Nama lengkapnya adalah Said bin Jubair al-Asadi al-Kufi. Ia dijuluki “Abu Abdillah”. Ia merupakan keturunan Habasyah (Ethiopia). Tinggal di Kufah (Irak). Tidak ada seorang pun dari para sejarahwan atau penulis biografinya yang mengetahui secara pasti tempat dan waktu kelahirannya. Mereka hanya menjelaskan bahwa ia mati syahid pada bulan Sya’ban tahun 95 Hijrah. Namun demikian, Imam adz-Dzahabi menegaskan bahwa dia dilahirkan pada masa Kekhalifahan Abu Hasan Ali bin Abi Thalib.
Secara fisik Said bin Jubair memiliki badan yang kekar. Sempurna bentuk tubuhnya. Lincah gerak-geriknya. Cerdas otaknya. Jenius akalnya. Antusias terhadap kebajikan dan selalu menjauhi dosa. Meski hitam warna kulitnya, keriting rambutnya dan asalnya dari Habsyi, tidaklah jatuh rasa percaya dirinya untuk menjadi manusia yang istimewa. Apalagi umurnya masih muda.
Said bin Jubair sadar betul bahwa ilmu adalah jalan yang bisa mengantarkan kepada Allah SWT. Takwa adalah jalan yang menuntun dirinya ke surga. Oleh sebab itu, ia menjadikan takwa di sisi kanannya dan ilmu di sisi kirinya. Keduanya dipadukan dengan ikatan yang erat. Dengan dua hal tersebut ia mengarungi samudra kehidupan tanpa berleha-leha dan berpangku tangan.
Said bin Jubair mengambil riwayat hadis sekaligus berguru kepada sejumlah Sahabat. Di antaranya Ibnu ‘Abbas, Sayidah ‘Aisyah, ‘Adi bin Hatim, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Mas’ud al-Badri, Ibnu ‘Umar, Ibnu Zubair, adh-Dhahak bin Qais, Abu Sa’id al-Khudri, dan lain sebagainya. Namun, guru utamanya adalah Abdullah bin Abbas ra. Bahkan Said bin Jubair mengikuti Abdullah bin Abbas layaknya bayangan yang selalu mengikuti orangnya. Dari Sahabat inilah ia menggali tafsir al-Quran, hadis-hadis dan seluk-beluknya.
Selanjutnya, ia mengembara dan berkeliling di berbagai negeri Muslim untuk mencari ilmu. Karena itulah kelak Said bin Jubair menjadi salah seorang terkemuka dari generasi Tâbi’în. Ia tinggal di Kufah. Menurut Qatadah, Said Ibn Jubair adalah seorang Tâbi’în yang paling alim dalam bidang tafsir al-Quran. Karena ketinggian ilmunya sehingga ia digelari Jahbadz al-‘Ulamâ’ (Pemuka ulama). Ia adalah seorang imam dan al-hafizh (hapal ratusan ribu hadis). Sufyan ats-Tsauri lebih mendahulukan dirinya daripada Ibrahim an-Nakha’i.
Karena itu sebagai seorang ulama besar, Said bin Jubair memiliki banyak murid. Sebut saja Abu Shalih al-Samman, Adam bin Sulaiman, Abu ‘Amr, Habib bin Abi Tsabit, Sulaiman bin Abi al-Mughirah, Abdullah bin Said (anak), Abdul Malik bin Abu Sulaiman dan masih banyak lainnya (Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, 4/322-324) .
Selain itu, Said bin Jubair adalah ahli ibadah. Jika beliau shalat sendirian, adakalanya beliau mengkhatamkan al-Quran dalam sekali shalat. Saat membaca ayat-ayat yang berisi ancaman, menjadi gemetarlah badannya, gentar hatinya dan bercucuran air matanya. Kemudian ia mengulang-ulang ayat tersebut sampai adakalanya hampir pingsan. Ia memang seorang ahli ibadah yang banyak menangis karena Allah SWT. Al-Qasim al-A’raj berkata, ”Pernah pada suatu malam Said banyak menangis hingga penglihatannya rabun.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, 4/333).
Said juga terkenal sebagai seorang pemberani. Ia termasuk salah seorang penentang penguasa Irak yang terkenal zalim waktu itu, Hajjaj bin Yusuf. Karena keberaniannya menentang Hajjaj dalam menegakan kebenaran, ia dihukum mati. Dipancung kepalanya. Hajjaj membunuh Said pada tahun 95 H (pada usia 49 tahun). Kepala Said terpisah dengan raganya.
Sebelum wafat, Said disiksa oleh al-Hallaj. Dia bisa saja mendoakan keburukan terhadap al-Hallaj. Namun, hal itu tidak ia lakukan. Bahkan doa yang ia panjatkan adalah agar dirinya menjadi orang terakhir yang dibunuh oleh al-Hallaj. Allah SWT pun mengabulkan doanya. Tak lama setelah membunuh Said bin Jubair, Hajjaj meninggal. Sejak itu Allah SWT membebaskan kaum Muslim dari keburukan dan kezaliman Hajjaj.
Sebagai ulama besar yang ahli ibadah, zuhud dan wara, tentu banyak nasihat dan ucapan Said bin Jubair yang layak dijadikan pelajaran. Salah satu yang layak dijadikan pelajaran, ia pernah ditanya, “Apakah yang disebut dengan khasyyah (takut) itu?”
Ia menjawab, “Khasyyah (takut) adalah bahwa engkau takut kepada Allah SWT hingga rasa takutmu menghalangi dirimu dari perbuatan maksiat kepada-Nya.”
Ia juga pernah ditanya tentang zikir. Ia menjawab, “Zikir hakikatnya adalah taat kepada Allah SWT. Siapa saja yang memenuhi seruan Allah SWT dan menaati-Nya, berarti dia hakikatnya sedang berzikir kepada-Nya. Adapun orang yang berpaling dari Allah SWT dan tidak mau taat kepada-Nya maka dia bukanlah termasuk ahli zikir meski dia bertasbih dan membaca al-Quran semalam suntuk.”
Dalam Kitab Az-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal juga mencatat sebuah riwayat tentang pertanyaan seseorang kepada Imam Said bin Jubair. Ia pernah ditanya, “Siapa orang yang paling banyak ibadahnya kepada Allah SWT di antara manusia?”
Ia menjawab, “Seseorang yang melakukan dosa. Kemudian setiap kali dia teringat dosanya, dia memandang rendah amalnya.” (Ahmad bin Hanbal, Az-Zuhd, hlm. 314).
Betapa mulia sosok Said bin Jubair. Semoga kita bisa meneladani sosok mulia ini.
Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]
Rubrik
Ibrah