Penulis: Dr. Muh. Sjaiful, SH., MH.
Siang itu hawa panas menggelayut Kota Madinah al Munawwarah. Angin gurun pasir menerpa garang, suasana yang memang tidak biasanya. Panas yang menyengat ubun-ubun tak menyurutkan kaum muslimin Kota Madinah melangsungkan berbagai aktivitasnya. Matahari siang itu lalu perlahan-lahan beringsut dari atas ubun-ubun penduduk Kota Madinah. Bila matahari telah turun pada posisi sepenggalan dari ubun-ubun, berarti waktu sholat dzuhur telah masuk. Dari kejauhan terdengar lantunan suara azan Bilal bin Rabah menggetar sudut-sudut Kota Madinah. Lantunan suara azan sangat indah.Tidak hanya indah tetapi juga membuat getar sukma orang-orang beriman kerinduan kepada Sang Pencipta, Allah rabbul izzati. Pantas Rasullullah SAW menunjuk Bilal yang bekas budak sebagai pengumandang azan lantaran keelokan suaranya. Bilal bin Rabbah meski berkulit hitam legam tetapi diberi karunia suara indah oleh Allah SWT yang barangkali hampir menyerupai suara emas Nabi Daud AS.
Rasulullah SAW diiringi beberapa sahabat bergegas menyambut suara azan Bilal bin Rabbah yang menyeruak nyaring asalnya dari Masjid Nabawi, sebuah masjid agung yang pertama kali dibangun oleh tangan Rasulllah sendiri semenjak memijakkan kakinya di tanah Yastrib. Rasullullah berjalan dengan langkah kaki yang kokoh menjejak bumi menyambut seruan azan. Sorot mata beliau menatap tajam menyusur bangunan masjid Nabawi dari jarak yang tidak cukup jauh. Badannya tegap diliputi kemuliaan serta cahaya kewibawaan Islam. Saat langkah kaki beliau menyusuri tanah gurun yang gersang dengan diiringi beberapa sahabat yang mulia. Tak jauh dari situ, seorang anak kecil sekitar usia sepuluh tahun berdiri tegak termangu menatap langkah-langkah kaki Rasullullah. Matanya tak berkedip sedikit pun menatap sosok manusia agung utusan Allah itu. Tiba-tiba sebersit kekaguman dan rasa cinta menerjang jiwa sukma anak itu menembus hingga menusuk ubun-ubunnya. Darah kerinduan dan kecintaannya kepada Rasulullah semakin menggelora ketika bola matanya menatap dalam-dalam wajah Rasulullah yang membias cahaya kedamaian. Hatinya sangat teduh menatap wajah agung itu. Hampir setiap malam ia tidak dapat memicingkan mata karena hati dan jiwanya diterjang oleh kerinduan yang begitu dalam kepada Rasulullah.
“Julaibib…Julaibib”, sebuah tepukan mengejutkan dirinya. “Oh iya paman”, jawab Julaibib menepis keterkejutannya. “Nak… waktunya makan, jangan terlalu banyak bermain. Udara Yastrib sekarang sangat panas, kamu bisa sakit”. Seorang ahli suffah yang bertanggung jawab mengasuh Julaibib, mengingatkan. “Paman ke masjid dulu menunaikan shalat berjamaah bersama Rasullullah, kamu makanlah dulu, nanti paman menyusul kemudian”. Tangan lelaki tua itu, berwajah tirus, masih tetap menggelayut dipundak Julaibib. Jubahnya yang sederhana terbuat dari bulu wol yang kasar melambai pelan diterpa angin gurun. Julaibib menganggukkan kepalanya lantas bergegas pergi. Namun satu hal yang semakin membuat batinnya membuncah, tatkala lelaki tua yang dipanggilnya paman itu, menyebut Rasulullah. Kerinduannya kepada Rasulullah semakin mengaduk-aduk perasaannya melebihi kerinduannya kepada mahluk manapun di seantero jagad raya.
Julaibib kini berlari-lari kecil menuruti titah pamannya. Julaibib pada galibnya adalah seorang anak kecil yatim piatu, ia hingga kini tak pernah tahu siapa ibu dan bapaknya. Ia ditakdirkan lahir tanpa nasab atau asal usul keturunan yang jelas. Ia beruntung karena seorang ahli suffah yang dermawan mau mengasuh dirinya. Hanya satu kelebihan yang dimiliki Julaibib, ia adalah seorang anak yang periang. Pembawaannya mudah bergaul dengan teman-teman sebayanya dikalangan anak-anak Anshor. Ia sangat suka membantu teman-teman sebayanya. Kehadirannya sangat disukai anak-anak keluarga Anshor sebab Julaibib sering mengisahkan cerita-cerita jenaka. Gadis-gadis Anshor pun tidak pernah risih dengan kehadiran Julaibib, maklum ia dianggap masih anak kecil. Julaibib ibarat sekuntum bunga harum yang menyerbak udara Kota Madinah. Ia penebar kebahagiaan dengan segudang cerita jenakanya.
Waktu perlahan-lahan beringsut menjejak dengan roda zaman. Julaibib bukan lagi anak kecil. Ia tumbuh sebagai lelaki dewasa. Namun takdir keberuntungan tidak berpihak kepadanya. Ia tidak tumbuh sebagai pemuda dewasa pada umumnya di Kota Madinah. Pemuda Yastrib umumnya tumbuh sebagai pemuda yang gagah, tampan, dan hidup berkecukupan. Sebaliknya, Julaibib tumbuh sebagai pemuda yang kurus, bertubuh pendek, wajahnya tidak menebarkan pesona seperti para pemuda Yastrib umumnya. Julaibib berwajah jelek, hidupnya sangat miskin, lagi pula nasabnya tidak jelas.
Seseorang yang lahir tanpa nasab, dalam tradisi Arab, merupakan aib terbesar dalam hidupnya. Meskipun Islam mabda telah mengaktualisasi dalam sistem kehidupan masyarakat Yastrib, namun tampaknya sisa-sisa jahiliyah yang meniscayakan kenasaban seseorang belum juga pupus dalam benak masyarakat Yastrib saat itu.
