Insfrastruktur adalah hal penting dalam membangun dan meratakan ekonomi sebuah negara demi kesejahteraan bagi rakyatnya. Karena itu Khilafah wajib membangun insfrastruktur yang baik, bagus dan merata ke pelosok negeri. Dasarnya adalah kaidah, “Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib (Suatu kewajiban yang tidak bisa terlaksana dengan baik karena sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib).
Menjadikan rakyat sejahtera wajib atas Khalifah. Kesejahteraan tidak akan muncul jika tidak terpenuhi sarana dan prasarana menuju kesejahtearaan. Salah satunya adalah insfrastruktur untuk memperlancar distribusi dan pemenuhan kebutuhan rakyat. Karena itu adanya insfrastruktur yang bagus dan merata ke seluruh pelosok negeri menjadi wajib hukumnya. Kewajiban ini harus diwujudkan oleh Khalifah.
Berbekal spirit kewajiban inilah, di dalam buku The Great Leader of Umar bin al-Khaththab, halaman 314 – 316, diceritakan bahwa Khalifah Umar al-Faruq menyediakan pos dana khusus dari Baitul Mal untuk mendanai insfrastruktur, khususnya jalan dan semua hal ihwal yang terkait dengan sarana dan prasarana jalan. Tentu dana ini bukan dari dana hutang. Hal ini untuk memudahkan transportasi antara berbagai kawasan Negara Islam. Khalifah Umar juga menyediakan sejumlah besar unta secara khusus mengingat kala itu unta merupakan alat transportasi yang tersedia untuk mempermudah perpindahan bagi orang yang tidak memiliki kendaraan antar berbagai Jazirah Syam dan Irak.
Selain insfrastruktur jalan, Al-Faruq juga mendirikan pos (semacam rumah singgah) yang disebut sebagai Dar ad-Daqiq. Rumah singgah ini adalah tempat penyimpanan sawiq, kurma, anggur dan berbagai bahan makanan lain yang diperuntukkan bagi Ibnu Sabil yang kehabisan bekal dan tamu asing. Perbekalan yang layak bagi musafir serta keperluan air disediakan di jalanan di antara Makkah dan Madinah. Al-Faruq menguraikan petunjuk al-Quran yang menunjukkan bahwa pembangunan mengharuskan adanya insfrastruktur yang memberikan rasa aman dan tidak membuat musafir bersusah-payah membawa minuman dan perbekalan.1 Tentu semuanya gratis.
Khalifah Umar selanjutnya memberikan pengarahan-pengarahan kepada berbagai kabilah, pemimpin dan gubernur untuk program tersebut. Jabir bin Abdullah, dari ayahnya, dari kakeknya menuturkan, “Kami bersama Umar bin al-Khaththab tiba dalam umrahnya pada tahun 17 Hijrah. Petugas air yang ada di perjalanan meminta Umar agar memberikan izin untuk membangun perumahan-perumahan mereka di jalanan antara Makkah dan Madinah yang belum ada sebelumnya. Umar mengizinkan mereka dan mensyaratkan agar Ibnu Sabil dan orang tersesat lebih berhak mendapatkan air.”2
Khalifah Umar memastikan pembangunan insfrastruktur harus berjalan dengan orientasi untuk kesejahteraan masyarakat dan untuk ‘izzah (kemuliaan) Islam. Jikalau Negara harus bekerjasama dengan pihak ketiga, haruslah kerjasama yang menguntungkan bagi umat Islam. Bukan justru masuk dalam jebakan hutang, yang menjadikan posisi Negara lemah di mata negara lain/pihak ketiga.
Khalifah Umar melalui gubernur-gubernurnya sangat memperhatikan perbaikan berbagai jalan tatkala membuat perjanjian antara para gubernurnya dan berbagai negeri yang berhasil ditaklukkan. Saat Nahawand ditaklukkan, para pemilik sumur di kawasan Hardzan dan Dinar datang dan meminta. Hudzaifah memberikan jaminan keamanan. Sebagai imbalannya mereka membayar upeti. Kemudian Hudzaifah menulis surat perjanjian untuk setiap pemilih sumur berisi, “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Inilah yang diberikan oleh Hudzaifah bin Yaman untuk para pemilik sumur kawasan Dinar. Hudzaifah memberikan jaminan keamanan untuk diri, harta dan tanah mereka. Tidak boleh menyerang secara diam-diam. Mereka tidak terhalang menjalankan syariat mereka. Mereka berhak mendapatkan pembelaan selama mereka membayar upeti setiap tahunnya kepada gubernur mereka.”3
Selain itu, mereka berkewajiban menunjukkan jalan pada Ibnu Sabil, memperbaiki jalan, menjamu tentara Muslim saat melewati kawasan mereka, mengizinkan untuk singgah selama satu hari satu malam dan memberi nasihat. Bila mereka berbuat khianat dan mengubah perjanjian berarti tanggungan terbebas dari mereka. Qa’ qa’ bin Amru dan Nu’aim bin Muqrin menyaksikan penulisan perjanjian dan ditulis pada bulan Muharram tahun 19 H.4
Ini menunjukkan bahwa kerjasama dengan pihak ketiga dalam pembangunan insfrastruktur wajib menjaga ‘izzah kaum Muslim dan Islam. Tidak boleh bertekuk lutut dalam jebakan hutang. Apalagi tidak berdaya sama sekali atas tekanan pihak ketiga atau asing karena dana pinjaman untuk pembangunan insfrastruktur.
Obsesi al-Faruq sejak tahun ke-16 Hijriyah beralih ke perbaikan di berbagai daerah di Irak, membuat sungai dan memperbaiki jembatan.5
Saking besarnya perhatian Khalifah, Khalifah sampai membuat keputusan yang mungkin saat ini bisa dianggap irasional. Bagaimana tidak? Khalifah Umar mengamil keputusan untuk menggali lagi sungai yang sudah tertimbun oleh tanah. Hal ini terjadi pada saat Khalifah Umar bin al-Khaththab mengetahui bahwa salah satu sungai pernah mengalir di antara Nil di dekat Benteng Babilonia hingga ke Laut Merah. Sungai itu pernah menyatukan Mesir dan hijaz serta mempermudah perdagangan. Lalu Romawi membiarkan dan menutup sungai itu. Karena itu Al-Faruq menginstruksikan Gubernur Mesir Amru bin Ash untuk menggali kembali sungai itu. Amru bin Ash pun menggali kembali sungai tersebut sehingga memudahkan jalan antara Hijaz dan Fusthath, ibukota Mesir kala itu. Aktivitas perdagangan di antara kedua lautan itu pun kembali semarak sehingga bisa membawa kesejahteraan. Di areal sungai ini terdapat berbagai tempat wisata, permadani dan tempat persinggahan yang diberi nama Khalij Amirul Mukminin oleh Amru.6
Selain itu, Khalifah Umar meminta Gubernur Mesir menyediakan jamuan makanan, tentu dengan stok melimpah dan gratis di perjalanan menuju Madinah dan Makkah. Hal itu membawa manfaat bagi penduduk haramain. Hal itu terus berlaku hingga setelah masa Umar bin Abdul Aziz. Kemudian setelah itu para gubernur membiarkan dan meninggalkan jalanan tersebut hingga dipenuhi pasir dan akhirnya terputus dan menjadi terjal mulai dari arah padang pasir Qulzum.7
Amru bin Ash menggali kanal air sejauh tiga farsakh dari hulu hingga Basrah untuk memasok air dari daerah menuju Bashrah.8
Berbagai proyek tersebut direalisasikan mulai dari membuat sungai, teluk, memperbaiki jalan, membangun jembatan dan bendungan menghabiskan anggaran negara dengan jumlah besar pada masa Umar.9
Dengan spirit menerapkan syariah Islam, Khalifah Umar merealisasikan pembangunan insfrastruktur yang bagus dan merata di seluruh negeri Islam. Khalifah Umar membuat perencanaan keuangan dan pembangunan. Dengan itu pembangunan yang membutuhkan dana besar dapat dengan mudah dibangun tanpa melanggar syariah Islam sedikitpun (pinjam uang ribawi, dll), juga tanpa merendahkan martabat Islam dan kaum Muslim di mata pihak ketiga/asing.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]
Catatan kaki:
1 Ad-Daru as-Siyasy li Ash-Shafwah, halaman: 189, 190.
2 Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Mawardi, halaman 187-188
3 Asyhar Al-Masyahir Al-Islam, 2/342
4 Ibid.
5 Ibid
6 Al Faruq Umar, Syarqawi, halaman 245-255
7 Akhbar Umar, halaman 127
8 Ashr al-Khalifah ar-Rasyidah. Halaman 230
9 Ibid.
Rubrik
Tarikh