Tawakal Kepada Allah dalam Berjuang


Tawakal berasal dari lafal tawakkala-yatawakkalu-tawakkul[an]. Maknanya, menjadikan pihak lain sebagai wakîl, yakni wakil seseorang dalam urusan tertentu.

Imam al-Alusi (w. 1342 H) dalam Rûh al-Ma’âni (V/164) mendefinisikan tawakkal sebagai sikap menampakkan kelemahan dan ketergantungan pada pihak lain, serta merasa cukup hanya kepadanya dalam melakukan aktivitas yang dia perlukan. Sifat ini membuahkan ketenangan pada jiwa orang yang bertawakal.

Tatkala ketawakalan digambarkan sebagai wujud keyakinan kepada pihak yang berkuasa atas segala urusan, maka akidah Islam meniscayakan ketawakalan hanya boleh ditujukan pada Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya. Tuntutan tersebut datang dalam bentuk perintah mutlak, tanpa syarat dan tanpa kecuali. Tak boleh dipalingkan kepada selain-Nya. Hal itu disimpulkan berdasarkan dalil-dalil qath’i (tidak multitafsir). Di antaranya: QS Ali ’Imran [3]: 159; 173, QS al-Furqan [25]: 58, QS at-Taubah [9]: 51; 129, QS ath-Thalaq [65]: 3, QS Hud [11]: 123, QS al-Anfal [8]: 49.

Allah SWT berfirman:

ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١٣

(Dia-lah) Allah. Tidak ada Sesembahan selain Dia. Hanya kepada Allah, hendaknya kaum Mukmin bertawakal (QS ath-Taghabun [64]: 13).

Kandungan ayat yang agung ini sejalan dengan makna ayat pertama dan kedua dalam QS al-Ikhlash. Ayat pertama berbicara mengenai Kemahatunggalan Allah. Ayat kedua berbicara tentang ketawakalan kepada-Nya. Ketawakalan merupakan konsekuensi logis dari keyakinan bahwa Allâh ash-Shamad (hanya Allah tempat bergantung).

Allah SWT berfirman:

قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوۡلَىٰنَاۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٥١

Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah Allah tetapkan untuk kami. Dialah Pelindung kami. Hanya kepada Allah kaum Mukmin harus bertawakal.” (QS at-Taubah [9]: 51).

Frasa ’alaLlâhi dalam dua ayat di atas yang dikedepankan dari kata kerjanya (taqdîm ’alâ al-fi’l) mengandung faidah qashr (pengkhususan). Maknanya, ketawakalan hanya layak ditujukan kepada Allah. Ini hukumnya fardhu. Kefardhuan ini diperjelas oleh berbagai petunjuk yang tegas (qarînah jâzimah) berupa pujian Allah kepada kaum Mukmin yang bertawakal kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:

فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ

Jika kamu telah bertekad, bertawakallah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai kaum yang bertawakal kepada-Nya (QS Ali ‘Imran [3]: 159).

Dalam ayat yang lainnya, Allah SWT memberikan ganjaran istimewa:

وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ ٣

Siapa saja yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Dia akan mencukupi (keperluan)-nya (QS ath-Thalaq [65]: 3).

Rasulullah saw. pun bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَاًنًا

Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Dia akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi burung rezeki; ia pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang (HR Ahmad, Ibn Majah dan al-Hakim).

Lantas, apakah ikhtiar bertentangan dengan tawakal? Bertawakal kepada Allah dan memenuhi kaidah kausalitas adalah perwujudan sempurna ketawakalan seseorang. Bahkan keduanya tak bertentangan. Bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Mencakup segala ikhtiar yang wajib dilakukan sesuai tuntunan syariah, kapan pun dan dimana pun, sebagaimana tuntunan dari baginda Rasulullah saw.


Tawakal: Kekuatan di Jalan Dakwah

Tawakal bahkan wajib dijadikan sebagai kekuatan dalam perjuangan. Apalagi tatkala dakwah telah sampai pada tahapan mengetuk pintu-pintu para pecinta dunia hingga mereka bergerak dengan kebimbangannya menjegal dakwah dan para pengembannya. Allah SWT berfirman:

ٱلَّذِينَ يَسۡتَحِبُّونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا عَلَى ٱلۡأٓخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَيَبۡغُونَهَا عِوَجًاۚ أُوْلَٰٓئِكَ فِي ضَلَٰلِۢ بَعِيدٖ ٣

(Itulah) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah serta menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh (QS Ibrahim [14]: 3).

Kalimat fî dhalâl[in] yang diikuti dengan sifat ba’îd[in] menggambarkan betapa mereka berada dalam kebimbangan; menggambarkan kerapuhan diri mereka, tak memiliki pijakan. Apakah para pejuang layak gentar menghadapi mereka yang lemah dan terpedaya? Sekali-kali tidak, bahkan wajib semakin kokoh berbekal keyakinan dan ketawakalan kepada Allah ’Azza wa Jalla:

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنٗا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ

(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sungguh manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu takutlah kalian kepada mereka.” Perkataan itu malah menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS Ali Imran [3]: 173).

Jawaban para pejuang pada masa Rasulullah saw. Ini adalah HasbunaLlâhu wa ni’mal Wakîl. Ini menunjukkan kekuatan iman yang terucap di lisan dan tersirat dalam sikap teguh di atas jalan kebenaran. Keimanan bahwa Dialah Allah Yang Mahakuasa, menguasai segala urusan manusia, hingga tak ada yang layak dijadikan pijakan kecuali Allah. Bukankah Allah Mahatinggi atas seluruh hamba-Nya (QS al-An’am [6]: 61)?

Al-Hafizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dalam Badâi’i al-Fawâ’id (II/464-465) menggambarkan, “Tawakal kepada Allah termasuk sebab yang paling kuat untuk melindungi diri seorang hamba dari gangguan, kezaliman dan permusuhan orang lain yang tak mampu dia hadapi sendiri. Allah akan memberikan kecukupan kepada orang yang bertawakal kepada-Nya. Siapa saja yang telah diberi kecukupan dan dijaga oleh Allah maka tidak ada harapan bagi musuh-musuhnya untuk bisa mencelakakan dirinya. Bahkan ia takkan ditimpa kesusahan kecuali sesuatu yang lazim terjadi (dirasakan semua makhluk), seperti panas, dingin, lapar dan dahaga. Adapun gangguan yang dikehendaki oleh musuhnya selamanya takkan menimpa dirinya.”

Catatan emas perjuangan Rasulullah saw. dan sahabatnya menjadi teladan terbaik dalam bertawakal kepada Allah. Allah SWT pun memenangkan mereka meskipun orang-orang kafir benci dan berupaya menjegal Din-Nya. Allah SWT tetap menyempurnakan Din-Nya:

يُرِيدُونَ لِيُطۡفِ‍ُٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan ucapan-ucapan mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya (QS ash-Shaff [61]: 8).

Frasa nûraLlâh adalah bahasa kiasan (isti’ârah) dari Din Allah. Lafal nûr (cahaya) yang dinisbatkan (idhâfah) kepada Allah (ismuLlâh al-A’zham) menguatkan kemustahilan bagi siapapun untuk memadamkan cahaya-Nya. Kegagalan mereka pun Allah gambarkan di balik kalimat yurîdûna li yuthfi’û (mereka hendak memadamkan), kata yurîdûna menunjukkan bahwa tujuan jahat mereka menghancurkan Din Allah tak akan terealisasi. Sekadar kemauan belaka (irâdah), namun realisasinya takkan tercapai. Apalagi Allah SWT menegaskan bahwa fâ’il (subjek) penyempurna Din tersebut adalah Allah sendiri, diungkapkan dalam bentuk ism “mutimmu nûrihi”, menegaskan kepastian tegaknya Din Allah di muka bumi. Yakinlah!

Kita, sebagaimana ungkapan al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) dalam Al-Âdâb al-Syar’iyyah (I/234):

نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا * تبَْنِي، وَنَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلُوْا

Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun/Kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.

WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; (Penulis Buku “InnaLlâha Ma’anâ”)]

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال