Siapa tak kenal ulama? Pujian untuk kelompok manusia yang satu ini begitu banyak. Mereka bukan nabi, bukan sahabat, tapi punya kedudukan yang spesial di mata Allah dan RasulNya.
Allah SWT. menyebut ulama sebagai kelompok manusia yang paling punya rasa takut hanya kepadaNya (lihat QS. al-Fathir: 28). Allah juga menjanjikan akan mengangkat derajat kaum alim ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok manusia yang lain.
Pujian kepada ulama juga bertebaran dalam sabda-sabda Baginda Nabi SAW. Dituturkan lewat lisan Beliau yang mulia kalau perbandingan ulama dengan manusia lain adalah ibarat bulan purnama dengan bintang gemintang yang kecil cahayanya di malam nan cerah. Ulama juga ditahbiskan oleh Rasulullah SAW. sebagai pewaris para nabi. Ma sha Allah!
«إِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ»
Sesungguhnya perumpamaan orang alim dibandingkan ahli ibadah laksana keunggulan bulan pada malam purnama di atas seluruh bintang, dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi…(HR. Abu Daud).
Ulama yang taat pada Allah kelak juga diberikan ‘fasilitas’ istimewa di Hari Kiamat, bisa memberikan syafaat. Nabi SAW. berjanji:
« يَشْفَعُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلاَثَةٌ الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْعُلَمَاءُ ثُمَّ الشُّهَدَاءُ »
Yang memberikan syafaat pada Hari Kiamat ada tiga golongan; para nabi lalu ulama kemudian syuhada (HR. Ibnu Majah).
Pasti ada alasan mengapa Allah dan RasulNya memberikan pujian dan fasilitas luar biasa kepada kelompok ulama. Ada sisi keunggulan pribadi ulama yang melampaui kesalehan orang kebanyakan. Imam Ahmad misalnya dikabarkan tidak pernah melewati qiyamul layl setiap hari dengan beratus-ratus rakaat.
Keberanian mereka dalam menegakkan agama, beramar maruf nahiy mungkar tak bisa dihentikan dengan sogokan dunia atau pedihnya cemeti dan ancaman mati. Imam Abu Hanifah menyongsong ajalnya di dalam penjara dalam usia lanjut dalam keadaan istiqomah mengucapkan kalimat al-haq di hadapan penguasa zalim. Beliau wafat setelah diracun oleh antek-antek para penguasa zalim.
Karenanya tak ada salah atau kerugian bila para pengemban dakwah mengikut jejak langkah para ulama yang mukhlis ini. Mereka adalah pewaris para nabi. In sha Allah senantiasa bertebaran mutiara ajaran Islam dalam setiap gerak mereka. Berikut ini adalah lima habit keren para ulama yang rasanya patut dijadikan cermin amal bagi para pengemban dakwah.
Pemburu Ilmu
Bukan namanya ulama bila tidak memburu ilmu. Mereka memahami bahwa ilmu adalah pilar dien ini. Ilmu adalah syarat untuk mendapatkan kesuksesan dunia apalagi akhirat. Imam an-Nawawi berucap, “Siapa yang ingin mendapatkan bagian dunia maka wajib atasnya ilmu, siapa yang ingin mendapatkan akhirat maka wajib atasnya ilmu, dan siapa yang menginginkan keduanya wajib atasnya ilmu.”
Telusurilah kisah para ulama dan ilmu, maka kita akan tercengang, takjub dan malu pada diri sendiri. Sungguh, kita belum ada apa-apanya dibandingkan himmah para ulama dalam memburu ilmu.
Coba pernahkah kita melakukan apa yang dilakukan seorang alim bernama Ibnu Thahir al-Maqdisy? Beliau berkata : Aku dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu hadits, sekali di Baghdad dan sekali di Mekkah. Aku berjalan bertelanjang kaki di panas terik matahari dan tidak berkendaraan dalam menuntut ilmu hadits sambil memanggul kitab-kitab di punggungku.
Mengantuk di majlis ilmu? Di halaqoh? Ini resep Ibnu Jahm; beliau justru membaca buku manakala merasakan kantuk, dan itu kemudian menghilangkan rasa kantuknya sama sekali.
Ironi bila kita ingin dicatat sebagai pengemban dakwah tapi tak mau menanggung kepayahan mencari ilmu. Mudah mencari dalih agar tidak hadir pada liqo’, dan malah bersemangat tidak hadir bila memang tidak diwajibkan pada majlis-majlis ilmu. Jauuuuh dari habit para ulama.
Malu juga diri kita mengaku pengemban dakwah tapi pelit mengeluarkan uang untuk meraih ilmu. Malas membeli buku, enggan keluar uang untuk ongkos berangkat ke majlis ilmu? Tahukah, Anda, bahwa seorang alim bernama Al-Hafidz Abul ‘Alaa a-Hamadzaaniy menjual rumahnya seharga 60 dinar untuk ‘hanya’ untuk membeli kitab-kitab Ibnul Jawaaliiqy.
Masih malas hadir di majlis ilmu? Liqo’ dan pertemuan-pertemuan yang bertabur ilmu? Pikirkan lagi status pengemban dakwah pada diri ini.
Giat Dalam Beribadah
Ada lagi yang aneh, pengemban dakwah tapi malas mengerjakan ibadah wajib dan melalaikan amalan sunnah. Padahal berdakwah menegakkan dienullah dan senantiasa mengharapkan pertolongan Allah, lalu bagaimana bisa mendapatkan semua itu bila justru jauh dari Allah?