Julaibib berada dalam garis takdir yang tidak menguntungkan dalam pandangan masyarakat Yastrib. Orang tua para gadis Kota Madinah sepertinya menutup pintu rapat-rapat untuk menjadikan Julaibib sebagai anak mantunya. Julaibib adalah manusia yang tidak berkelas dalam pengertian para orang tua di Yastrib, nasabnya tidak jelas, hidupnya miskin dan terlunta-lunta, lagi pula wajah sedikitpun tidak memancarkan pesona ketampanan orang Arab umumnya. Para orang tua menganggap menerima pinangan Julaibib sama saja menebar aib dan menjatuhkan martabat keluarga dalam strata sosial masyarakat Arab. Semua pintu rumah orang tua di Kota Madinah menutup pintu bagi Julaibib. Para orang tua bakal menyuruh anak gadis mereka menyingkir bila tahu Julaibib menyusuri jalan-jalan setiap rumah di Kota Madinah.
Julaibib menyadari semua itu, tetapi ia tidak perduli dengan semua pandangan hina masyarakat Yastrib pada dirinya. Kecintaannya kepada Rasulullah dan Islam membuat jiwanya tenang. Ia sudah sangat bahagia dengan getaran keimanan yang menghujam jantung hatinya. Baginya pandangan meremehkan dari segelintir orang Yastrib hanya persoalan dunia. Dunia hanya merupakan lingkaran fatamorgana yang semuanya tidak lain adalah puing-puing kesementaraan yang akan ditinggal oleh mahluk manapun di jagad raya ini. Julaibib tidak perduli dengan semua itu, ia sudah sangat bahagia bila dicintai oleh pemilik cinta abadi dan sejati, Allah yang menciptakan dirinya beserta semesta dengan segala isinya. Julaibib tidak dapat melukiskan gelora kebahagiaannya bila Rasulullah kekasih Allah dan seluruh penduduk langit mencintainya.
Julaibib hanya ingin membuktikan betapa ia sangat mencintai Allah dan Rasulullah melebihi cintanya kepada yang lain termasuk sekalipun kepada dirinya sendiri. Ia buktikan cinta itu dengan menerima semua titah Rasulullah dengan segenap jiwa. Ia betul-betul membuktikan ketaatannya kepada Rasulullah. Hingga ketika memasuki usia baligh ia tidak ragu sedikitpun menerima Islam karena ia begitu memendam rasa cinta yang sangat mendalam kepada Rasulullah. Shalat jamaah tak pernah sedikit pun ia tinggalkan. Ia tidak mau luput sedikitpun dari shaf pertama di belakang Rasulullah. Semua titah Rasulullah ditaatinya tanpa merasa terpaksa, ia sangat ridha. Ia mencambuk nafsunya bila sedikit saja tersembul perasaan enggan, malas, dan pembangkangan. Diperanginya nafsunya itu dengan membatin “wahai nafsuku tidak cukupkah engkau takut dengan azab nerakanya Allah yang menyala-nyala?”.Kalau sudah begitu Julaibib akan bangkit dan dilecutnya rasa kantuk yang menggelayut pelupuk matanya. Ia bangkit memenuhi seruan jihad Rasulullah, lantas menyingsingkan lengan jubah, pedang digenggamnya erat-erat siap menebas tengkuk para cecenguk kafirun yang menghalang-halangi manusia taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Baginda Rasulullah SAW, memiliki firasat kenabian yang dapat menembus relung-relung hati Julaibib. Beliau mengerti betul cinta ikhlas Julaibib kepada Allah dan Rasulnya yang sangat dalam. Beliau tidak memandang Julaibib sebagai insan tak berguna sebagaimana pandangan sebahagian masyarakat Yastrib. Julaibib adalah manusia paling mulia yang sangat dirindukan penduduk langit. Tatkala beliau menatap wajah bersahaja Julaibib yang terbersit dalam batin Rasulullah “ia adalah aku dan aku bahagian dari dirinya”. Sebuah metafora yang melukiskan begitu kuatnya ketaatan dan keikhlasan Julaibib kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Tatkala Rasulullah duduk beradu pandang dengan Julaibib, mata Rasulullah menyusuri lekat-lekat wajah Julaibib dengan tatapan penuh cinta. Wajah seorang pemuda yang tidak begitu tampan namun Rasulullah menatapnya sebagai wajah yang memendarkan kemuliaan karena membias ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mata Julaibib juga balas menatap wajah mulia Rasulullah tetapi ia tidak begitu lama menatap wajah orang yang paling dicintainya itu. “Sungguh mulia wajahmu ya Rasulullah”, Julaibib membatin. Tidak henti-hentinya batin-nya bersalawat dan memuji Rasulullah. Allahuma Shalli ‘Ala Muhammad…”.
“Wahai Julaibib…”, suara mulia Rasulullah memecah kebisuan antara mereka berdua. “Tidak maukah engkau menikah saja Julaibib…?” Suara agung itu tanpa basi-basi langsung kepokok persoalan.
Batin Julaibib langsung terkesiap mendengar pertanyaan Rasulullah. Ia tidak berani menjawab dengan nada penolakan pertanyaan Rasulullah. Ia sangat takut memberikan penolakan sebab baginya itu berarti pembangkangan terhadap orang yang dicintainya. Hanya yang menjadi persoalan bagi Julaibib adalah kegundahan yang menyergap hatinya selama ini. Adakah orang tua di Yastrib yang mau menikahkan anak gadisnya dengan dirinya yang buruk rupa, miskin, tidak punya nafkah, tidak hanya itu, nasabnya juga tidak jelas. Inilah yang membuat Julaibib tidak pernah berpikir sedikitpun untuk menikah. Jangankan memikirkan pernikahan, terbersit sedikitpun untuk meminang seorang gadis muslimah di Kota Madinah, sudah pupus dari benaknya.
Julaibib mencari jawaban yang tepat untuk menyenangkan hati kekasihnya itu. “Wahai Rasulullah, adakah orang tua yang mau menikahkan anak gadisnya dengan diriku ini? Saya hanyalah seorang pemuda sebatang kara yang miskin, buruk rupa, tak punya nafkah, dan tak punya apa-apa untuk memberikan mahar”. Sebuah jawaban diplomatis yang keluar dari mulut lelaki shaleh. Kalimat retoris yang tentunya tidak mengecewakan Rasulullah.
Rasulullah dengan pandangan kenabian bukan tidak memahami kegundahan Julaibib, beliau sangat paham dengan apa yang menggelayut dalam benak sanubari Julaibib. “Akulah yang akan mencarikanmu dengan isteri yang shalehah dan cukuplah Allah yang membuat kalian bahagia dengan anugerah-Nya”.
Waktu berjalan terus yang bergulir bersamaan dengan usia zaman serta usia umat manusia. Waktu adalah sebuah misteri yang tertulis dalam kitab Lauh mahfuzh. Misteri waktu adalah sepenggal dari ilmunya Allah, Dia adalah Maha Berkehendak yang lebih mengetahui misteri dibalik waktu. Namun kematian bagi mahluk serta punahnya zaman merupakan kepastian mutlak yang tidak bisa ditolak oleh keangkuhan para mahluk di jagad raya ini.
Rasulullah belum mendapatkan satupun gadis Yastrib yang cocok untuk disandingkan dengan Julaibib, seorang lelaki shaleh yang dicintai penduduk langit.
Tiba-tiba Rasulullah teringat dengan Fulanah gadis jelita yang berasal dari keluarga terhormat dikalangan masyarakat Yastrib. Bukan karena Fulanah adalah gadis jelita dan berasal dari keluarga berkelas, tetapi Fulanah adalah seorang gadis yang sangat taat dan patuh dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Firasat kenabian Rasulullah menangkap getaran dari alam kewahyuan, bahwa Fulanah sangat cocok disandingkan dengan Julaibib. Bukan cocok lantaran kesebandingan fisik atau nasab dari kedua insan yang memang ilmu Allah telah menasbihkan keduanya sebagai dua insan yang sejodoh. Keduanya cocok karena kesetaraan serta kesederajatan ketaatan masing-masing kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tidak hanya itu, pernikahan Fulanah dengan Julaibib terkandung maksud politis dari Rasulullah. Beliau hendak membersihkan habis puing-puing peninggalan sistem jahiliyah yang menggerogoti masyarakat Arab ketika itu. Bila lembaga perkawinan masih tegak atas kerapuhan pilar-pilar jahiliyah. Padahal sejatinya, Islam telah menjadi mabda bagi tatanan kehidupan masyarakat Yastrib. Benar, cahaya Islam telah merasuk dalam relung-relung kehidupan masyarakat Yastrib, tetapi pandangan masyarakat Yastrib tentang lembaga perkawinan yang masih meniscayakan hubungan perkawinan antara wanita dan laki-laki atas dasar sekufu karena nasab dan harta, sangat tidak ditolerir oleh Rasulullah. Beliau hendak menghancurkan puing-puing pemikiran jahiliyah semacam itu. Islam menjadikan patron dalam kehidupan masyarakat bahwa kemuliaan bukan terletak pada orang Arab atau orang non-Arab, atau karena berdasarkan nasab dan kelimpahan harta yang dimilikinya. Patron kemuliaan pandangan Islam adalah dia yang paling baik takwanya disisi Allah SWT.
Rasulullah menggamit tangan Julaibib lantas bertemu dengan bapak Fulanah. “Wahai Abu Fulanah, nikahkanlah Aku dengan puterimu”.
Bapak Fulanah terperanjat gembira mendengar permintaan Rasulullah, ia tak menyangka kalau Rasulullah sendiri mau menjadi menantunya. “Sebuah kehormatan terbesar bagi saya wahai Rasullullah, saya siap melaksanakannya ya Rasulullah, nikmat yang terbesar bagi saya…”. Mata bapak Fulanah memancarkan sinar kebahagian, yang cuma untuk Rasulullah. Tatapan yang tidak memperdulikan Julabaib di sisi Rasulullah. Julabaib tidak menanggapinya sebab memang sejatinya ia tidak berharap banyak pinangan untuk dirinya diterima.
Rasulullah diam sejenak, ia menatap dalam-dalam wajah bapak Fulanah. Tentu saja sebuah ungkapan diplomatis karena bukan sendiri Rasulullah yang hendak menikahi putri bapak itu. Beliau masih diam sejenak, belum melanjutkan. Rasulullah sudah bisa menebak reaksi bapak itu kalau yang hendak ia nikahkan adalah Julaibib dengan putrinya.
“Julaibib adalah Aku dan Aku adalah bagian dari dirinya” kalimat metaforis yang sering diucapkan dalam batin beliau. Julaibib menikah dengan Fulanah sama halnya menikah dengan Rasulullah, sebuah ungkapan metaforis yang melukiskan kedekatan cinta Rasulullah dengan Julaibib.
“Bukan Aku yang hendak menikah dengan puterimu”. Sabda mulia melesat bagai anak panah menghujam sanubari bapak sang wali Fulanah.
“Lantas Engkau menginginkan puteri ku menikah dengan siapa duhai Rasulullah?”. Keterkejutan tiba-tiba menerjang bapak Fulanah. Ia sangat tidak menyangka ucapan Rasulullah memupus rasa girangnya sampai pada titik nadir. Rasa penasarannya menyeruak tentang siapa gerangan laki-laki yang hendak disandingkan dengan putrinya.
“Untuk Julaibib”, jawab Rasulullah singkat. Untuk persoalan ini Rasulullah tidak basa basi atau menggunakan kata-kata kiasan apapun. Langsung pada pokok persoalan.
Jarang laki-laki Arab bila hendak meminang seorang gadis, langsung pada inti persoalan. Biasanya laki-laki Arab menggunakan kata-kata kiasan terlebih dahulu, menguntai kata yang terbilang rumit dan berbelit-belit ketika meminang seorang gadis.
Bagi Rasulullah pernikahan adalah persoalan serius yang dilangsungkan karena ibadah serta perintah hukum syariah maka ungkapannya pun tidak perlu mengurai kalimat kiasan, tetapi langsung saja pada pokok persoalan.
Kalimat singkat Rasulullah “Untuk Julaibib”, sungguh kalimat yang singkat tanpa basi basi, tetapi tidak bagi bapak Fulanah. Kalimat itu bagaikan ribuan anak panah yang membuat jantung hatinya menorehkan luka yang menganga. Mulutnya terkunci, lidah menjadi kelu. Bukan lantaran sabda Rasulullah. Persoalannya nama Julaibib, yang menyelip dalam kalimat Rasulullah. “Oh tidak”, batin bapak Fulanah menyiratkan penolakan. Semua orang Yastrib tahu kalau Julaibib adalah manusia yang sangat tidak diperhitungkan di alam jagad ini. “Apa yang dibanggakan dari diri Julaibib?, manusia tidak berderajat, tidak punya nasab, dan miskin ”. Racun-racun pemikiran jahiliyah menggerus benak bapak Fulanah. “Lantas kenapa harus Julaibib bukan dengan laki-laki lain saja? Atau kenapa harus dengan putriku? Bukan dengan putri yang lain saja? Kenapa dan kenapa….?” Seketika rona kebahagiaan yang berpendar di wajah bapak itu lalu menghilang ditelan sejuta tanda tanya.
Tetapi bapak Fulanah tidak berani langsung menyatakan penolakannya. Ia tidak berani menolak titah Rasulullah. Menolak perintah Rasulullah sama saja menolak perintah syariah, sami’na wa a tha’na, patuhilah perintah Rasulullah sepahit apapun dalam perasaan mu. Ridha Rasulullah juga ridha Allah.
Lelaki separuh baya itu berpikir keras mencari apa kira-kira jawaban cocok untuk menyenangkan Rasulullah. “Berilah aku waktu beberapa hari wahai Rasulullah hingga aku bermusyawarah dengan ibu Fulanah. Aku tidak ingin membuat keputusan sendiri tanpa persetujuan darinya”. Rasulullah mengangguk sebagai tanda menyetujui permintaan bapak Fulanah. Rasulullah terkenal dengan pribadi sangat kuat dan toleran. Beliau tidak serta merta bertindak otoriter, yang sejatinya sangat menghargai musyawarah. Semua problem yang dihadapi beliau jika itu tidak menyangkut hal-hal sangat prinsip dalam Islam, seperti masalah aqidah, beliau pasti bermusyawarah dengan para sahabat terpercaya, bertukar pikiran serta meminta pendapat mereka. Begitulah yang diajarkan Islam kepada kaum muslimin. Allah sangat menyukai musyawarah dan mencela tindakan-tindakan sembrono, gegabah, tidak terencana, serta mengikuti ego pribadi.
Langkah untuk bermusyawarah dengan ibu Fulanah, sang isteri, langsung disetujui Rasulullah. Beliau kembali menggamit tangan Julaibib yang sejak tadi menjadi penonton. Lalu dua pria yang dicintai penduduk langit beringsut pergi meninggalkan bapak Fulanah sembari menunggu babak akhir apa kesimpulan jawaban dari bapak Fulanah, menerima atau menolak pinangan Rasulullah. Sejatinya, Rasulullah yang berdebar-debar menunggu jawaban bapak Fulanah. Beliau khawatir sang bapak ternyata menolak menikahkan putrinya dengan Julbaib. Sebaliknya Julbaib tidak terlalu berharap pinangan Rasulullah diterima. Perasaan yang menggelayut di sanubarinya biasa-biasa saja, datar, dan tidak terlalu bergelora memikirkan pernikahan. Julbaib sadar betul kalau ia tidak punya apa-apa, hanya laki-laki biasa dengan status sosial tidak berkelas dikalangan masyarakat Yastrib. Julbaib tidak ingin mengecewakan hati kekasihnya Rasulullah. Hatinya luruh menerima apa saja yang menjadi perintah Rasulullah tanpa memperlihatkan sedikitpun raut wajah keengganan.
Sesampai di rumah, bapak Fulanah menjumpai isterinya, ia masih menanggung beban berat dengan jiwa yang letih. Kemasygulan tampak merona diraut wajah lelaki paruh baya itu. Ia sangat yakin, pasti sang isteri takkan pernah rela menjadikan Julbaib sebagai suami bagi puterinya. Ia kenal betul dengan kekerasan watak isteri yang sangat menjunjung kehormatan keluarga berdasarkan nasab dan gengsi sosial masyarakat Arab. Sedangkan pada waktu yang sama bapak Fulanah jika harus menolak permintaan Rasulullah. Apa kata masyarakat Yastrib yang tentu saja ia bakal mendapat cemooh dari para sahabat Rasulullah karena tidak menghormati permintaan Rasulullah. Ia khawatir menjadi pergunjingan masyarakat yang mencap dirinya sebagai manusia yang tidak memuliakan nabi. Bapak Fulanah betul-betul berada dalam kondisi psikologis yang sangat dilematis, dadanya terasa sesak, serasa langkahnya seperti tidak memijak bumi, perasaan hatinya bak terbang dengan selaksa asa membumbung di atas petala langit lalu disambar oleh perasaan kalut luar biasa yang tidak bisa digambarkan dengan sejuta kata-kata.
“Duhai isteriku kemarilah, aku hendak menyampaikan berita”, mulut bapak Fulanah masih terasa kecut. “Kupenuhi panggilan mu”, sang isteri bergegas menemui suaminya.
“Sesungguhnya Rasulullah telah meminang puterimu”, bapak Fulanah Cuma diam dan mematung.
“Putriku…., Rasulullah s.a.w. meminang putriku? Oh…alangkah bahagianya ia. Selamat datang hai Rasulullah s.a.w., tentu kami akan menikahkan putri kami dengan Rasulullah s.a.w.. Oh, adakah kemuliaan melebihi ini semua?” Suara ibu Fulanah bersorak, persis kuda buraq yang berjingkrak kegirangan ketika tahu Rasullullah kekasih Allah akan menungganginya pada malam isra mi’raj. Hati ibu Fulanah membuncahkan bunga-bunga kebahagiaan. Betapa manusia pilihan kelak menikahi puterinya.
“Tapi sayangnya Rasulullah bukan menikahi untuk dirinya sendiri”, suara bapak Fulanah menyergah. Sebuah kalimat singkat yang tegas, cukup membuat ibu Fulanah terhenyak yang diliputi segudang tanda tanya serta berbagai aneka rasa penasaran. Suaminya sudah menduga demikian, persis ketika Rasulullah pertama kali menyampaikan maksudnya.
“Lantas dengan siapa beliau akan menikahkannya?”, suara ibu Fulanah tercenung. “Julaibib”, jawab bapak Fulanah singkat.
