Gerakan Khilafah di Indonesia Era Kolonial


Tatkala Mustafa Kemal Attatürk menghancurkan Khilafah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924, reaksi keras muncul dari umat Islam sedunia. Tak terkecuali yang di Indonesia, yang dulu lebih dikenal sebagai Hindia-Belanda.

Demi merespon keruntuhan Khilafah ‘Utsmaniyah pada 3 Maret 1924, para ulama al-Azhar yang terkumpul dalam Hay’ah Kibâr al-‘Ulamâ’ (Dewan Ulama Senior) segera berkumpul dan membahas perkara tersebut pada 25 Maret. Dalam diskusinya, mereka memandang perlu untuk menyelenggarakan konferensi internasional di Kairo. Tujuannya guna berdiskusi bersama representatif umat Islam dari berbagai penjuru negeri tentang siapa yang seharusnya menjadi khalîfah baru.

Menurut hemat Hay’ah Kibâr al-‘Ulamâ’, konferensi internasional ini harus dilaksanakan pada tahun berikutnya pada bulan yang sama (Maret 1925). Pasalnya, mengumpulkan perwakilan kaum Muslim dari seluruh penjuru dunia bukanlah perkara yang sebentar. Mereka pun akhirnya mengirim 610 undangan yang dialamatkan baik ke institusi maupun individu tertentu, dengan negeri-negeri tujuan yang mencakup; Suriah, Palestina, Jordan, Irak, Hijaz, Bahrain, Kuwait, Yaman, India, Libya, Aljazair, Tunisia, Maroko, Iran, Afghanistan, Jawa, Sumatera, Cina, Singapura, Malaka, Ethiopia, Afrika Selatan, Harar, Zanzibar, Bosnia-Herzegovina, Rumania, Albania, Bulgaria, Polandia, Amerika Serikat, Argentina, Rusia, Turkistan, Kaukasus dan Turki.1

Undangan yang disebar para ulama al-Azhar dari Hay’ah Kibâr al-‘Ulamâ’ di Kairo ditanggapi antusias oleh individu-individu dan organisasi-organisasi yang mereka undang. Salah satu yang menyambut gembira undangan tersebut adalah seorang sayyid Hadhramî di Singapura yang sekaligus menjabat sebagai pimpinan Djamiet Chair di Batavia, Sayyid ‘Abdullâh bin Muhammad Shadaqah Dahlân al-Makkî. Dalam korespondensi balasannya, Dahlân al-Makkî mengungkapkan bahwa konferensi internasional prestisius yang berafiliasi dengan Universitas al-Azhar untuk membahas masalah Khilafah tentu akan lebih diterima dan diikuti oleh kaum Muslim dibandingkan konferensi yang diadakan oleh pihak lain (qabûl al-haqq minkum aqrabu min qabûlihi min gayrikum).2

Para pemimpin masyarakat Arab di Hindia-Belanda segera memberi tahu pemimpin Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto, terkait undangan para ulama al-Azhar untuk membahas masalah Khilafah. Mereka meminta agar Tjokroaminoto dengan auranya yang kharismatik untuk mengumpulkan tokoh-tokoh umat Islam di Hindia guna menentukan siapa yang akan dikirim ke Kairo sebagai delegasi dalam Konferensi Khilafah. Tentu saja Tjokroaminoto sepakat. Pimpinan Sarekat Islam itu segera berkonsolidasi dengan Moehammadijah dan al-Irsjad untuk mengadakan pertemuan khusus di Surabaya pada 4-5 Oktober 1924. Dalam pertemuan tersebut, Tjokroaminoto memberikan orasi yang begitu emosional tentang pentingnya Khilafah Islamiyah bagi seluruh kaum Muslim sebagai kepemimpinan politik dan spiritual mereka.3

Tatkala tiba giliran Hadji Fachroeddin dari pimpinan Moehammadijah untuk menyampaikan pendapatnya, ia mengatakan bahwa penting bagi kaum Muslim di Hindia-Belanda untuk berperan aktif dalam isu Khilafah guna merekatkan hubungan mereka dengan kaum Muslim di negeri-negeri lain.

Pertemuan pada 4-5 Oktober 1924 berhasil menetapkan sebuah keputusan: adalah “wadjib mentjampoeri pergerakan akan mengadekan Congres di Cairo” yang akan diadakan tahun depan (Maret 1925), “dengan seboleh-bolehnja berichtiar, soepaja dari negeri kita boleh dikirimkan barang 3 atau 4 orang jang dianggap sebagai oetoesannja oemmat Islam di Hindia Timoer.”

Untuk memilih delegasi yang akan dikirim ke Kairo, mereka membentuk komite baru yang dinamakan Central Comité-Chilafaat.4 Komite ini diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam. Jabatan wakil ketua diamanahi kepada Kjai Hadji Abdoel Wahab Chasboellah (kelak dikenal sebagai pendiri Nahdlatoel Oelama).5

Sebagaimana yang dinyatakan Laffan, Central Comité-Chilafaat adalah suatu panitia kerja yang menghimpun para pemuka Islam di Hindia-Belanda baik dari kalangan kaoem toea (tradisionalis) maupun kaoem moeda (modernis).6 Terlepas dari pertentangan mazhab yang mereka anut, Khilafah adalah masalah yang wajib dipikirkan bersama-sama karena hal tersebut menyangkut kepentingan publik kaum Muslim tanpa memandang mazhab. Sebagaimana yang dinyatakan al-Jazîrî, seluruh ulama dari empat mazhab bersepakat atas kewajiban Imâmah atau Khilafah. Bahkan az-Zuhaylî menandaskan, mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlus Sunnah, Syî’ah, Murjî’ah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Khilafah atau Imâmah adalah suatu kewajiban yang pasti.7

Central Comité Chilafaat memutuskan akan mengadakan Kongres al-Islam Loear Biasa di Surabaya pada 25-27 Desember 1924 mendatang. Pengumuman akan dihelatnya Kongres al-Islam Loear Biasa ini, sebagaimana namanya, ditanggapi secara luar biasa oleh umat Islam di Hindia-Belanda. R.A. Kern (1875-1958), adviseur Pemerintah Kolonial Belanda yang menggantikan Gobée menyebutkan, bahwa “kongres tersebut bukan hanya diskusi mengenai Khilafah … lebih dari itu, kongres tersebut adalah unjuk rasa Islam sebagai kekuatan politik”.8

Pada 30 November 1924 di Cianjur kurang lebih 3.000 massa berkumpul dalam rapat akbar yang diinisiasi Siswo, pemimpin Sarekat Islam afdeling Cianjur, guna merespon undangan Central Comité Chilafaat untuk menghadiri Kongres al-Islam Loear Biasa yang akan diselenggarakan bulan depan (Desember 1924). Rapat tersebut juga dihadiri oleh utusan Sarekat Islam afdeling Sukabumi. Setelah membicarakan perihal pentingnya eksistensi Khilafah, ribuan massa itu bertekad untuk membantu pergerakan Khilafah yang akan menyelenggarakan kongres di Surabaya, dengan mengatasnamakan Comité Chilafaat afdeling Cianjur.9

Ketika hari H tiba, sekitar 600 orang lebih dari seluruh Jawa, beserta satu rombongan utusan dari Kalimantan Tenggara sebagai satu-satunya utusan yang datang dari luar Jawa, hadir di Surabaya untuk berpartisipasi dalam Kongres al-Islam Loear Biasa yang diselenggarakan oleh Central Comité Chilafaat. Hadji Agoes Salim berkesempatan memberikan kata sambutan dalam kongres tersebut. Dalam penyampaiannya, Agoes Salim mengetengahkan perkembangan terbaru yang terjadi di dunia Arab, terutama tentang Ibn Sa’ûd dari Najd yang berhasil menaklukkan Kota Makkah dan merebutnya dari tangan Syarîf Husayn. Manuver Ibn Sa’ûd dalam menaklukkan Hijaz mendapat apresiasi dan pujian dari Agoes Salim, sebuah sikap yang juga dimiliki oleh sebagian besar golongan kaoem moeda atau modernis Islam. Di mata kaoem moeda, Syarîf Husayn tidak lebih dari seorang tiran yang hobi merampok uang para jamaah haji, sementara Ibn Sa’ûd adalah seorang modernis revolusioner yang berjasa melenyapkan bid’ah dan khurafat di Tanah Suci. Isu mengenai perbedaan mazhab yang dipicu penaklukkan Hijaz oleh Ibn Sa’ûd dalam Kongres al-Islam Loear Biasa ini, tentu saja akan menabur benih perpecahan yang sudah berusaha diurai di kongres-kongres sebelumnya. Pasalnya, sebagaimana yang kita tahu, kaoem toea (golongan tradisionalis) adalah pendukung Syarîf Husayn yang semazhab dengan mereka.10

Walau demikian, Kongres al-Islam Loear Biasa pada tanggal 25-27 Desember 1924 di Surabaya ini berhasil membulatkan pendapat dan mengeluarkan beberapa resolusi untuk persiapan Kongres Internasional Khilafah di Kairo nanti. Mereka memutuskan untuk mengirim tiga representatif kaum Muslim Hindia sebagai delegasi ke Kairo. Ketiga orang tersebut adalah Surjopranoto (Sarekat Islam), Hadji Fachroeddin (Moehammadijah)—keduanya notabene adalah kaoem moeda, dan Kjai Hadji Abdoel Wahab Chasboellah (kaoem toea).11

Nantinya, mereka akan membawa manifesto kaum Muslim Hindia-Belanda untuk masalah Khilafah ini ke tengah-tengah para hadirin di kongres Kairo, yang terdiri dari enam pasal:
  1. Comite Chilafat menimbang, haroeslah dalam Doenia Islam diadakan satoe Medjelis Chilafat jang terpimpin oleh satoe President, dan President itoelah jang diberi gelaran Chalifah.
  2. Adapoen lid-lid dari Medjelis haroes terdiri atas wakil-wakil dari oemmat Islam di masing-masing negeri dan keradjaنn, jang lamanya soepaja ditentoekan di dalam reglementnja Medjelis Chilafat.
  3. Kekoesaan Medjelis Chilafat terhadap Islam doenia, apakah haroes di beri kekoesaan mengatoer hal oeroesan Agama dan doenia dengan seloeas-loeasnja, ataoekah hanja diberi kekoeasaan boeat mengatoer hal oeroesan Agama sadja.
  4. Presiden Medjelis Chilafat itoe haroes terpilih oleh wakil-wakil dari oemmat Islam jang mendjadi lidnja Medjelis terseboet.
  5. Tempat kedoedoekan Medjelis Chilafat terseboet haroeslah ada di keradjaan Islam jang merdeka, jaitoe di Mekkah.
  6. Biaja Medjlis terseboet haroes terpikoel oleh oemmat Islam ditiap-tiap negeri dan keradjaan, dengan menoeroet kekoeatannja masing-masing.12
Keputusan Kongres al-Islam Loear Biasa yang membahas Khilafah, selain mendapat apresiasi, tentu saja diiringi oleh beberapa suara sumbang. Salah satu yang menyuarakan komentar negatif adalah koran Sedio Tomo, corong aspirasi organisasi sekular Boedi Oetomo. Menurut Sedio Tomo, kaum Muslim Hindia-Belanda tidak perlu mengirim delegasi ke Kairo. Persoalan Khilafah adalah persoalan agama, sedangkan apa yang menjadi kebutuhan yang mendesak saat itu, menurut Sedio Tomo, adalah persoalan ekonomi; bagaimana meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dana yang akan dipakai untuk akomodasi tiga delegasi ke Kairo sebaiknya dialihkan saja untuk membangun ekonomi rakyat dan kesejahteraan mereka.

Opini ini tentu saja ditentang oleh mereka yang memperjuangkan pentingnya Khilafah. Mansoer Jamani, salah seorang petinggi Central Comité Chilafaat dari Surabaya, menampik opini tersebut dengan mengatakan bahwa kemiskinan rakyat Hindia-Belanda sangatlah relatif. Kalaulah dikatakan mereka miskin, mengapa “saban malam bioscoop dan Jaarmarkt (pasar tahunan, pen.) penoeh?” Oleh karena itu alasan tersebut tidak beralasan. Apalagi kepentingan agama tidak bisa dibandingkan dengan harta. Bagi kaum Muslim, agama lebih diperlukan ketimbang harta, sehingga apabila perjuangan agama menuntut pengorbanan harta, maka haruslah diperjuangkan habis-habisan, “sekalipoen sampai djoeal djas dan dasinja kalaoe perloe.”

Ada juga suara sumbang yang dilontarkan oleh salah seorang yang berpartisipasi dalam Kongres al-Islam Loear Biasa, seperti yang dilontarkan Hassan Ali Soeratie. Soeratie yang menjadi salah satu peserta kongres mengatakan kemajuan Mesir amat jauh berbeda dengan keadaan rakyat Hindia-Belanda dalam segala hal. Ia tidak setuju apabila Muslim di negeri ini mengirim delegasi ke Kairo. Pasalnya, menurut dia, bisa jadi utusan dari Hindia-Belanda dianggap oleh orang sana seperti “lalat ataoe njamoek sadja”. Sebagai alternatif, Soeratie mengusulkan agar mereka cukup mengirimkan mosi ke Kairo atas nama Kongres al-Islam Hindia. Lagipula biaya yang besar untuk bekal delegasi ke Kairo, jika tidak jadi digunakan, tentu bisa digunakan dan dimanfaatkan untuk mendirikan madrasah. Pendapat pesimis seperti itu mendapat penolakan keras Hadji Fachroeddin dari Moehammadijah. “Oetoesan perloe dikirim, sekalipoen dianggap njamoek, dan orang sana biar tahoe roepanja njamoek Hindia,” tegas Hadji Fachroeddin. “Islam tida membeda-bedakan oemmat dan kepandaian; anak Hindia tida akan (k)alah dengan anak Cairo dan lain-lain negeri, teroetama oentoek mempersatoekan fikiran boeat mengadakan Chalifah.”13

Dalam kurun tahun 1924-1926 inilah, terjadi satu masa saat organisasi-organisasi Islam di Hindia-Belanda atau Indonesia tempo dulu pernah berhimpun dalam satu agenda perjuangan yang jelas: menegakkan Khilafah. Mereka paham akan kewajiban eksistensi Khalifah yang satu untuk seluruh umat Islam. Dengan demikian bisa kita katakan ahistoris jika ada yang mengatakan kalau kaum Muslim di negeri ini tidak pernah terlibat perjuangan apapun terkait Khilafah. [Nicko Pandawa]



Catatan kaki:

1 Mona Hassan, Longing for the Lost Caliphate: A Transregional History. Princeton University Press, 2016, 188-189, 209.
2 Ibid, 192.
3 Bandingkan: Martin van Bruinessen, “Muslim of the Dutch East Indies and the Caliphate Question”, Studia Islamika, Vol. 2, No. 3 (1995): 123; Mona Hassan, Longing for the Lost Caliphate, 201; Hasnul Arifin Melayu, “Islam and Politics in the Thought of Tjokroaminoto”, Thesis, McGill University, June 2000, 84-85.
4 Bandera Islam, Vol. 1 No. 3 (16 Oktober 1924).
5 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1994) 242.
6 Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds (London: Taylor & Francis Group, 2003), 212.
7 ‘Abd al-Rahmân al-Jazîrî, al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhîb al-Arba’ah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2014), 5:366; Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhu, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), 8:273.
8 Martin van Bruinessen, “Muslim of the Dutch East Indies and the Caliphate Question”, 126.
9 Bandera Islam, Vol. 1 No. 11 (11 Desember 1924). Selain di Cianjur, cabang Comité Chilafaat juga berdiri di daerah-daerah lain, seperti Yogyakarta, Batavia, Babat, Cirebon, Pasuruan, Menes, Buitenzorg, Jampangkulon, Banjarmasin, Makassar, dan lain-lain.
10 Martin van Bruinessen, “Muslim of the Dutch East Indies and the Caliphate Question”, 124-125.
11 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 242.
12 Bandera Islam, Vol. 1 No. 11 (11 Desember 1924).
13 Bandera Islam, Vol. 1 No. 5 (30 Oktober 1924).


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال