IJM: RKUHP Lahirkan Otoritarianisme Baru?


Peneliti Indonesian Justice Monitor (IJM) Dr. M Sjaiful, S.H., M.H. menilai, rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sangat berpotensi melahirkan otoritarianisme baru.

“Saya kira itu sangat jelas. Dan ini bahkan akan menimbulkan otoritarianisme baru,” ujarnya dalam Kabar Petang: RKUHP Lahirkan Rezim Otoriter? di kanal YouTube Khilafah News, Rabu (6/7/2022).

Maknanya, lanjut Sjaiful, rencana pengesahan RHKUHP bakal melahirkan oligarki politik serta pusat-pusat kekuasaan yang diperuntukkan untuk kepentingan mereka yang keberpihakan kekuasaan bukan kepada rakyat.

Sebutlah pasal krusial yang menjadi catatan kritis para pengamat terutama akademisi hukum termasuk dirinya, yakni tentang penghinaan terhadap kepala negara atau lembaga-lembaga negara.

“Misalnya kalau saya sebutkan itu, Pasal 218, 241, 353, 354 mengenai penghinaan terhadap kepala negara dan lembaga-lembaga negara,” gamblangnya.

Menurutnya, frasa di dalam pasal-pasal tersebut merupakan pasal karet yang bisa ditafsirkan secara subjektif oleh para pemegang kekuasaan untuk membungkam suara-suara kritis dengan dalih nantinya, terkategori menghina kepala atau pun lembaga negara.

Selain itu, di Pasal 273 yang mengatur tentang demonstrasi. “Pasal ini juga merupakan bagian dari membungkam suara kritis warga masyarakat yang ingin menyalurkan aspirasi dan pendapatnya melalui unjuk rasa damai,” tambahnya.

Lantas, dengan dalih melakukan kekacauan terhadap keamanan dan ketertiban umum, lanjut Sjaiful, penguasa pun bisa melakukan tindakan represif. “Ini saya kira sangat berbahaya,” tandasnya.

Belum lagi, pasal-pasal senada lainnya yang juga berpotensi dijadikan justifikasi bagi pemerintah untuk hal yang sama. Terkait makar misalnya.

Sebagaimana diberitakan, pemerintah menyerahkan dua draf rancangan undang-undang (RUU) kepada Komisi III DPR RI. Dua draf RUU yang diserahkan ke Komisi III DPR, yakni RKUHP dan RUU Pemasyarakatan.

Penyerahan draf dilakukan dalam rapat kerja yang digelar di ruang rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/7/2022).


Kompromi Politik

Berikutnya, ia mengutip sebuah pendapat di dalam disertasi Prof. Mahfud MD. Di bagian kesimpulan disebutkan bahwa suatu undang-undang (UU) pada hakikatnya merupakan sebuah kompromi politik dari para elite politik yang ada di lembaga legislatif.

“Undang-undang itu merupakan sebuah desain dari produk politik,” jelasnya, sembari mengartikan bahwa muatan dan substansi sebuah pasal perundangan tentunya lahir dari suatu kepentingan-kepentingan politik para elite pembuatnya.

“Atau juga mungkin kepentingan-kepentingan tersembunyi dari pemegang kekuasaan yang merasa memiliki dominasi kekuatan politik di DPR atau di dewan perwakilan rakyat,” lugasnya.

Dengan kata lain, penafsiran tentang pasal-pasal tersebut cenderung ambigu dan ambivalen. “Artinya penafsiran yang menimbulkan standar ganda,” timpalnya.

Apalagi seperti yang disebutkan Koalisi Masyarakat Sipil. Sebelumnya telah menilai, pemerintah terkesan bersikap ‘menyembunyikan’ draf terbaru RKUHP dengan intensi meredam kritik publik terkait pasal-pasal yang kontroversial.

Sementara itu, pemerintah menyatakan masyarakat yang keberatan dengan RKUHP nantinya dapat menggugat melalui Mahkamah Konstitusi setelah undang-undang ini disahkan kemungkinan pada Juli tahun ini.

Bahkan penilaian dari Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, pemerintah telah melanggar ketentuan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, juga Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).


Bungkam Dakwah?

Terlebih, lanjut Sjaiful, dengan alasan menghina suatu lembaga kekuasaan negara, pasal-pasal dimaksud bisa saja digunakan untuk membungkam aktivitas dakwah umat Islam yang pada dasarnya dalam rangka memperbaiki negeri dari pelanggaran syariat dan agama.

Oleh karena itu, setidaknya, menurut Sjaiful ada dua langkah yang harus dilakukan umat. Pertama, senantiasa menyampaikan suara kritis. “Harus ada pembelajaran kepada umat supaya membangun kesadaran politik untuk tidak membiarkan adanya kebijakan-kebijakan, yang kebijakan itu membahayakan terhadap dakwah Islam,” terangnya.

Sebabnya, berdirinya negara ini berbasis Ketuhanan yang Maha Esa dengan pilar-pilar spiritualisme yang bernafaskan religiusitas. “Apalagi kita ini kan mayoritas Islam, maka membangun perbaikan bangsa ini dengan rekomendasi ajaran Islam ini saya kira tidak boleh dibungkam,” ujarnya.

Lagipula, kalau memang sampai membahayakan dakwah Islam, jelasnya, itu termasuk salah satu ciri dari upaya memadamkan cahaya Islam.

Kedua, kata Sjaiful, hal ini bisa menjadi ibrah dan renungan bagi umat. Betapa sebuah produk hukum berupa undang-undang atau instrumen aturan yang lahir dari kompromi politik berikut logika berpikir bebas manusia, bisa dipastikan itu termasuk hukum yang tidak baik.

Maksudnya, tidak akan bisa memberikan keadilan, tetapi sebaliknya, mengaminkan dampak kezaliman yang luas kepada masyarakat. “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki?” ucapnya, mengutip QS al-Maidah: 50, yang berarti nomenklatur hukumnya menurut Sjaiful memang di luar syariat Islam.

Menegaskannya, ia melanjutkan bunyi ayat tersebut, ‘Hukum manakah yang lebih baik bagi orang-orang yang yakin?’

“Artinya, Allah ingin menegaskan bagi orang yang ingin mendapatkan keadilan, ingin mendapatkan persamaan hukum yang lebih baik, ingin dipersamakan hukum secara adil, artinya dipersamakan demikian semua orang di depan hukum, tidak lain itu adalah hukum Allah SWT,” pungkasnya.[]


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال