Khilafah: Negara Ri’âyah, Bukan Jibâyah


Terhitung mulai 1 Maret 2022 warga yang tidak terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak akan mendapatkan pelayanan administrasi publik (Briantika, 2022).

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, JKN atau Kartu BPJS Kesehatan menjadi syarat yang harus dilampirkan untuk mengurus administrasi publik. Berdasarkan peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 Pasal 9 ayat (2) sanki tidak mendapatkan layanan publik yakni Izin Mendirikan Bangunan, Surat Izin Mengemudi, sertifikat tanah, paspor, atau Surat Tanda Nomor Kendaraan.

Bahkan Inpres Nomor 1 Tahun 2022 mengamanatkan kepada 30 Kementerian/Lembaga termasuk Gubernur, Bupati, Walikota untuk mengambil langkah-langkah strategis yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing untuk melakukan optimalisasi pelaksanaan Program JKN-KIS (Humas, 2022).

Seluruh kolaborasi tersebut merupakan upayanya mewajibkan setiap penduduk menjadi peserta JKN-KI. Ini artinya,secara bertahap semua urusan administrasi publik mulai dari tingkat RT sampai nasional akan mewajibkan pemohon untuk melampirkan kartu BPJS Kesehatan.

Hal tersebut terjadi karena Pasal 14 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, di antara prinsip jaminan kesehatan ialah kepesertaan bersifat wajib. Artinya, seluruh rakyat Indonesia wajib mengikuti program itu; dan kegotongroyongan.

Hingga 31 Desember 2021, peserta aktif BPJS sekitar 193 juta orang. Sekitar 40 juta orang belum mendaftarkan diri menjadi peserta jaminan kesehatan. Sekira 47 juta orang lainnya pernah daftar, tetapi menunggak atau dinonaktifkan. Persoalan kepesertaan ini masih 70 persen. Padahal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 98 persen rakyat Indonesia sudah ikut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (Rezkisari, 2022).


Jaminan Kesehatan: Kewajiban Negara

Dalam sistem Kapitalisme, untuk mendapat jaminan kesehatan, rakyat dipaksa membayar iuran. Sebaliknya, dalam Islam, jaminan kesehatan diperoleh oleh rakyat dari pemerintah secara gratis (cuma-cuma), alias tidak membayar sama sekali.

Dalam ajaran Islam, Negara wajib menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, tanpa membebani rakyat untuk membayar. Dalam Shahiih Muslim terdapat hadis dari Jabir bin Abdillah ra. yang berkata: Rasulullah saw. pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Kaab (yang sedang sakit) (HR Muslim).

Dalam hadis tersebut, Rasulullah saw. sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma. Caranya dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (An-Nabhani, 2009).

Terdapat pula hadis lain dengan maksud yang sama. Dalam Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahi-hayn karya Imam al-Hakim diriwayatkan: Zaid bin Aslam, dari ayahnya, berkata, “Aku pernah sakit parah pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Lalu Khalifah Umar memanggil seorang dokter untukku. Kemudian dokter itu menyuruhku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR al-Hakim, Al Mustadrak, 4/No. 7464).

Hadis ini juga menunjukkan bahwa Umar selaku Khalifah (kepala negara Khilafah Islam) telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis. Caranya dengan mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya (An-Nabhani, 2009).

Kedua hadis di atas merupakan dalil syariah yang sahih, bahwa dalam Islam jaminan kesehatan itu adalah kewajiban negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat untuk membayar, seperti dalam BPJS. Layanan kesehatan dalam Islam adalah hak rakyat, bukan kewajiban rakyat (Al-Jawi, 2015).


BPJS: Memalak Rakyat

BPJS haram hukumnya. BPJS yang haram itu kini secara bertahap mulai menjadi prasyarat untuk mengurus berbagai urusan administrasi publik. Padahal semestinya Negara menjamin rakyatnya hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Namun, di tengah situasi pandemi yang belum berakhir, masyarakat yang mempunyai keyakinan bahwa BPJS itu haram menjadi semakin terbebani. Hanya karena tidak punya BPJS Kesehatan mereka tidak bisa mendapatkan hak administrasi pelaya-nan publik. Apalagi jika sektor produktif yang bisa menggerakkan perekonomian nasional semuanya membutuhkan administrasi publik dengan mensyarakatkan untuk melampirkan kartu BPJS Kesehatan. Tentu kebebasan ekonominya akan terhambat karena tak memiliki BPJS Kesehatan.

Persyaratan dalam berbagai transaksi, termasuk jual-beli, tidak selamanya mesti dipenuhi. Jika ada yang bertentangan dengan syariah, persyaratan tersebut tidak boleh dipenuhi. ‘Aisyah ra. berkata bahwa Barirah (budak wanita dari kaum Anshar) pernah mendatangi Aisyah. Lantas ia meminta pada Aisyah untuk memerdekakan dia (dengan membayar sejumlah uang pada tuannya, disebut akad mukatabah, pen.). Aisyah mengatakan, “Jika engkau mau, aku akan memberikan sejumlah uang kepada tuanmu untuk pembebasanmu. Namun, hak wala’ (loyalitas)-mu untukku (wala’ adalah hak warisan yang jadi milik orang yang memerdekakan dirinya nantinya).

Lantas majikan Barirah berkata, “Aku mau, namun hak wala’-mu tetap untukku.”

Rasulullah saw. kemudian datang. Aisyah menceritakan apa yang terjadi. Beliau bersabda, “Bebaskan dia (Barirah). Namun, yang benar, hak wala’ adalah bagi orang yang memerdekakan.”

Rasulullah saw. pun berkata di atas mimbar:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللهِ مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ الله فَلَيْسَ لَهُ، وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ

Mengapa bisa ada kaum yang membuat suatu persyaratan yang menyelisihi Kitabullah. Siapa yang membuat syarat lantas syarat tersebut bertentangan dengan Kitabullah, maka ia tidak pantas mendapatkan syarat tersebut walaupun ia telah membuat seratus syarat (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dari hadis di atas bisa diambil pelajaran penting bahwa setiap persyaratan yang bertentangan dengan aturan Islam tidak boleh dipenuhi (Tuasikal, 2014).

Berdasarkan dalil tersebut, BPJS yang haram itu tidak absah dijadikan sebagai prasyarat dalam mengurus administrasi publik. Prasyarat tersebut juga menghalangi rakyat untuk mendapatkan hak pelayanan administrasi publik bagi yang tidak memiliki kartu BPJS kesehatan.


Negara Ri’aayah vs Negara Jibaayah

Dalam pandangan Islam, penguasa haruslah menjadikan negara sebagai ‘negara ri’aayah’ (negara pengayom), bukan ‘negara jibaayah’ (negara pemalak). Dalam suatu negara ri’aayah, penguasa melakukan pelayanan dan pengayoman terhadap rakyatnya. Penguasa laksana pengembala (raa’in) (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sebaliknya, dalam negara jibaayah, penguasa lebih merupakan pemalak bagi rakyatnya. Hubungan penguasa dengan rakyat laksana hubungan tuan dengan budaknya. Dalam negara jibaayah, negara gemar memalak rakyatnya dengan pajak mencekik dan aneka pungutan yang memberatkan; melepaskan tanggung jawabnya dalam urusan pendidikan dan kesehatan; mengharamkan subsidi sekalipun rakyatnya sudah jelas-jelas sengsara lagi menderita; memaksa rakyatnya untuk bertarung dalam pasar bebas, sekalipun mereka jelas lemah untuk berkompetesi.

Kezaliman negara bisa berlipat-lipat seperti itu karena sistem dan orangnya. Sistem yang dipakai di negeri ini adalah sistem demokrasi kapitalis yang rusak dan merusak. Pelaksana sistemnya juga sudah tidak punya nurani, bohong, khianat, zalim dan mengabdi pada kepentingan para kapitalis

Pemimpin yang zalim sangat dibenci oleh Allah:

وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ

Orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Diri-Nya adalah seorang pemimpin yang zalim (HR at-Tirmidzi).