Para ulama adalah sosok yang begitu lekat dengan amal ibadah, baik yang fardhu maupun yang sunnah. Misalnya dalam kewajiban yang sederhana, shalat berjamaah. Seorang ulama bernama Said bin Abdul Aziz selalu menangis jika ketinggalan shalat berjama’ah. Sa’id ibn al-Musayyab selama empat puluh tahun selalu mengerjakan shalat di masjid. Al-A’masy selama hampir tujuh puluh tahun tidak pernah tertinggal takbiratul ihram ketika shalat berjamaah. Bagaimana dengan para pengemban dakwah?
Amal para ulama adalah amal yang berkualitas, bukan amal gampangan. Saib bin Yazid mengatakan, “Umar bin al-Khaththab memerintahkan Ubay bin Ka’b dan Tamim Ad Dariy qiyam (Ramadhan) untuk orang-orang dengan sebelas rakaat”. Saib berkata, “al-Qari (imam) membaca ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar”.
Tidak Bersekutu Dengan Kemungkaran
Ulama bukanlah orang yang bersembunyi di balik kitab atau majlis mereka dalam menyuarakan kebenaran. Ulama bahkan sosok yang berada di garda terdepan menyuarakan kebenaran dan menentang kemungkaran. Hal itu mereka lakukan tidak secara sembunyi-sembunyi, tapi justru terbuka di hadapan umat.
Mereka memahami kewajiban taat pada para khalifah, tetapi mereka juga tidak sungkan mengkritik secara terbuka para pemimpin. Seperti yang dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal mengoreksi kekeliruan Khalifah al-Ma’mun yang mengadopsi pendapat Mu’tazilah dalam masalah akidah. Menyatakan al-Qur’an adalah mahluk. Maka Imam Ahmad dan sejumlah ulama berdiri menentang pendapat tersebut, meski harus menanggung resiko dipenjarakan dan disiksa.
Abu Hanifah pernah menolak jabatan yang ditawarkan Abu Ja’far al-Manshur dan menolak uang 10 ribu dirham yang akan diberikan kepadanya. Kemudian ia ditanya oleh seseorang, “Apa yang Anda berikan kepada keluarga Anda, padahal Anda telah berkeluarga.” Beliau menjawab, ”Keluargaku kuserahkan kepada Allah. Sebulan aku cukup hidup dengan 2 dirham saja.”
Akibat penolakannya beliau dipenjarakan dan disiksa, padahal usianya sudah lanjut. Tapi beliau memilih penjara ketimbang melumuri diri dengan kemungkaran.
Rendah Hati Di Hadapan Kebenaran
Suatu ketika Imam Abu Hanifah menasihati seorang anak kecil yang sedang bermain tanah, “Hati-hati, Nak, engkau bisa tergelincir.”
Tapi sang anak yang tahu bahwa ia berhadapan dengan Imam Abu Hanifah justru balas memberikan nasihat yang tajam kepadanya:
إِيَّاكَ أَنْتَ مِنَ السُّقُوط، لِأَنَّ سُقُوطَ الْعَالِمِ سُقُوطُ الْعَالَمِ
“Andalah yang harus berhati-hati dari kejatuhan, karena jatuhnya seorang alim adalah kejatuhan bagi dunia!”
Semenjak mendapatkan nasihat dari anak tersebut Imam Abu Hanifah dikabarkan selalu berhati-hati bila memberikan fatwa.
Ma sya Allah! Ulama adalah hamba Allah yang paham bahwa tinggi hati adalah musuh ilmu dan kebenaran, seperti air bermusuhan dengan dataran tinggi tak mungkin air menuju ke sana.
Pengemban dakwah tak perlu menunggu orang yang berada di atas gunung untuk memberitahukan kesalahan mereka. Terkadang kawan seiringan — bahkan mungkin yang berada ‘dibawah’ mereka – bisa menunjukkan kebenaran.
Inilah sifat keren dari seorang ulama. Berani menyampaikan kebenaran tapi juga rendah hati saat diingatkan pada kebenaran.
Rasa Takutnya Hanya Kepada Allah
Seperti yang disifatkan Allah pada mereka, ulama adalah “manusia yang paling takut hanya kepada Allah.” Banyak kisah mereka yang mudah menangis bila mengingat kematian, surga dan neraka dan kebesaran Allah SWT.
Di antara mereka ada yang lebih suka amal menangis ketimbang berinfak. Misalnya Ka’ab bin al-Ahbar berkata, ”Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”
Para ulama bisa menangis kapan saja dan dimana saja bila sudah mengingat Allah SWT, surga dan neraka. Abu Musa al-Asya’ri radhyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.
Subhanallah!
Ini baru sekelumit karakter para ulama. Belum lagi soal hidup sederhana, pemurah, ramah, bersahabat, menghormati yang lebih tua, dsb.
Ayyuhasy syabab! Milikilah sifat-sifat ulama dalam diri kita. Agar Allah memudahkan pertolongan kepada kita dan dakwah yang tengah diemban ini. Milikilah keyakinan seperti keyakinan para ulama bahwa tak ada yang bisa memberikan pertolongan melainkan hanya Allah. Dialah yang akan kita tuju saat kembali, dan tempat meminta segala kebaikan dan kebahagiaan.
Rubrik
Nafsiyah