Saya pernah menyimak guru saya mengutip nasihat Ibn Hajib al-Maliki yang berkata:
ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﺷﻲﺀ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﺷﻲﺀ
“Siapa yang merasa dirinya hebat, maka ia di sisi Allah tidak bernilai sama sekali.”
Nasihat Abdullah Ibnu Mas’ud رضي الله عنه berikut in sya Allah sudah familar:
لَيْسَ الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ وَلَكِنَّ الْعِلْمَ الْخَشْيَةُ
“Ilmu bukan berupa banyak riwayat. Tetapi ilmu adalah rasa takut (khasyah).”
Namun kenapa sulit sekali nampak pada diri para pembelajar? Inilah esensi dari adab. Benar, seorang ahli hikmah ada yang mengatakan:
إخفاء العلم هلكة وإخفاء العمل نجاة
“Menyembunyikan ilmu adalah kehancuran, sedangkan menyembunyikan amal adalah keselamatan.” (Ibn Abdil Barr, Jami’ Bayan al-Ilm wa Fadhlih)
Namun jangan salah paham, kalam hikmah tersebut tentang menyebarkan ilmu, bukan kebencian, meski dibungkus rapi atas nama ilmu.
Belajarlah dari Salah Satu Wali Allah, Dawud al-Tha’i!
Beliau seorang imam ahli fikih yang zuhud dan menjadi panutan ummat. Sufyan bin Uyainah mengatakan, “Dawud (al-Tha’i) termasuk orang yang memiliki ilmu dan pemahaman serta menguasai kalam.” Imam al-Dzahabi mengatakan, “Beliau adalah salah satu pembesar imam fikih dan pemikiran. Beliau mendalami fikih Abu Hanifah, kemudian fokus memperbaiki diri, banyak diam, bersembunyi dan pergi menyendiri untuk menyelamatkan agamanya.”
Arogansi Itu Tanda Kebodohan!
Guru saya pernah menyampaikan bahwa syaikh Usamah ar-Rifa’i pernah bercerita tentang seorang lelaki yang mengaku sebagai tuhan.
Setelah belajar lebih banyak, akhirnya ia mengaku sebagai nabi.
Setelah belajar lebih banyak lagi, akhirnya ia bertaubat dan mengaku sebagai seorang muslim yang shalih.
Setelah belajar lebih banyak lagi, akhirnya ia mengaku sebagai orang yang banyak dosa.
Setelah belajar lebih banyak lagi, akhirnya ia mengaku sebagai orang yang paling berdosa di dunia ini.
Begitulah, semakin banyak belajar kita akan tahu bahwa sebenarnya kita masih belum apa-apa di bandingkan dengan orang-orang shalih terdahulu.
Semakin banyak belajar, kita akan semakin tahu aib-aib kita, akan semakin tersingkap cacat-cacat kita yang selama ini tertutupi oleh kesombongan kita.
Kalau kita belum bisa melihat aib-aib itu, berarti mata hati kita masih dibutakan oleh sebuah dosa besar yang harus kita taubati segera sebelum mati.
Di balik gegap gempita dan hiruk pikuk manusia mengejar ketenaran dunia ini masih ada kehidupan hening dan sunyi manusia-manusia mulia yang mengejar surga dengan rintihan air mata dan darah perjuangan.
Di balik kebodohan dan ketidaktahudirian kita masih tersimpan segudang ilmu yang telah, sedang dan terus digali oleh orang-orang yang tak ingin menampakkan diri mereka ke permukaan.
Jangan jadi Penghujat!
Sahl bin Abdillah al-Tustari رحمه الله تعالى mengatakan bahwa penghujat biasanya orang yang miskin amal:
الدُّنْيَا كُلُّهَا جَهْلٌ مَوَاتٌ إِلَّا الْعِلْمَ مِنْهَا، وَالْعِلْمُ كُلُّهُ حُجَّةٌ عَلَى الْخَلْقِ إِلَّا الْعَمَلَ بِهِ، وَالْعَمَلُ كُلُّهُ هَبَاءٌ إِلَّا الْإِخْلَاصَ مِنْهُ، وَالْإِخْلَاصُ خَطْبٌ عَظِيمٌ لَا يَعْرِفُهُ إِلَّا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَصِلَ الْإِخْلَاصُ بِالْمَوْتِ
“Dunia ini seluruhnya adalah kebodohan dan kematian kecuali ilmu yang berada di dalamnya. Ilmu pun seluruhnya hanya akan menjadi penghujat kepada seluruh makhluk kecuali yang mengamalkannya. Amal pun seluruhnya hanya akan terhambur sia-sia kecuali yang dilandasi keikhlasan. Sedangkan keikhlasan adalah perkara besar yang tidak dapat diketahui kecuali hanya oleh Allah ﷻ, sehingga keikhlasan itu dibawa sampai mati.” (Imam al-Baihaqi, Syu’abul Iman).
