Akhir abad 20 dan awal abad 21, dunia memasuki era baru, yakni era informasi, Era ini ditandai dengan pergeseran dari produksi berbasis industri menuju produksi berbasis informasi dan komputerisasi. Media massa pun memasuki era baru, yakni era konvergensi. Di dalamnya ada gabungan antara computing, communication, dan content.
Tak ada yang Netral
Kendati informasi sangat banyak, masyarakat masih membutuhkan informasi yang benar sesuai data, fakta dan terverifikasi oleh media mainstream. Media mainstream masih menjadi garda terdepan sebagai sumber informasi yang valid bagi masyarakat. Alasannya, dalam persepsi masyarakat dan persepsi yang dibangun oleh kalangan media, media mainstream memiliki aturan main yang sangat ketat dalam proses penyajian berita. Kelayakan sebuah informasi untuk diberitakan menjadi konsumsi publik melalui proses panjang sehingga dapat dipertanggungjawab-kan. Para jurnalis di media mainstream umumnya para profesional dengan pendidikan cukup memadai dan diberi pembekalan khusus tentang etika jurnalistik. Mereka umumnya tergabung dalam serikat profesi yang diikat oleh kode etik. Jurnalis media mainstream bekerja mencari, mengolah dan menyebarkan informasi dengan kerangka etis. Mereka mengabarkan fakta, bukan fantasi.
Media massa tidaklah netral. Mereka memiliki apa yang disebut sebagai agenda setting. Menurut Teori Penentuan Agenda (Agenda Setting Theory), media massa merupakan pusat penentuan kebenaran serta pembentuk persepsi, opini publik, dan kesadaran atas sebuah isu atau masalah. Berdasarkan teori yang pertama kali dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) dengan konsep “The World Outside and The Picture in Our Head” ini, Bernard Cohen (1963) menyebut: “The mass media may not be successful in telling us what to think, but they are stunningly successful in telling us what to think about”. (Media massa mungkin tidak berhasil dalam memberi tahu kita apa yang harus kita pikirkan, tetapi media sangat berhasil dalam memberi tahu kita tentang kita harus berpikir tentang apa).
Melalui pemahaman atas teori ini, kita menjadi tahu bahwa media massa bukanlah sumber kebenaran. Apalagi bila media massa ini dikuasai oleh orang-orang jahat atau tidak berpihak pada ideologi Islam.
Dalam Genggaman Kapitalis
Media terhubung dengan pemilik modal. Bisnis media pun menjadi bisnis yang menggiurkan bagi para konglomerat. Tak ayal para kapitalis merambah bisnis media ini sejak lama. Ada satu prinsip yang menjadi dasar: siapa yang menguasai media, dia akan menguasai dunia. Itulah mengapa seiring dengan penguasaan dunia oleh para kapitalis, mereka juga menguasai media massa dunia.
Berdasarkan data theunjustmedia.com, ada enam perusahaan milik taipan Yahudi menguasai sekitar 96 persen media sejagat. Keenam perusahaan ini adalah AOL Time Warner, The Walt Disney Co., Bertelsmann AG, Viacom, News Corporation dan pendatang baru Vivendi Universal.
Gerald Levin adalah pemilik AOL Time Warner dengan jumlah pekerja 39 ribu dan pendapatan saban tahun USD 31,8 miliar. Konglomerasi ini antara lain memiliki 12 perusahaan, termasuk Warner Bros, Hanna-Barbera Cartoons dan bioskop multipleks di 12 negara. Mereka juga menguasai 29 televisi berbayar beroperasi mulai dari Polandia hingga Brasil, termasuk CNN dan Time Warner Cable dengan 13 juta pelanggan di seantero Amerika Serikat. AOL Time Warner juga menerbitkan 33 majalah, termasuk Time dan Forbes, dengan 120 juta pembaca.
The Walt Disney Company dimilik oleh Michael D Eisner, juga seorang Yahudi. Konglomerasi memiliki 120 ribu karyawan ini menuai USD 23,4 miliar pertahun. Perusahaan ini di antaranya menaungi The Disney Channel beroperasi di delapan negara dan ESPN siaran mereka mencakup 165 negara di Asia, Eropa, dan Amerika Latin. Mereka mempunyai sejumlah tempat hiburan Disneyland di sejumlah negara.
