Keluarga yang penuh ketenangan, harmonis dan penuh kasih sayang merupakan dambaan setiap keluarga Muslim, bahkan setiap insan. Walaupun demikian, pada faktanya sering harapan ini tidak mudah untuk diwujudkan. Bahkan yang terjadi adalah rumah tangga yang berantakan. Apalagi sistem sekuler-kapitalis yang membelenggu masyarakat kita saat ini membuat kehidupan serba sempit. Berbagai krisis terus mewarnai kehidupan masyarakat. Kenyataan ini mau tidak mau berdampak pula pada kehidupan keluarga Muslim. Sulit untuk bisa menegakkan nilai-nilai Islam. Bahkan tidak sedikit ikut terjebak pada kehidupan yang materialistik individualistik. Tak sedikit pula yang turut goyah bahkan terguncang.
Beban ekonomi yang semakin berat dipikul oleh keluarga Muslim memberi andil munculnya ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Bahkan tidak sedikit yang berujung kepada perceraian. Hal ini tampak dari banyaknya kasus perceraian di negeri ini yang dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi.
Menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Tanah Air mencapai 447.743 kasus pada 2021. Meningkat 53,50% dibandingkan 2020 yang mencapai 291.677 kasus. Sebanyak 337.343 kasus atau 75,34% terjadi karena cerai gugat dan 110.440 kasus atau 24,66% karena cerai talak. Pertengkaran terus-menerus menjadi faktor perceraian tertinggi pada 2021, yakni sebanyak 279.205 kasus. Kasus lainnya dilatarbelakangi alasan ekonomi, ada salah satu pihak yang meninggalkan, KDRT, hingga poligami (Databoks.katadata.co.id, 28/2/2022).
Masalah ekonomi merupakan salah satu penyebab perceraian yang kerap dialami oleh masyarakat. Apalagi saat pandemi. Hidup dalam kemiskinan membuat stres. Tekanan finansial menyebabkan pertengkaran. Termasuk salah satu pemicunya karena posisi istri yang sukses menjadi wanita karir. Dalam hal ini, sering pihak suami merasa kurang percaya diri karena sang istri lebih banyak penghasilannya daripada dirinya. (Merdeka.com, 26.02.2022)
Akar Masalah
Kita masih ingat program Pemerintah terkait pengentasan kemiskinan yang diarahkan pada perempuan, yang dicanangkan beberapa tahun lalu, yakni program Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP). Program ini terus digaungkan. Perempuan dinilai lebih cakap dalam mengelola keuangan sehingga berpotensi untuk bisa membantu menurunkan angka kemiskinan keluarga maupun bangsa. Jargonnya: perempuan yang berpenghasilan mandiri akan meningkat posisi tawarnya dalam keluarga dan akan mampu menyelesaikan masalah rumah tangga. Program PEP ini mampu meneteskan air liur kaum perempuan negeri ini.
Namun, apa yang terjadi? Jauh panggang dari api. Sungguh jauh dari harapan. Iming-iming indah Kapitalisme nyatanya hanya janji indah untuk menjebak kaum perempuan. Mereka malah semakin terperosok menjadi bumper dan mesin ekonomi para kapitalis. Program ini justru semakin menjauhkan perempuan dari fungsi fitrahnya sebagai ibu generasi (ummu al-ajyal). Posisi perempuan sebagai tulang rusuk yang wajib dinafkahi justru digeser orientasinya sehingga menjadi tulang punggung nafkah keluarga. Mengapa dana ini tidak diserahkan kepada kaum bapaknya sebagai tulang punggung keluarga? Apalagi yang diopinikan adalah untuk pengentasan kemiskinan.
Bahayanya lagi, program PEP ini merupakan perpanjangan tangan dari sistem kapitalis yang mengukur produktivitas perempuan secara materi. Perempuan yang produktif dihormati dengan sejumlah nominal. Makin produktif, makin tinggi insentif. Makin besar penghasilan seorang perempuan, dia dianggap lebih mulia. Sebaliknya, seorang ibu rumah tangga dipandang tak produktif. Padahal jika orientasi kaum perempuan ini terpalingkan dari ummu al-ajyâl, maka bagaimana nasib institusi keluarga dan berikut generasi di dalamnya?
Tak aneh jika kemudian marak terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Perceraian, terutama kasus cerai gugat, terus meningkat. Kerusakan generasi semakin massif. Telah sangat nyata bahwa sistem kapitalis sekuler tidak mampu mengentaskan kemiskinan. Malah makin memperlebar jurang pemisah kaya-miskin. Bahkan memunculkan permasalahan baru. Di antaranya porak-porandanya bahkan hancurnya ketahanan keluarga.
