mengenal Rabb-nya. Dengan dakwah manusia mengetahui dan menjalankan syariat-Nya. Dengan dakwah manusia bisa membedakan mana yang benar dan salah, mana yang hak dan batil, mana yang terpuji dan tercela. Dengan dakwah manusia yang tersesat bisa kembali ke jalan Allah. Dengan dakwah, masyarakat yang jahiliah bisa berubah menjadi masyarakat Islam, yakni masyarakat yang menerapkan syariah Islam secara kâffah sehingga membawa kebaikan dan kemaslahatan di dunia dan beroleh pahala serta kebahagiaan hakiki di akhirat kelak.
Dakwah adalah perintah Allah SWT, bukan titah manusia. Dakwah harus mengikuti contoh Rasulullah saw., bukan kemauan penguasa. Dakwah yang haq pasti mengalami penentangan dan permusuhan. Semua nabi mengalami itu. Bahkan Nabi Muhammad saw. tidak luput dari penentangan dan permusuhan. Pertanyaannya, bagaimana sikap mereka menghadapi berbagai penentangan, permusuhan, penyiksaan hingga ancaman pembunuhan? Apakah Nabi yang mulia mundur dari medan dakwah? Apakah Rasulullah saw. berhenti mendakwahkan Islam. Jawabannya demi Allah, Tidak! Seandainya Rasulullah mundur dari medan dakwah (dan ini mustahil terjadi) maka ajaran Islam tidak mungkin dianut miliaran umat manusia. Seandainya Nabi Muhammad saw. berhenti mendakwahkan Islam (ini pun mustahil dilakukan), maka cahaya iman tidak mungkin tersebar luas ke seantero penjuru dunia.
Para penguasa zalim, sebagaimana halnya Namrudz, Firaun, Herodes hingga pembesar musyrik Quraisy menginginkan agar dakwah berhenti. Bahkan mereka berupaya menghentikan. Namun, nabi yang mulia tetap dalam pendirian, kokoh dalam sikap, tidak mundur apalagi berhenti menyampaikan risalah dakwah.
Begitupun halnya dengan kita saat ini. Jika kita benar-benar menapaki jalan Rasulullah saw. dalam berdakwah, maka apa yang beliau alami, pasti akan pula kita jumpai. Berbagai tantangan, ancaman hingga permusuhan terhadap dakwah yang dialami Rasulullah saw. pasti akan kita rasakan. Dalam hal kondisi dakwah Islam diperlakukan seperti itu, maka justru kita harus bergembira, karena itu sunnatullah. Berarti kita telah menapaki jalan yang benar, jalan yang lurus, jalannya para nabi dan Rasul. Justru kita mesti khawatir jika jalan dakwah bertabur bunga, riuh dengan pujian dan tepukan tangan, disambut dengan karpet merah di pintu-pintu istana. Jika begitu, kemungkinan besar kita sudah salah jalan.
Sikap Pengemban Dakwah
Lalu, bagaimana sifat yang harus dimiliki para pengemban dakwah? Paling tidak, ada tiga sifat utama yang wajib dimiliki pengemban dakwah, yakni ikhlas, sabar dan istiqamah.
Pertama: Ikhlas. Sifat ini sangat penting dimiliki pengemban dakwah adalah ikhlas. Ikhlas artinya melaksanakan amal shalih hanya karena Allah, bukan karena apapun selain Allah. Keikhlasan menjadi syarat utama amal shalih seseorang diterima. Sebaliknya, ketidakikhlasan menyebabkan amal tertolak, sebanyak apapun amal yang dilakukan. Pengemban dakwah yang ikhlas akan memiliki motivasi tanpa batas dalam berdakwah. Ia akan berjuang siang-malam. Ia akan mengerahkan segenap kemampuan dalam menyampaikan risalah Islam. Pengemban dakwah yang ikhlas juga tidak akan mudah terkecoh oleh iming-iming dunia. Ia tidak mudah dibeli dengan harta sebanyak apapun. Sebabnya, motivasinya berdakwah bukan untuk mendapatkan keuntungan dunia. Pengemban dakwah yang ikhlas juga akan dengan mudah menerima apapun keputusan jamaah dakwah, sehebat apapun dia. Ini sebagaimana Khalid bin Walid yang dengan ikhlas menerima keputusan turun pangkat jadi prajurit biasa di bawah komando Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Padahal kemampuan Khalid dalam berperang sungguh tidak diragukan.
Kedua: Sabar. Sabar inilah benteng yang kokoh, yang akan menjadikan seorang pengemban dakwah tetap ada terus-menerus di jalan yang benar dan lurus. Aktivitas dakwah bukan aktivitas sesaat yang hanya dilakukan satu atau dua kali saja, melainkan terus-menerus. Sampai kapan? Hingga kematian menjelang. Di dalam perjalanan dakwah pasti akan kita temukan berbagai problem. Ada permasalahan yang muncul dari diri kita, seperti futur atau melemah semangat hingga mundur dari medan dakwah. Ada permasalahan yang muncul antarsesama pengemban dakwah. Ada juga permasalahan yang datang dari luar diri dan jamaah, seperti perlakuan buruk dari penguasa yang menentang dan memusuhi dakwah. Dalam kondisi seperti itu, sifat sabar akan menguatkan pengemban dakwah sehingga tidak mudah mundur dari medan dakwah. Sabar akan menjadikan pengemban dakwah tidak pernah takut terhadap ancaman apapun juga tidak membuat dia bersedih dengan cobaan apapun.
Ketiga: Istiqamah. Istiqamah merupakan sifat yang mutlak dimiliki pengemban dakwah. Ibnu Rajab Al-Hanbali mengemukakan bahwa istiqamah adalah menempuh jalan yang lurus, tanpa belok ke kiri dan ke kanan. Tercakup di dalamnya ketaatan yang tampak maupun yang tidak tampak, serta meninggalkan berbagai larangan. Pengemban dakwah yang istiqamah akan senantiasa konsisten menekuni jalan dakwah, apapun risiko dan konsekuensi yang dia hadapi. Pengemban dakwah yang istiqamah akan senantiasa lantang menyampaikan kebenaran di manapun dan pada posisi apapun dia berada. Pengemban dakwah yang istiqamah akan senantiasa berani melakukan kritik dan membongkar makar para penjajah walaupun risikonya akan menghadapi berbagai ancaman. Pengemban dakwah yang istiqamah tidak akan mudah terbelokkan dengan metode dakwah yang tidak dicontohkan Rasulullah Muhammad saw.
Meyakini Datangnya Kemenangan
Sebagaimana halnya berbagai pertentangan dan permusuhan terhadap dakwah merupakan sunnatullah, Allah pun menyiapkan kemenangan dakwah sebagaimana Dia memenangkan dakwah para nabi dan rasul yang mulia. Pengemban dakwah harus meyakini bahwa Allah SWT pasti memenangkan dakwah ini. Berbagai rezim zalim selalu tumbang dan dikalahkan oleh dakwah. Rezim Namrudz tumbang, sementara dakwah Ibrahim terus berjalan. Rezim Firaun hancur binasa, sementara dakwah Musa terus melenggang. Rezim musyrik Quraisy habis tak bersisa, sementara dakwah Rasulullah saw. tetap eksis melampaui zaman. Karena itu pilihan bagi kita hanya satu, tetap ada dalam barisan dakwah, konsisten memperjuangkan dakwah Islam, karena kalaupun kita keluar dan terlempar dari orbit dakwah tetap saja akan ada orang yang menggantikan.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Luthfi Afandi; Direktur Pusat Kajian Islam Kaffah]
Rubrik
Nafsiyah