Sudah diduga babak selanjutnya, ibu Fulanah seperti mendapat hujaman pedang yang berkali-kali dahsyatnya, membelah dua jasadnya. Perasaan perempuan yang lebih mengutamakan emosi daripada pertimbangan logika, tentu saja membuat ibu Fulanah syok berat. Mungkin bagi bapak Fulanah sudah dapat menerima keputusan Rasulullah dengan pertimbangan yang lebih logis sebab ia adalah laki-laki. Mahluk yang ditakdirkan Allah lebih mampu mengendalikan perasaannya.
“Julaibib? Mustahil, demi Allah aku tak akan menikahkannya dengan Julaibib”.
“Lantas apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah s.a.w.?”. Suara bapak Fulanah kembali menyergah.
“Terserah katakan apa saja pada beliau. Sampaikanlah pada beliau permintaan maaf yang sebesar-besarnya dengan berbagai alasan. Aku tak kan pernah rela menjadikan Julaibib sebagai suami bagi putriku dan aku tak kan pernah rela ia menjadi menantuku”, suara ketus bercampur kesedihan beresonansi serempak keluar dari mulut ibu Fulanah.
“Aku merasa tidak enak dengan Rasulullah… aku malu mengungkapnya, para sahabat Rasulullah pasti mencelaku”. Keringat dingin menyembur disela-sela rambut bapak Fulanah. Bakal menghasilkan perdebatan panjang antara keduanya. Perbincangan antar keduanya kian memanas. Suara mereka kian meninggi. Sang suami meminta kerelaan sang istri dan meminta belas kasihannya. Namun sang istri enggan memenuhi permintaan suaminya seraya membentaknya. Begitulah kebaikan dalam ajaran Islam. Pada masa jahiliyah dahulu para isteri dilarang keras mendebat suaminya apalagi membentaknya. Islam datang merubah cara pandang itu. Posisi suami dan isteri adalah sederajat, keduanya saling bermitra. Bukan dibangun atas dasar hubungan antara buruh dengan majikan. Islam juga tidak hendak mendudukkan sang suami ibarat majikan yang punya otoritas berbuat apa saja kepada isterinya. Isteri tinggal menurut. Islam telah datang merubah semuanya. Sahabat Umar ra yang terkenal tegas serta memiliki perangai yang keras, namun ketika berhadapan dengan isteri yang mendebatnya setiap hari. Sahabat Umar tidak bergeming sedikitpun, ia menjadi melunak ditengah semburan kata-kata isterinya.
“Pokoknya aku tidak setuju puteriku menikah dengan Julaibib… titik!!! Sampaikan kepada Rasulullah terserah bagiamana caranya”. Suara ibu Fulanah semakin ketus.
Di balik tirai, menyembul sepasang mata jelita diam-diam menyaksikan perdebatan yang tengah berlangsung. Fulanah sang puteri jelita mereka tiba-tiba bergegas hadir ditengah-tengah perdebatan sengit mereka berdua. Fulanah telah mendengar sedikit ujung perdebatan mereka. “Siapa yang telah meminangku pada kalian?”
“Rasulullah SAW telah meminangmu untuk Julaibib”, sela sang ibu dengan pandangan nanar menatap paras jelita putrinya yang bersih seputih kapas.
“Namun aku enggan menikahkanmu dengannya. Engkau gadis muda yang cantik dan terpandang, seharusnya mendapatkan suami yang sepadan dengan dirimu”.
Tiba-tiba Fulanah menyela seketika, “celaka kalian! Apakah kalian hendak menolak perintah Rasulullah? Demi Allah, sedikitpun aku tak kan pernah menolak permintaan Rasulullah s.a.w. Penuhilah permintaan Rasulullah s.a.w.. Sebab Nabi Muhammad s.a.w. itu lebih diutamakan daripada kaum Mukminin. Berikanlah aku pada Julaibib, dan percayalah Allah sekali-kali tak kan menyia-nyiakanku”. Jawaban Fulanah yang sekonyong-konyong, menyentak kedua orang tuanya. Ungkapan yang keluar dari bibir wanita Arab jelita sebagai ekspresi ketakwaan yang kuat kepada Allah dan Rasulnya. Fulanah bukan saja gadis cantik dan terpandang dikalangan masyarakat Yastrib, tetapi lebih daripada itu. Ia sejatinya merupakan perempuan yang segenap jiwa raganya tercurah hanya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak salah pilihan Rasulullah untuk disandingkan dengan Julaibib. Pandangan kenabian telah menembus batas-batas cakrawala bahwa Julaibib dengan Fulanah sejatinya dua sejoli yang sekufu dalam persoalan ketaatan serta ketakwaan kepada Allah. Islam telah datang merobohkan bangunan-bangunan jahiliyah yang menciptakan sekat-sekat hubungan perjodohan antara laki-laki dan perempuan atas dasar sekufu karena nasab, harta, status sosial serta keelokan wajah. Islam membawa paradigma baru dalam konteks masyarakat yang tegak atas dasar mabda Islam bahwa sejatinya hubungan perjodohan laki-laki dan perempuan, harus dilihat dari sudut pandang kebagusan agama dan akhlaknya. Begitu indahnya Islam.
Fulanah tentu saja tidak sependapat dengan kedua orang tuanya. Ia lebih memilih taat kepada perintah Rasulullah. Fulanah mencintai Rasulullah sebagaimana Julaibib juga mencintai Rasulullah. Bibir merah Fulanah merekah sejenak. Mulut jelita bertabur mutiara-mutiara keimanan melantunkan firman Allah…Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (Q.S al-Ahzab Ayat 36).
“Terimalah pinangan Rasullah itu, aku ridha, sebab ia tidak akan menyia-nyiakanku. Ketahuilah, aku tidak akan menikah kecuali dengan Julaibib Radhiyallahu anhu!”. Suara bening Fulanah melesat begitu saja, sangat mantap, tidak ada keraguan sedikitpun menyelinap dalam lubuk hatinya.
Sang ibu terdiam dan menahan kepahitan yang sangat dalam. Bapak Fulanah akhirnya pergi menemui Rasulullah SAW, seraya berkata: “Terserah apa yang Engkau kehendaki Ya Rasulullah. Nikahkanlah putri kami dengan Julaibib ra”. Betapa girangnya Rasulullah mendengar kata-kata bapak Fulanah, hati Rasulullah lega lalu mendoakan Fulanah… Ya Allah, curahkanlah segala kebaikan kepadanya dan jangan Engkau jadikan kehidupannya dalam keletihan dan kesusahan. Untaian doa paling mustajab yang menembus tujuh petala langit dan sudah pasti diijabah oleh pemilik Arasy dan jagad raya. Rasulullah SAW menghadiahi doa Fulanah, sangat wajar. Seorang wanita jelita dan berasal dari keluarga terpandang redha dengan keputusan Rasulullah. Sebuah pengorbanan luar bisa dari seorang muslimah yang segenap jiwa raganya tercelup oleh samudera keimanan.
Lantas Rasulullah menikahkan Julaibib, seorang pemuda taat berasal dari strata sosial masyarakat Yastrib yang tidak diperhitungkan, dengan Fulanah, muslimah jelita dari keluarga terpandang.
Malam telah tiba, temaram cahaya bulan menyemburat lembut di atas ufuk Kota Madinah, udara dingin yang tidak terlalu menusuk telah membuat suasana malam Kota Madinah sebagai kota penuh kedamaian yang diliputi rahmat dan kasih sayang Allah. Pohon-pohon kurma yang berdiri kokoh di kebun-kebun milik warga Anshor, membulirkan buah kurma yang segar, sedap dipandang mata. Suasana malam Kota Madinah sangat senyap, bintang gumintang di atas langit sana memantulkan sinaran yang bergemerlap membentuk gugusan seperti kelompok bidadari yang sedang menari-nari. Sebahagian kaum muslimin ada yang tengah melaksanakan shalat witir, sebahagian ada yang sudah terpulas di peraduannya masing-masing, sebahagian lagi ada yang masih bercengkrama dengan anak dan isterinya. Barisan para malaikat di atas ufuk langit Madinah, sibuk melantunkan doa-doa untuk ditebar kepada siapa saja muslim yang masih sibuk mengingat Allah, membaca Quran, atau sedang menghadiri majelis ilmu.
Julaibib sedang berada di bilik bersama Fulanah, gadis jelita yang baru saja dinikahinya. Kedua pasang mata sejoli yang telah terikat oleh perkawinan yang sah, saling beradu pandang. Tetapi, bagi Julaibib ia tidak begitu lama memandang wajah jelita Fulanah, isterinya. Ia tertunduk malu. Perasaan hatinya serasa terbang ke angkasa raya. Batinnya hanya mengucap lirih dengan kalimat puji syukur kehadirat Allah SWT, atas karunia terbesar yang dilimpahkan kepadanya. Kedua sejoli masih tersekat kebisuan di tengah keheningan malam Kota Yastrib. Fulanah menatap dalam-dalam wajah Julaibib, ia tidak merasa kikuk dengan sang suami yang merupakan sebuah anugerah. Fulanah menganggapnya itu adalah anugerah karena merupakan kehendak Rasulullah. Fulanah sama sekali tidak merasa menyesal menikah dengan Julaibib. Pandangan keimanan dan ketakwaan yang begitu kuat semakin memperkuat keyakinan Fulanah, bahwa itulah yang terbaik bagi dirinya dunia dan akhirat.
Dua sejoli yang dinikahkan oleh Rasullah hanyut dalam perasaan romantisme yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Tangan Julaibib yang kapalan, setiap ruas jari-jarinya menebal, kasar dan mengelupas, sebab tangan itu sering digunakan mengayun pedang untuk menebas leher orang-orang kafir. Tapi kali ini tangan Julaibib gemetar, keringat dingin menyemburat disetiap pori-pori, mengusap pipi jelita Fulanah yang sehalus sutera. Namun di atas petala langit sana tujuh puluh bidadari calon isteri Julaibib kelak, menyaksikan adegan kedua sejoli dengan perasaan yang dibakar api kecemburuan. Puluhan bidadari saling berbisik, “Demi Allah wahai Fulanah Julaibib bukan milikmu, ia milik kami”. Salah seorang bidadari calon isteri Julaibib di Surga, yang sangat merindukan kedatangan Julaibib, Rayhanah nama bidadari itu. Ia dirundung nestapa yang sangat dalam. Betapa kerinduannya tak terperikan menyambut kedatangan Julaibib. Ia sering duduk tercenung di depan pintu jannah mengharap penantian kedatangan Julaibib. Kerinduannya semakin membara ketika diperlihatkan kepadanya Julaibib yang tengah bertempur dengan kaum musyrikin. Rayhanah merupakan bidadari tercantik yang dipilihkan Allah sebagai bakal isteri Julaibib di Surga. Rayhanah memiliki mata lentik yang sangat sedap dipandang mata. Tubuhnya halus seputih mutiara, yang menebarkan aroma wangi setiap waktu. Lehernya berjenjang yang memancarkan kemilau cahaya putih. Bila Rayhanah meneguk air maka niscaya tampaklah tegukkan air itu mengalir di leher jenjang Rayhanah. Kedua betisnya terlihat indah tanpa cela sedikitpun. Bila Rayhanah tersenyum maka tampaklah bibirnya merekah bak warna merah delima. Rayhanan adalah bidadari tercantik diantara 70 bidadari calon isteri Julaibib. Rayhanah diberikan kalung oleh Allah terbuat dari emas yang tertoreh nama Julaibib. Ketika Rayhanah menyaksikan Julaibib menikah dengan Fulanah, api cemburu semakin membakar hatinya.
Tidak seperti biasanya, Rayhanah duduk tercenung dirundung kesedihan di depan pintu jannah. Kerinduannya begitu dalam untuk bertemu Julaibib. Malaikat Jibril as yang datang menyaksikan kegundahan Rayhanah, bertanya “Apa yang membuatmu bersedih sampai berhari-hari wahai Rayhanah?”. Rayhanah merajuk, “ketahuilah wahai Jibril, aku sangat merindukan kedatangan Julaibib. Lantas Jibril as membalas “Wahai Rayhanah, Allah telah berfirman bahwa Julaibib sebentar lagi akan datang menemuimu, bersegeralah menjemputnya. Wajah putih merah merona Rayhanah tiba-tiba berganti dengan rona kebahagiaan. Bibirnya tersimpul senyuman sebab sebentar lagi ia berjumpa kekasihnya Julaibib.