Kualitas Ilmu dari Masa ke Masa Kian Menurun
Gambarannya adalah imam Malik mengumpulkan hadits-hadits dalam kitabnya, al-Muwatha’ selama 40 (empat puluh) tahun. Saat ada daurah 40 (empat puluh) hari mengkhatamkan kitab al-Muwatha’, beliau berkomentar:
كتاب ألفته في أربعين سنة أخذتموه في أربعين يوماً ما أقلّ ما تفقهون فيه
“Kitab yang saya tulis selama empat puluh tahun, kalian mengambilnya hanya dalam tempo empat puluh hari. Sedikit sekali kalian memahami isinya.”
Apalagi bagi mereka yang hanya baca sendiri, dan tidak jelas gurunya siapa. Namun bicaranya berjilid-jilid.
Hati-hati dengan Kesombongan!
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَتَعَلَّمُونَ الْقُرْآنَ وَيَقْرَءُونَهُ، ثُمَّ يَقُولُونَ: قَدْ قَرَأْنَا وَعَلِمْنَا، فَمَنْ هَذَا الَّذِي هُوَ خَيْرٌ مِنَّا، فَهَلْ فِي أُولَئِكَ مِنْ خَيْرٍ؟» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَنْ أُولَئِكَ؟ قَالَ «أُولَئِكَ مِنْكُمْ، وَأُولَئِكَ هُمْ وَقُودُ النَّارِ»
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang-orang belajar dan membaca al-Quran kemudian mengatakan: ‘Kami telah membaca dan mengetahuinya, maka siapakah orang yang lebih baik daripada kami?’ Kebaikan apakah yang ada pada diri mereka?” Para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, siapakah mereka?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka berasal dari kalian dan mereka adalah bahan bakar api neraka.”
Hadits tersebut menekankan pentingnya ikhlas, rendah hati dan selalu menjaga hati bagi kalangan ahli ilmu. Hadits tersebut juga mengisyaratkan adanya orang-orang yang mencela orang lain karena sudah merasa jadi orang terbaik dengan keahliannya dalam bidang al-Qur’an.
Takutlah dengan Ucapan yang Membinasakan!
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits:
إن أخْوَف ما أخاف على أمتي كلُّ منافقٍ عليمِ اللسان
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan dari umatku adalah setiap munafik yang pandai bersilat lidah.” (HR. Ahmad)
Imam al-Munawi رحمه الله تعالى menjelaskan:
أي كثير علم اللسان جاهل القلب والعمل اتخذ العلم حرفة يتأكل بها ذا هيبة وأبهة يتعزز ويتعاظم بها يدعو الناس إلى الله ويفر هو منه ويستقبح عيب غيره ويفعل ما هو أقبح منه ويظهر للناس التنسك والتعبد ويسارر ربه بالعظائم إذا خلا به ذئب من الذئاب لكن عليه ثياب
“Maksudnya yaitu orang yang banyak ilmu di lidahnya, tapi bodoh hati dan amalnya. Ia menjadikan ilmu sebagai profesi yang dengan itu ia mencari makan. Ia berpenampilan penuh wibawa untuk menarik perhatian orang. Ia mengajak orang lain kepada Allah tapi ia sendiri lari dari Allah. Ia mencela aib orang lain lalu melakukan perbuatan yang lebih buruk daripadanya. Ia menampakkan ibadah dan kekhusyukan di hadapan manusia tapi melakukan dosa-dosa besar di hadapan tuhannya saat sendirian bersama-Nya. Ia adalah seekor serigala yang memakai baju.” (Al-Munawi, Faidhul Qadir, 2/419).
Rubrik
Nafsiyah