Bertelsmann AG adalah konglomerasi dengan 64.800 pekerja dan menghasilkan USD 16,3 miliar tiap tahun. Perusahaan induk ini milik Dr. Thomas Middlethof. Pada tahun 1921, Bertelsmann cabang Jerman merupakan penyumbang dana terbesar buat pasukan elite Nazi, SS (Schutzstaffel) berarti skuadron pelindung. Mereka juga menjadi pencetak seluruh dokumen selama rezim Adolf Hitler berkuasa.
Selain itu ada Sumner Redstone, lahir dengan nama Murray Rothstein, mempunyai Viacom. Konglomerasi ini mempekerjakan 126.810 karyawan dengan penghasilan tahunan USD 12,6 miliar. Viacom melanggar sejumlah beleid soal kepemilikan media setelah membeli jaringan televisi CBS. Sepekan kemudian, Senator John McCain yang pro-Israel mengusulkan undang-undang itu diubah.
News Corporation juga ikut menguasai media dunia. Konglomerasi kepunyaan Rupet Murdoch ini mempekerjakan 50.820 orang dan berhasil meraup USD 13,5 miliar setiap tahun. Perusahaan ini memiliki televisi kabel FOX News dan jaringan FOX TV, terbesar di seantero Amerika Serikat dengan 22 stasiun. Mereka juga mempunyai surat kabar the New York Post di Amerika, the Times, the Sun dan the News of the World di Inggris.
Yahudi lainnya adalah oleh Jean Marie Messier, pemilik Vivendi Universal. Ini tergolong perusahaan baru yang ingin menyaingi AOL Time Warner.
Saat ini terdapat tiga jaringan televisi terbesar sejagat. Ketiganya dimiliki oleh konglomerat Yahudi, yakni ABC (Leonard Goldenson), CBS (William Paley kemudian Lawrence Tisch) dan NBC (David Sarnoff dan kini dipegang putranya, Robert).
Tiga surat kabar terbesar di dunia juga kepunyaan Yahudi, yakni the New York Times, the Wall Street Journal dan the Washington Post. Ketiga koran ini menentukan mana layak berita atau tidak di tingkat nasional dan internasional.
Bisa dibayangkan bagaimana opini dunia jika para konglomerat dunia ini memiliki agenda setting atas produk informasi mereka. Patut dicatat, para pemilik media ini tidak hanya sekadar berbisnis demi meraih keuntungan ekonomi. Mereka juga bagian dari kekuasaan global untuk menguasai dunia. Jaringan berita mereka menyebar hampir ke seluruh negara.
Inilah mengapa dalam sejarah, keberadaan media ini selalu terkait dengan politik. Amerika Serikat sebagai negara adidaya senantiasa menggunakan media dalam propagandanya, khususnya menyangkut kebijakan politik luar negeri.
Media selalu mendukung kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Bahkan orang-orang di belakang media ini yang sebenarnya berkuasa atas kebijakan Amerika. Mereka tidak saja berkuasa secara ekonomi, tetapi juga politik.
Hubungan antara politik, ekonomi dan media ini bisa dibuktikan pada masa pemerintahan presiden ke-40 AS, Ronald Reagan. Perusahaan General Electric (GE) adalah pendukung total Reagan. Charles Wilson (pimpinan GE) menjadi juru bicara perusahaan untuk pro perang. Bahkan GE memberi panggung Reagan bertajuk “GE Theater”.
GE sendiri mempunyai beberapa stasiun televisi, termasuk NBC. Jadilah panggung politik berkolaborasi dengan perusahaan dengan didukung media. Sebagaimana diketahui, GE adalah kontraktor militer terbesar ketiga di AS yang meraup miliaran dolar pertahun. Mereka terlibat memproduksi bagian-bagian senjata nuklir AS, mesin pesawat jet militer dan peralatan elektronik untuk Pentagon.
Bukan hanya GE, perusahaan-perusahaan besar AS berlomba meraih keuntungan dari kebijakan politik AS. Perusahaan-perusahaan itu berambisi mempunyai jaringan televisi yang dianggap mampu mewujudkan mimpinya. Tercatat NBC dimiliki GE, CBS (Viacom), ABC (Disney), Fox (Ropert Murdoch) dan CNN (Time Warner). Bahkan anggota direktur utama mereka juga menjadi direksi perusahaan pembuat senjata. Misalnya Boeing, Coca Cola, Chevron, Xerox, Philips Morris, dan lain-lain. Jadi, koalisi antara politik, perang, dan media bukan sesuatu yang aneh di AS.
Dalam buku yang aslinya berjudul The Spektakular Achievements of Propaganda karya Noam Chamsky diungkap sejarah bagaimana sebuah media, khususnya media massa, digunakan untuk mengatur, melawan dan menguasai opini publik. Seperti yang terjadi pada saat pemerintahan Adolf Hiltler. Ia menggunakan media sebagai alat untuk propaganda pada Perang Dunia II. Lalu Presiden Amerika seperti W Wilson menggunakan media untuk memenangkan pemilihan umum pada tahun 1916. George Bush menggunakan media sebagai alat untuk menggiring opini untuk menutupi kegagalan dia dalam menangani masalah pendidikan, kemiskinan hutang negara.
Dalam buku ini disebutkan bahwa para penguasa membangun propaganda lewat media massa untuk menggiring opini publik dan membangun sebuah citra. Sebabnya, siapa yang dapat membangun sebuah citra, ia akan mendapatkan legitimasi dan kepercayaan publik untuk melakukan segala kepentingan-kepentingannya. Padahal kepentingannya tersebut terkadang kontraduktif dengan kepentingan publik. Namun, karena media memolesnya dengan apik membuat kepentingan yang kontraproduktif tersebut menjadi bias di masyarakat.
Louis Althusser (2008) berpendapat bahwa media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Media merupakan alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa. Pendapat Althusser tersebut bisa menggambarkan betapa besarnya kekuatan media di era konvergensi ini untuk memengaruhi publik atau masyarakat di bidang politik atau mempertahankan kekuasaan.
Manipulasi Media
Media massa menjadi alat manipulasi opini di tengah masyarakat. Sebuah survei yang dilakukan oleh Oxfort Internet Institute (OII) pada 2019-2020 yang dipublikasikan dalam https://comprop.oii.ox.ac.uk/publications/ dengan judul, “Social media manipulation by political actors an industrial scale problem,” mengungkap, kampanye manipulasi media sosial yang terorganisir ditemukan di masing-masing dari 81 negara yang disurvei, naik 15% dalam satu tahun, dari 70 negara pada 2019. Pemerintah, perusahaan hubungan masyarakat dan partai politik menghasilkan informasi yang salah dalam skala industri, menurut laporan itu. Ini menunjukkan disinformasi telah menjadi strategi umum, dengan lebih dari 93% negara (76 dari 81) melihat disinformasi digunakan sebagai bagian dari komunikasi politik.
Pada Desember 2015, Mark Zuckerberg berbicara dengan lantang dan bangga menentang kebencian anti-Muslim. Namun, empat tahun kemudian, Facebook beralih dari meyakinkan Muslim menjadi memperkuat kebencian dan kefanatikan. Zuckerberg telah mengizinkan Facebook, yang digambarkan aktor Sacha Baron Cohen sebagai “mesin propaganda terhebat dalam sejarah”, untuk digunakan menargetkan dan mempersekusi beberapa komunitas Muslim yang paling rentan di Bumi.
Di Indonesia, Facebook selalu menyensor tulisan terkait dengan kata ‘khilafah’ dan ‘Habib Rizieq Syihab’—salah satu tokoh Muslim berpengaruh—serta gerakan-gerakan Islam. Pada Oktober 2019, laporan oleh jaringan aktivis nirlaba Avaaz menuduh Facebook telah menjadi “corong kebencian” terhadap umat Muslim di negara bagian Assam di India timur laut, yang hampir dua juta orang dan banyak dari mereka Muslim, dicabut kewarganegaraannya oleh pemerintah nasionalis Hindu sayap kanan Perdana Menteri India Narendra Modi. Pada Agustus 2019 platform itu malah menerima iklan dari pemerintah Cina yang dirancang menimbulkan keraguan tentang pelanggaran hak asasi manusia” terhadap Muslim Uighur. Anehnya, iklan ini tak ditolak oleh Facebook. Facebook pun terbukti menjadi tuan rumah bagi grup-grup yang secara terbuka memusuhi umat Islam, seperti ‘Death To Islam Undercover’ di Amerika, tulis laporan Southern Poverty Law Center, 2018.