“Julaibib…Julaibib… panggilan jihad dari Rasulullah. Bersegerahlah menyiapkan pedang dan tombak”. Suara seorang sahabat memecah kesunyian malam dari luar bilik Julaibib dan isteri. Tangan kokoh Julaibib yang tadi menyentuh lembut pipi isterinya, terhenti. Suara panggilan jihad membuat darahnya mendesir. Sesaat Julaibib ra dilanda kebimbangan antara mejalankan tugasnya sebagai suami atau memenuhi seruan jihad. Tetapi rupanya, panggilan jihad lebih memenuhi gelora jiwa raganya. Ia lebih mencintai seruan kekasih sejatinya Rasulullah daripada menjalankan kewajibannya sebagai suami. “Wahai isteriku, maafkan suamimu. Aku lebih memilih panggilan jihad. Fulanah menatap dalam-dalam wajah suaminya, “baiklah suamiku, aku sangat rela. Penuhilah seruan Rasulullah”. Bergegas Julaibib menyambar pedangnya dan bergegas menuju barisan tentara jihad kaum muslimin.
Pagi harinya, barisan kaum muslimin dibawah komando Rasulullah bersiap-siap melakukan peperangan dengan kaum musyrikin Mekkah. Panji hitam ar-rayah bertuliskan laa ilaha illallah muhammadurrasulullah berkibar perkasa ditengah barisan kaum muslimin. Panji itu melambangkan kewibawaan tentara kaum muslimin ditengah keangkuhan barisan tentara kaum musyrikin.
Perang akhirnya tidak dapat dihindarikan. Suara gemerincing pedang memenuhi angkasa raya. Kedua kubu yang mewakili suara haq dan kebatilan saling bertemu, masing-masing saling beradu kekuatan, ayunan pedang saling berkelebat dan saling menyabet mencari sasaran untuk saling membunuh. Ringkik kuda saling bersahut-sahutan di tengah kepulan debu-debu padang pasir. Malaikat maut menancapkan panji-panji kematian yang menuliskan nama-nama siapa saja yang ditakdirkan Allah harus mengakhiri hidupnya. Masing-masing kubu bertempur dengan motivasi yang berbeda, satu kubu pembawa kebenaran berperang karena merindukan syahid dalam kematian, sedangkan kubu lainnya pembawa kebatilan, berperang karena masih berharap menikmati kehidupan semu duniawi. Kaum muslim berperang karena merindukan mati syahid sedangkan kaum kafir berperang karena masih menginginkan kehidupan dunia.
Perang berlangsung terus. Kedua kubu menunjukkan kekuatannya masing-masing. Kaum muslimin dengan pekikan Allahu Akbar yang membahana di tengah hiruk pikuknya perang, terus merangsek maju mendesak barisan kaum musyrikin. Julaibib dengan keperkasaan dan keberanian luar biasa, maju merangsek di tengah-tengah barisan kaum musyrikin. Keberaniannya karena didorong oleh cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada yang lain. Baginya kehidupan dunia hanyalah fatamorgana dan kepura-puraan. Ia sangat merindukan kehidupan akhirat dengan janji Surga yang kekal abadi dengan kenikmatan yang melebihi luasnya langit dan samudera. Kenikmatan dunia tiada artinya, hanyalah kenikmatan berkadar setetes air yang melekat di ujung jari telunjuk.
Pedang Julaibib berkelebat sana sini, menebas orang-orang musyrik yang mencoba-coba mendekatinya. Julaibib sangat berani, tampaknya ia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi kematian, memang ia sangat merindukan kematian. Di tengah kerumunan pasukan kaum musyrikin, tiba-tiba sekelebat bayangan tujuh orang tentara musyrikin mengeroyoknya, Julaibib tidak gentar, bahaya kematian semakin mendekat. Ia tidak menunjukkan ketakutan sedikitpun. Pedang Julaibib mengayun-ayun siap menebas leher tujuh tentara musyrikin yang mengeroyoknya. Kelihaian ayunan pedangnya berhasil menyabet dan menebas beberapa di antara tujuh tentara musyrikin itu. Namun sayangnya, tangan dan raga Julaibib sudah terlalu lelah sebab telah menguras banyak energi ditengah keganasan perang. Tiba-tiba alam malakut terbuka bagi Julaibib. Sejurus pandangannya menembus pada lambaian tangan Rayhanah, bidadari Surga yang merindukannya. Bibir Rayhanah merekah pesona senyuman yang luar biasa indahnya sulit dilukiskan oleh kata-kata. Julaibib terpana senyuman Rayhanah, ia menjadi lupa dengan paras jelita Fulanah isterinya, sebab pesona Rayhanah melebihi kecantikan wanita manapun di dunia ini. Julaibib belum pernah menyaksikan kejelitaan yang sangat luar biasa itu. Sesaat Julaibib terpana. Tiba-tiba sebuah sabetan pedang melukai dadanya, darah segar mengalir deras menyimbah tubuh Julaibib tetapi tangannya masih bisa bergerak mengayunkan pedang. Sekelebat tangannya mengayunkan pedang berhasil menewaskan tujuh tentara musyrikin yang mengeroyoknya. Tetapi luka yang menganga di dadanya cukup dalam. Darah mengucur sangat deras, tubuh Julaibib ambruk ke tanah. Mulutnya komat kamit lirih mengucapkan kalimah Laa ilaha illallah muhammadurasulullah… Allahu Akbar. Maut menjemput nyawa Julaibib. Barisan malaikat menyambut ruh suci Julaibib di petala langit. Julaibib telah syahid, jasadnya menebar aroma wangi seharum bau ketsuri.
Perang masih berkecamuk, sabetan pedang menari-nari dari dua kelompok pasukan. Senandung kematian bertalu-talu ditengah kemarahan pasukan perang. Panji hitam ar rayah masih terus berkibar angkuh di tengah kecamuk perang. Pasukan kaum muslimin terus merangsek pasukan kaum musyrikin, yang semakin terdesak. Keberanian dan kebengisan tentara kaum muslimin semakin mendesak mundur tentara musyrikin. Debu-debu gurun pasir membumbung tinggi, suara ringkik kuda bersahut-sahutan semakin menambah panasnya suasana peperangan. Nyali tentara kaum musyrikin semakin mengendur di tengah keganasan serta keberanian tentara kaum muslimin yang sangat merindukan mati syahid atau hidup mulia dibawah naungan syiar Islam. Tetapi tidak bagi tentara kaum musyrikin yang masih menginginkan kehidupan dunia. Bayangan ketakutan kepada kematian semakin memperlemah mental pasukan perang kaum musyrikin. Akhirnya, tentara kaum musyrikin memilih mundur dan lari meninggalkan medan pertempuran. Tentara kaum musyrikin berpikir tidak ada gunanya menghadapi keganasan tentara kaum muslimin yang memilih kematian.
“Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…”, pekik teriakan kemenangan perang kaum muslimin membahana di angkasa pertempuran. Kaum muslimin memenangkan pertempuran yang sangat melelahkan. Tentu saja, korban jiwa berjatuhan di antara kedua kubu.
Perang dibawah komando Rasulullah, telah usai. Allah menganugerahi kemenangan. Rasulullah kemudian menyuruh para sahabat mengumpulkan jasad tentara kaum muslimin yang gugur sebagai syahid. Sesaat Rasulullah mengumpulkan para sahabat dalam satu barisan. Beliau bertanya “adakah di antara kalian yang merasa kehilangan?”. Para sahabat masih memikirkan pertanyaan Rasululullah. Sebahagian para sahabat beranggapan semua jasad tentara muslim yang gugur sudah dikumpulkan. Tetapi para sahabat masih mencari-cari siapa kehilangan yang dimaksud Rasulullah. “Tidak ada ya Rasulullah, kami semua sudah mengumpulkan semua jasad yang gugur sebagai syuhada”.
Wajah Rasulullah memerah, mata beliau sembab diliputi kesedihan. Diulanginya pertanyaan “adakah di antara kalian yang merasa kehilangan?” Para sahabat terhenyak dengan pertanyaan Rasulullah yang diulangi kembali. Para sahabat membisu. Untuk ketiga kalinya kembali Rasulullah bertanya “adakah di antara kalian yang merasa kehilangan?”. Tentu sebenarnya yang dimaksud Rasulullah, Julaibib. Tetapi bukankah Julaibib, adalah pemuda miskin yang kurang dikenal masyarakat Yastrib? Julaibib adalah seorang pemuda yang sangat bersahaja, yang kedudukan sosialnya kurang diperhitungkan dalam strata sosial masyarakat Yastrib. Bahkan sebahagian besar para sahabat kurang memperdulikan keberadaan Julaibib, sehingga sosok Julaibib nyaris hilang dari benak para sahabat. Tetapi tidak bagi Rasulullah, ia sangat kenal dengan Julaibib. Beliau sangat mencintainya. Meski penduduk bumi mengacuhkan Julaibib tetapi semua penduduk langit sangat mengenal dan mencintai Julaibib.
“Aku sangat kehilangan Julaibib, tolong cari dia”. Para sahabat terhenyak mendengar sabda Rasulullah. Tidak disangka, Julaibib, seorang pemuda yang kurang diperhitungkan, ternyata mendapat posisi istimewa di hati Rasulullah.
Para sahabat bergegas mencari keberadaan Julaibib di medan pertempuran. Ternyata dia telah menewaskan tujuh orang musyrik dengan pedangnya, lantas ia juga terbunuh di tengah-tengah mereka, karena terus maju tanpa pernah mundur. Para sahabat akhirnya kembali dan berkata kepada Rasulullah s.a.w. : “Lihatlah itu Julaibib, syahid di sekitar 7 orang musyrik yang ia bunuh”.
Rasulullah s.a.w. beranjak dan berdiri di sampingnya seraya bersabda, “Dia telah membunuh 7 orang musrik lantas ia terbunuh. Dia dariku dan aku darinya. Dia dariku dan aku darinya”. Kemudian Rasulullah s.a.w. memerintah para sahabat untuk menggali kuburan untuk Julaibib. Setelah penggalian selesai, Rasulullah s.a.w. berdiri dan membawanya dengan kedua lengan beliau. Meletakkannya dengan kedua tangan beliau di tempat peristirahatan terakhirnya, lantas menutupnya dengan tanah.
Betapa indahnya Islam yang keindahan itu, tidak akan mungkin kita dapatkan dalam peradaban manapun di seantero jagad raya ini. Islam memuliakan seorang anak manusia karena ketakwaan dan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Julaibib adalah seorang pemuda miskin yang terlunta-lunta, nasabnya tidak jelas, tidak memiliki strata sosial yang diperhitungkan masyarakat, wajahnya tidak memancarkan pesona ketampanan seorang lelaki. Hanya ketakwaan dan ketaatan kuat yang dimiliki Julaibib, yang dapat meningkatkan derajat kemuliaannya di sisi Allah dan Rasul-Nya. Kemuliaan disisi Allah itulah yang terpenting daripada kemuliaan dunia dan seisinya. Bandingkan Abu Lahab dan Abu Jahal, siapa yang tidak mengenal dua sosok bangsawan Arab Quraisy itu. Nasab keduanya sangat dihormati dan dimuliakan Bangsa Arab Quraisy. Keduanya memiliki harta yang sangat melimpah. Semua itu tidak berarti sama sekali disisi Allah. Kedua bangsawan Arab Quraisy itu, dihinakan oleh Allah Azza wa Jalla sehina-hinanya, para penduduk langit mengutuk dan mencela kedua tokoh Quraisy itu. Saat kematian, ruh mereka ditolak dan semua penduduk langit menutup pintu rapat-rapat. Mengapa? karena keduanya kufur terhadap Islam lebih daripada itu sangat membenci serta memusuhi Islam. Rasulullah sendiri bergembira dengan kematian dua bangsawan Quraisy tersebut. Padahal sejatinya mereka paman beliau yang memiliki trah berkaitan langsung dengan nasab Rasulullah saw, tetapi semuanya tidak menjamin. Rasulullah lebih mencintai Julaibib yang tidak memiliki hubungan trah nasab dengan beliau.
Setelah masa ‘Iddah istri Julaibib selesai. Banyak sekali lelaki yang datang meminangnya, sehingga tak ada seorangpun janda Anshor yang ditinggal mati suaminya yang mendapatkan lamaran terbanyak melebihi dirinya. Tak lain karena orang-orang sudah mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. telah mendo’akannya agar Allah mencurahkan segala kebaikan untuknya dan agar hidupnya tidak berada dalam keletihan dan kesusahan.
Rubrik
Ibrah