Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan ‘jika tak mau bayar pajak jangan tinggal di Indonesia’ dinilai Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana tak memiliki empati melihat beban rakyat hari-hari ini.
“Saya melihat ungkapan dari Sri Mulyani ini tidak empati melihat kondisi yang menjadi beban rakyat hari-hari ini,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Kamis (21/7/2022).
Pernyataan tersebut merupakan respons terhadap trending topik di Twitter terkait tagar ‘stop bayar pajak’. Namun, menurut Agung sebagai negarawan seharusnya lebih baik tidak menanggapi hal itu.
Agung menilai, ungkapan ‘stop bayar pajak’ sebenarnya bukan untuk provokatif karena memang faktanya beban-beban hidup yang dirasakan rakyat semakin meningkat, di lain sisi negara terus membebani dengan kenaikan pajak.
Misalnya, lanjut Agung, kenaikan PPN 11 persen, terus kemudian pajak untuk Ibu Kota Negara Baru. Di tengah-tengah kondisi itu uang-uang rakyat dari pajak ini juga banyak digunakan untuk bayar utang negara yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Corak Pembangunan Kapitalisme
Agung menilai, membangun negara dengan basis utang dan pajak merupakan corak pembangunan ala ideologi kapitalisme.
“Bila kita membaca postur APBN tahun 2021, dari total pendapatan 1.742 triliun itu 82 persennya dari pajak yaitu 1.444 triliun. Jadi, saya melihat memang negeri ini menjadikan pajak itu sebagai pendapatan utama untuk melakukan pembangunan, dan ini menurut saya sesuatu yang tidak baik, menunjukkan keburukan dari sistem kapitalisme,” bebernya.
Ia melihat, tren pajak dari tahun ke tahun terus meningkat sedangkan pendapatan dari sektor Sumber Daya Alam (SDA) semakin hari semakin berkurang.
“APBN tahun 1989 itu 50 persennya pajak, 50 persennya hasil SDA. Sementara APBN tahun 2014 penerimaan dari pajak itu ditingkatkan sampai 65 persen sementara pendapatan dari SDA malah berkurang,” ungkapnya.
“Ini menunjukkan kepada kita semua bahwa pembebanan pajak itu semakin ditingkatkan dan ini membebani rakyat,” tegas Agung.
Sistem Ekonomi Islam
Selain itu, Ia juga membeberkan bagaimana jika negara menggunakan sistem ekonomi Islam. Menurutnya, jika negara menggunakan sistem ekonomi Islam maka negara akan membangun pendapatannya dengan landasan pola-pola kepemilikan.
Kepemilikan penting yang menjadi salah satu pendapatan negara menurut Agung adalah kepemilikan umum. Kepemilikan umum merupakan seluruh komoditi atau sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak yang jumlahnya melimpah.
“Di dalamnya adalah sumber daya air, sumber daya energi (minyak dan gas) termasuk juga SDA seperti mineral, batu bara, emas, itu termasuk di dalamnya,” jelas Agung.
Menurutnya, jika itu semua dikelola menjadi pendapatan dan dilarang untuk dilakukan privatisasi, benar-benar milik umum dan dikelola oleh negara maka akan menghasilkan pendapatan yang sangat besar.
“Menurut perhitungan kami, perkiraan penerimaan sumber daya alam dari batu bara, gas alam, nikel, hasil laut dan hutan produksi itu menghasilkan 4.215 triliun. Ini pendapatan yang luar biasa menurut kami,” bebernya.
Itu belum dari pendapatan lain misalnya dari kepemilikan individu yang nantinya diterapkan sebagai zakat, terutama zakat mal, itu akan memberikan tambahan pendapatan yang juga cukup besar.
“Kalau kita lihat APBN tahun 2021, pengeluaran kita ini sebesar 2.750 triliun. Artinya dengan pendapatan 4.215 triliun itu sudah sangat surplus dan bisa bayar utang Indonesia yang sekarang jumlahnya sudah mencapai 7.000 triliun,” pungkasnya.[]
Rubrik
Nasional