Menjaga Ketahanan Keluarga
Sistem Islam berbeda dengan sistem Kapitalisme dalam seluruh aspek. Sistem Islam mengatur kehidupan berumahtangga, bermasyarakat dan bernegara. Penerapan Islam oleh Negara mewujudkan tidak hanya kesejahteraan rakyat, namun juga ketenteraman hidup setiap warganya.
Dalam Islam, sekalipun Negara tidak mencampuri urusan privacy sebuah keluarga, Negara memastikan setiap anggota keluarga mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik sehingga mampu melahirkan generasi berkualitas. Negara memastikan hal ini melalui serangkaian mekanisme kebijakan yang lahir dari syariah.
Negara memastikan setiap kepala keluarga memiliki mata pencaharian. Negara mewajibkan kepada pihak yang bertanggung jawab terhadap perempuan dan anak-anak untuk memenuhi hak mereka dengan baik. Islam mewajibkan kepada suami atau wali untuk mencari nafkah (QS al-Baqarah [2]: 233; QS an-Nisa’ [4]: 34). Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki agar dapat memberi nafkah pada keluarganya, memberikan pendidikan dan pelatihan kerja, bahkan jika dibutuhkan akan memberikan bantuan modal.
Perempuan tidak harus bekerja keluar rumah dan berpeluang mendapat perlakuan keji. Mereka tidak perlu berpayah-payah mendapatkan uang karena telah dipenuhi suami atau walinya. Islam akan menindak suami yang tidak memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik. Meski perempuan tidak bekerja, kedudukannya tidak menjadi rendah di depan suaminya dan berpeluang dianiaya. Sebabnya, istri berhak mendapatkan perlakuan baik dari suaminya dan kehidupan yang tenang. Kewajiban nafkah ada di pundak suami. Istri hanya wajib taat kepada suaminya. Pelaksanaan hak dan kewajiban suami-istri inilah yang akan menciptakan mawaddah wa rahmah.
Pelaksanaan aturan Islam secara kâffah oleh Negara akan menjamin kesejahteraan keluarga Muslim. Kemuliaan para ibu dan kaum perempuan sebagai pilar keluarga dan masyarakat demikian terjaga. Mereka mampu mengoptimalkan berbagai perannya, baik sebagai hamba Allah, istri, ibu, maupun anggota masyarakat. Peran politis dan strategis mereka pun berjalan dengan mulus. Pada akhirnya mereka akan mampu melahirkan generasi yang mumpuni, penjaga kemuliaan Islam dan kaum Muslim.
Para ibu bisa menikmati karunia Allah berupa kemuliaan menjadi ibu tanpa harus dipusingkan dengan kesempitan ekonomi, beban ganda, tindak kekerasan dan pengaruh buruk lingkungan yang akan merusak keimanan dan akhlak diri dan anak-anaknya. Tentu ini akan semakin memudahkan tugas perempuan sebagai pendidik generasi, sekolah pertama (madrasatul ûla) bagi anak. Semua itu telah dijamin pemenuhannya oleh Negara melalui penerapan seluruh hukum Islam yang satu sama lain saling mengukuhkan. Mulai dari sistem ekonomi, politik, sosial, pendidikan, sistem sanksi, dan sebagainya. Mereka akan merasakan betapa indah hidup dengan Islam dan dalam sistem Islam. Dengan itu mereka tak akan terpalingkan oleh ide-ide sekuler mana pun karena semua ide ini justru terbukti melahirkan kerusakan dan berbagai persoalan.
Khatimah
Senyatanya kebijakan yang lahir dari sistem kapitalis sekuler tidak pernah berpihak kepada rakyat, sebaliknya cenderung semakin membebani rakyatnya. Faktanya hal ini memberikan pengaruh terhadap kehidupan keluarga rakyatnya dan menguji ketahanan keluarga. Lalu, masihkah kita berharap pada sistem yang rusak ini?
Padahal telah sangat nyata bahwa ada sebuah sistem kehidupan yang datang dari Allah SWT, sang Pencipta Yang Maha Pengatur, Yang sangat paham tentang mahluk ciptaan-Nya. Itulah sistem Islam yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal yang pada akhirnya akan membawa pada ketentraman.
Jelaslah, ke-sakînah-an, kebahagiaan dan kesejahteraan hanya bisa diraih dalam keluarga yang menerapkan aturan Islam. Keluarga yang terikat syariah dalam menjalani biduk rumah tangganya akan menjadi keluarga Muslim pembangun peradaban.
Semua ini akan terwujud jika Khilafah tegak di muka bumi ini. Hanya Khilafah yang akan mampu menjamin ketahanan keluarga. Betapa Islam dengan hukum-hukum syariah yang diterapkan oleh Khilafah bakal mampu memposisikan umatnya, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa atau anak-anak, pada posisi yang mulia dan terhormat.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Najmah Saiidah]
Rubrik
Keluarga