Secara global, Facebook selalu menutup akun Amir HT Syaikh Atha Abu Rastah bila ketahuan sehingga akun tersebut selalu berganti akun baru agar bisa tetap eksis. Namun demikian, platform tersebut justru membuka lebar bagi kelompok-kelompok LGBT.
Sikap politik Facebook ini sama dengan Instagram (IG) juga Twitter. Mereka semua pro Israel dan anti-Palestina. Pada pertengahan 2021, ketiga platform ini dengan menghapus/menangguhkan akun dan postingan warga Palestina saat terjadi ketegangan di permukiman Syeikh Jarrah di Yerusalem Timur. Demikian lapor media online Middle East Eye. Ketiga platform itu pun menghapus tagar #SaveSheikhJarrah di media sosial. Mereka semua pro Israel.
Apa yang terjadi ini sesuai dengan paradigma yang dikemukakan Peter D Moss (1999). Ia mengatakan bahwa wacana media massa merupakan konstruk kultural yang dihasilkan oleh ideologi. Karena itu berita dalam media massa menggunakan frame atau kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Lewat narasinya, media massa menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: siapa pahlawan dan siapa penjahat; apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang patut dan apa yang tidak patut dilakukan seorang elite, pemimpin, atau penguasa; tindakan apa yang disebut perjuangan, pemberontakan, terorisme, pengkhianat; isu apa yang relevan atau tidak; solusi apa yang harus diambil dan ditinggalkan.
Media Ideologis
Tidak ada media yang tidak memiliki agenda setting. Semua menginformasikan sesuatu berdasarkan keyakinan yang dimiliki para pengelolanya. Bahkan jurnalis yang bekerja pun dalam kondisi tertentu harus menyajikan informasi berdasarkan politik media pengelolanya. Setiap media memiliki sudut pandang yang khas dan itu terus dipegang hingga ada perubahan kebijakan berikutnya yang biasanya dipengaruhi oleh para pemilik media itu.
Dalam kacamata media Barat, visi mereka tak pernah lepas dari hegemoni Kapitalisme global atas dunia. Media ada untuk menopang keberadaan hegemoni dan imperialisme Barat atas Dunia Islam. Jadi sangat tidak mungkin media massa Barat memberikan ruang bagi kebangkitan Islam. Sebaliknya, media Barat akan selalu menghalang-halangi kebangkitan Islam di seluruh dunia karena mereka tahu bahwa hal itu akan menghancurkan peradaban mereka.
Karena itu media massa Barat tidak boleh menjadi sandaran kaum Muslim dalam mencari sumber kebenaran informasi. Patut diingat, media massa Barat merupakan bagian dari propaganda Barat mempertahankan hegemoni dan ideologi mereka atas Dunia Islam. Mereka akan selalu menjaga dan menyebarkan ideologi Kapitalisme ini dan mencegah serta menghancurkan ideologi Islam dengan segala teknik pemberitaan/penginformasian.
Media lokal setali tiga uang dengan media Barat. Keberadaannya terkait dengan eksistensi kekuasaan para penguasa yang notabene adalah antek-antek Barat di Dunia Islam. Hampir semua media lokal pun punya cara pandang yang sama dengan media Barat, yakni cara pandang kebebasan, tetapi kebebasan yang sesuai dengan politik media itu sendiri, bukan berlaku bagi semua termasuk Islam. Apalagi di era sekarang. Media-media lokal terafiliasi dengan media Barat. Fakta menunjukkan, opini-opini yang mereka sebar luaskan senada dan seirama bila itu terkait dengan Islam, yakni menempatkan Islam dan kaum Muslim sebagai musuh. Media lokal juga tak berkutik di bawah ketiak rezim. Mereka harus mau tunduk dan pro rezim jika ingin eksistensinya terjaga.
Alhasil, media Barat dan lokal sekali pun berada dalam satu koridor ideologi Kapitalisme. Mereka tidak menginginkan tampilnya Islam dalam kancah politik dan memimpin dunia. Inilah bahaya media massa baik di Barat maupun lokal yang pro rezim korup. WalLâhu a‘lam.
Rubrik
Internasional