Isu penyelewengan dana umat yang diangkat Tempo dengan mengambil objek ACT menghebohkan publik. Dimulai dari tudingan krisis keuangan, lalu soal gaji mantan petinggi ACT Ahyudin sebesar 250 juta dan juga penggelapan lumbung ternak wakaf.
Menyoroti transparansi lembaga nonprofit dalam laporan keuangan dan alokasi yang boleh dipakai untuk operasional itu, aturannya dapat kita temukan dalam Undang-undang terkait pengumpulan uang dan barang ini yang sudah sejak 1961.
Ketika suatu undang-undang belum ada penggantinya dan belum dicabut, maka tetap dinyatakan berlaku. Undang-undang Nomor 09 Tahun 1961 ini dikuatkan dengan PP No 29 tahun 1980 dan Keputusan Menteri Sosial No 56 Tahun 1996 tentang pelaksanaan pengumpulan sumbangan oleh masyarakat.
Dalam undang-undang tersebut, tidak diperkenankan individu/ pribadi/ perseorangan mengumpulkan dana masyarakat baik berupa uang atau barang. Yang boleh melakukan pengumpulan dana hanya organisasi dan perkumpulan sosial yang disesuaikan cakupan donatur yang ditargetkan, misalnya level kabupaten/kota, provinsi, atau nasional dan harus dapat izin.
Tentang dana operasional maksimal, Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan menyatakan bahwa sumbangan dari publik yang boleh diambil maksimal 10 persen. Namun, ACT mengaku menggunakan 13,7 persen dari dana hasil pengumpulan uang atau barang dari masyarakat sebagai dana operasional yayasan atau lebih dari 10 persen. Nominal pengambilan itu diketahui berdasarkan klarifikasi langsung Kemensos ke petinggi ACT. Atas dasar ini dapat diduga ada pelanggaran besaran penggunaan dana operasional.
Sebagaimana diketahui, hanya dalam kurun waktu 24 jam, Tempo terkesan berhasil meruntuhkan kepercayaan publik pada ACT. Ada dua hal yang menarik; adalah soal peran media untuk kontrol sosial yang harus tajam, tapi disisi lain ada juga yang menganggap ini penggiringan ala Tempo dengan menggunakan informasi sensitif.
Ada yang memandang, sebenarnya persoalan ACT adalah persoalan internal organisasi. Seharusnya persoalan itu bisa diselesaikan secara bijaksana, cukup dengan dialog. Bisa saja Pemerintah menjadi mediatornya. Namun, ketika pihak luar ingin "ngomporin" kasus ini, maka yang muncul sebenarnya watak tidak bijaksana.
Banyak yang main di media, apalagi medsos. Salah paham yang justru akan terus berkembang, dan ini merugikan ACT, merugikan umat, dan merugikan bangsa ini. Majalah Tempo saya kira sudah melakukan kegiatan yang dalam bahasa hukum disebut trial by the press sehingga dapat menggiring opini publik untuk makin menyalahkan dan mencurigai lembaga filantrofi ACT. Ini sisi lain karakter buruk dan gelap mass media. Dan media dengan hak-hak investigasi dan pengungkapan kasus hal ini dianggap merupakan kebebasan pers.
Ada sisi lain yang lebih menarik, yakni adanya penggiringan opini ke dana terorisme. Kita mengenal ada UU Pendanaan Terorisme.
Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), Pendanaan terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme.
Lingkup pendanaan terorisme mencakup perbuatan yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan atau meminjamkan dana kepada pihak lain yang diketahuinya akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme, baik dengan harta kekayaan yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana ataupun dari harta kekayaan yang diperoleh secara sah.
Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Pendanaan Terorisme adalah: (1) Transaksi keuangan dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme; atau (2) Transaksi yang melibatkan Setiap Orang yang berdasarkan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT).