Seorang pemimpin seharusnya mengerti tentang kondisi rakyatnya. Setia untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Bukan menindas dan menzalimi rakyatnya. Allah mengharamkan surga untuk pemimpin yang tidak setia kepada rakyatnya.

مَنِ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً ثُمَّ لَمْ يُحِطْهَا بِنُصْحٍ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الجَنَّةَ

Siapa saja yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan bagi dirinya surga (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sistem yang zalim akan melahirkan pemimpin yang zalim. Sistem zalim saat ini adalah Kapitalis-me. Kapitalisme memposisikan kesehatan bukan dalam perspektif pelayanan, tetapi perspekif tukang dagang. Kesehatan dijadikan sebagai komoditas dagangan sehingga rakyat diharuskan membiayai sendiri kesehatan mereka (Wardana, 2020).

Ini jelas berbeda dengan Islam. Politik ekonomi Islam harus memastikan betul-betul rakyat mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, terbaik dan gratis. Orientasi pelayanan sangat jelas dalam Islam. Kesehatan dalam pandangan Islam merupakan tanggung jawab Negara. Dalam Islam kesehatan rakyat menjadi tanggung jawab Negara. Kepala negara atau Khilafah menjamin setiap rakyat untuk mendapatkan layanan kesehatan dari negara dengan murah bahkan gratis. Islam mengharamkan layanan kesehatan dengan mekanisme asuransi dan pungutan dari rakyat yang memberatkan.

Untuk menjamin kesehatan rakyat itu Negara akan mengambil sumber pembiayaan langsung dari baitul maal atau APBN. Salah satu sumber APBN Islam berasal dari SDA milik umum seperti migas, minerba, emas dan lain-lain. SDA ini wajib dikelola oleh Negara dan haram hukumnya diserahkan ke swasta apalagi swasta asing kafir.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Muhammad Sholahuddin, Ph.D.]


Referensi:

Al-Jawi, S. (2015). BPJS Haram , Negara Wajib Jamin Kesehatan Gratis! Pesanggrahan Bersyariah. http://pesanggrahan-bersyariah.blogspot.com/2015/08/bpjs-haram-negara-wajib-jamin-kesehatan.html

Al-Nabhani, T. (1990). al-Nizam al-Iqtisadi fil Islam. Darul Ummah.

Al-Nabhani, T. (2009). Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu. Darul Ummah.

Al-Nabhâni, T. (2005). al-Shakhciyyah al-Islâmiyah. Darul Ummah.

Briantika, A. (2022). BPJS Kesehatan, JKN jadi Syarat Administrasi Publik: Antara Pemaksaan & Inovasi. Tirto.Id. https://tirto.id/jkn-jadi-syarat-administrasi-publik-antara-pemaksaan-inovasi-gph4

Humas. (2022). Ini Penjelasan BPJS Kesehatan soal Inpres Nomor 1 Tahun 2022. BPJS Kesehatan. https://www.bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/post/read/2022/2203/Ini-Penjelasan-BPJS-Kesehatan-soal-Inpres-Nomor-1-Tahun-2022

Rezkisari, I. (2022). Jadi Syarat Jual Beli Tanah, Ini Penjelasan Dirut BPJS Kesehatan. Republika. https://www.republika.co.id/berita/r7nams328/jadi-syarat-jual-beli-tanah-ini-penjelasan-dirut-bpjs-kesehatan

Tuasikal, M. A. (2014). Perjanjian yang Tidak Sah dalam Jual Beli. Rumasho.Com. https://rumaysho.com/7242-perjanjian-yang-tidak-sah-dalam-jual-beli.html

Wardana, A. W. (2020). Iuran BPJS Dinaikkan: Dzalim!!! MediaUmat.Id. https://mediaumat.id/iuran-bpjs-dinaikkan-dzalim/
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال