Imam al-Baqilani dikenal sebagai seorang ulama besar pada zamannya. Kecerdasannya tak tertandingi. Ia adalah seorang ulama mutakallim (ahli kalam), sekaligus ulama ahli ushul fikih.
Al-Baqilani lahir di Kota Bashrah. Kota terbesar kedua di Irak setelah Baghdad. Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad Ibnu ath-Thayyib Ibnu Muhammad Ibnu Ja’bar Ibnu al-Qasim al-Baqillani.
Beliau hidup pada masa awal pemerintahan Dinasti Buwaihi, sekitar pertengahan abad ke-4 hingga awal abad ke-5 Hijrah. Al-Baqilani pernah diangkat menjadi qadhi (hakim). Karena kepiawaiannya dalam debat, al-Baqilani dijuluki Sayf as-Sunnah (Sang Pedang Sunnah) dan Lisan al-Ummah (Sang Juru Bicara Umat).
Al-Baqilani adalah ulama yang produktif. Disebutkan di dalam kitab Adz-Dzibaj al-Madzhab fii Ma’rifah A’yani Madzhab, karya Ibnu Farhun al-Maliki, setiap malam Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani selalu menunaikan shalat malam 20 rakaat. Ia tidak pernah meninggalkan shalat malamnya itu. Baik saat di rumah maupun saat safar. Setiap malam pula ia istiqamah menulis minimal 35 halaman. Semua tulisannya mengandalkan hapalannya. Namun, kebanyakan karya al-Baqilani hilang dan tidak sampai kepada kita.
Menurut sebagian riwayat ia telah menyusun 70.000 lembar halaman tentang pembelaan terhadap agama. Karangan beliau yang terdokumentasikan tidak sampai lima puluh karya. Di antaranya: I’Jaz al-Qur’an, Al-Inshaf fi Asbab al-Khilaf, Hidayah al-Musytarsyidin, Manaqib al-A’immah, Al-Ibanah fi Ibthal Madzhab Ahl al-Kufri wadh-Dhalal, Risalah al-Hurrah, Syarh Ibanah, Syarh al-Luma’, al-Imamah al-Kabirah, al-Imamah as-Shagirah, At-Tabshirah bi Daqaiq al-Haqaiq, Ijma’ Ahl al-Madinah, Al-Muqaddimat fi Ushul ad-Diyanat, Haqaiq al-Kalam, At-Ta’rif wa al-Irsyad, At-Tamhid fi Ushul al-Fiqh, dll.
Ada satu cerita menarik sebagaimana dikisahkan oleh Al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya, Tarikh Baghdad. Dikisahkan sebagai berikut:
Al-Baqilani pernah diutus kepada Raja Romawi saat itu. Ketika Raja Romawi mendengar berita akan kedatangan Abu Bakar Al-Baqilani, dia memerintahkan para pengawalnya untuk memendekkan palang pintu masuk ke hadapannya. Tujuannya adalah agar ketika Al-Baqilani akan masuk menghadap dirinya, ia akan terpaksa harus menundukkan kepala dan membungkukkan badannya. Dengan begitu ia akan terpaksa merendah di hadapkan Raja Romawi dan para pengawalnya.
Ketika Al-Baqilani tiba, ia pun tahu perihal rekayasa tersebut. Karena itu di depan pintu, ia segera memutar badannya sambil mengambil posisi rukuk. Ia kemudian memasuki pintu menuju Raja Romawi itu dengan berjalan mundur. Otomatis ia berjalan menunggingi sang Raja.
Di sini Raja Romawi menyadari bahwa dirinya sedang berhadapan dengan orang cerdas.
Kemudian Al-Baqilani menoleh kepada seorang pendeta yang paling tua seraya menyapa, “Bagaimana kabar Anda? Bagaimana pula kabar istri dan anak-anak Anda?”
Mendengar itu Raja Romawi marah seraya berkata, “Tidakkah engkau tahu bahwa para pendeta kami tidak menikah dan tidak melahirkan anak-anak?!”
Abu Bakar menimpali, “Allahu Akbar! Allah Mahabesar! Kalian mensucikan para pendeta kalian dari menikah dan memiliki anak, sementara kalian menganggap Tuhan kalian menikahi Maryam dan melahirkan Isa?!”
Sang Raja pun semakin marah saja.
Lalu dengan lancang Raja berkata, “Apa pendapatmu tentang apa yang diperbuat oleh Aisyah?”
Al-Baqilani menjawab, “Jika Aisyah ra. telah dituduh oleh kaum munafik dan Rafidhah (Syiah), maka sesungguhnya Maryam juga mendapatkan tuduhan dari kaum Yahudi. Keduanya sama sucinya. Hanya saja, Aisyah menikah (dengan Nabi saw.), namun tidak melahirkan anak. Adapun Maryam justru melahirkan tanpa pasangan. Mana sebenarnya yang lebih layak untuk menerima tuduhan yang batil? Namun, mustahil keduanya melakukan apa yang dituduhkan. Semoga Allah meridhai keduanya.” (Al-Khathib al-Baghdadi,Tarikh Baghdad, 5/379).
Lalu dialog berlanjut sebagai berikut:
Raja: “Apakah Nabimu ikut berperang?” Abu Bakar: “Ya.” Raja: “Apakah ikut berperang di barisan depan?” Abu Bakar: “Ya.” Raja: “Apakah ia meraih kemenangan?” Abu Bakar: “Ya.” Raja: “Apakah pernah mengalami kekalahan?” Abu Bakar: “Ya.” Raja: “Aneh sekali. Nabi, tetapi dikalahkan?!” Lantas Abu Bakar menimpali: “Apakah ada tuhan, namun disalib?!” Mendengar itu terdiamlah raja kafir itu (Al-Khathib, Tarikh Baghdad, 5/379).
Al-Baqilani punya reputasi baik di mata para ulama lain. Banyak sanjungan yang dilontarkan para ulama besar pada beliau. Ibnu al-Ahdal, misalnya, berkata, ”Al-Baqilani adalah seorang yang wara’. Tak pernah didengar kesalahan maupun kekurangan tentang dia. Di dalam dirinya dipenuhi ibadah, keteguhan pada agama dan penjagaan diri dari perbuatan yang buruk.”
Adz-Dzahabi berkomentar, ”Al-Baqilani adalah orang yang tsiqqah, pemimpin keilmuan dan sangat jenius.”
Al-Khathib al-Baghdadi berkata, ”Sesungguhnya semua ilmunya dan ilmu ulama lain tersimpan di dalam dadanya.” (Lihat: Ibnul Atsir, Al-Kamil, 10/242; Qadhi Íyadh, Tartib al-Madarik, 7/44-68; Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 11/350; Al-I’lam, 6/167; Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala‘, 17/190; Al-Khathib, Tarikh Baghdad, 5/379; dll).
Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]
Rubrik
Ibrah