Penggiringan opini ini sangat jahat. Sebagai lembaga kemanusiaan tentu pemberian bantuan tidak boleh memperhatikan soal latar belakang orang atau kelompok orang yang dibantu, bahkan dana bisa diberikan sekalipun itu kelompok yang diduga teroris yang sedang mengalami penderitaan kemanusiaan selama tidak ada unsur membantu kegiatan terorisme, misal memasok senjata, dana untuk beli senjata, bom dan lain-lain.
Dalam hal ini, Pemerintah melalui PPATK harus bijak untuk tidak mengait-ngaitkan lembaga kemanusiaan ke soal terorisme, apalagi sudah mengaitkan lembaga BPNP, Densus 88, BIN dan lain-lain. Jika hal ini dilakukan, bisa diprediksikan lembaga ACT akan terancam dibubarkan dan rekening umat bisa dibekukan dan diambil alih oleh negara. Korbannya siapa lagi klo bukan umat Islam, khususnya, donatur pada umumnya.
Perliu dicacat, di media masa sudah ada kutipan pernyataan Kepala Pusat PPATK Ivan Yustiavandana yang mengatakan bahwa pihaknya mendapatkan data transaksi yang tidak semestinya dilakukan oleh ACT. "Kami mengindikasikan ada transaksi yang menyimpang, tujuan dan peruntukannya serta pihak-pihak yang tidak semestinya," ujar Kepala Pusat PPATK Ivan Yustiavandana (Portal Nganjuk.com 5 Juli 2022).
Disebutkan bahwa Ivan Yustiavandana mengatakan pihaknya telah lama melakukan analisis terhadap dana umat ACT. Dalam temuannya kali ini PPATK melaporkan pihak ACT kepada Polri, Densus 88, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Kabar terakhir menyatakan bahwa berdasarkan keterangan dari Humas Kemensos RI, pencabutan izin itu dinyatakan dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tanggal 5 Juli 2022 tentang Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap di Jakarta Selatan yang ditandatangani oleh Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendi, Selasa (5/7). Tambah ruwet, bukan?
Terakhir kita perlu memahami kelindan kasus ini, apakah ada hubungannya dengan kontestasi 2024 mengingat dihubungkan ACT dengan Anies. Dalam dunia politik memang selalu saja ada taktik dan intrik dalam sebuah polemik. Itu wajar, bahkan hal yang mestinya tidak wajar bisa dianggap wajar. PPATK pada akhirnya nanti akan mengungkap aliran dana ACT ke kegiatan Pemda DKI selama dipimpin Anies. Adakah aliran dana mengarah ke situ?
Banyak warganet yang meminta usut tuntas kasus tersebut, termasuk peranan gubernur DKI Jakarta saat ini Anies Baswedan yang tertangkap kamera menggunakan atribut ACT. Dalam unggahan akun Twitter @Palti*** mengunggah foto gubernur DKI Jakarta tersebut dengan menggunakan atribut ACT.
“Rame soal ACT dan rame juga soal Bapak ini… Mungkin Densus 88 bisa cek apa peranan Bapak ini…,” tulis keterangan akun Twitter tersebut.
Adakah hubungannya dengan kontestasi, elektabilitas pencapresan 2024? Saya yakin ada. Jika dikait-kaitkan dengan Anies, kemana lagi kalau bukan ke arah niat "menggembosi" elaktabilitas Anies?
Kasus ACT ini memunculkan banyak spekulasi di masyarakat, tidak terkecuali pendukung Ganjar Pranowo yang mengaitkan kasus tersebut dengan Anies Baswedan. Jika Kasus ACT oleh pendukung Ganjar dikaitkan ke Anies saya kira tidak benar, karena banyak pihak juga sudah pernah bekerja sama dengan ACT.
Misal PDIP, Nasdem bahkan Gub Khofifah pernah kerjasama dengan ACT. So, di mana salahnya Anies jika pernah bekerja sama dalam menyelesaikan kegiatan kemanusiaan? Lalu adilkah karena dugaan-dugaan penyimpangan yang belum jelas itu mendorong Pemerintah c.q. Menteri Sosial mencabut izin ACT? Bukankah ini sebuah vandalisme?
Tabik..!!
Semarang, Rabu: 6 Juli 2022
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
Rubrik
Opini