Pandemi Covid seolah akan berakhir. Pemerintah mulai melakukan pelonggaran kegiatan masyarakat. Hanya saja, alih alih beban hidup masyarakat kian membaik, pasca pandemi justru rakyat dihadapkan dengan persoalan-persoalan baru yang terus berulang. Rakyat justru mendapat “hadiah” dari para pemangku kebijakan.
Beban Pajak
Pada tahun ini Pemerintah melakukan berbagai upaya demi mendapatkan dana segar untuk menambal APBN. Seperti biasanya, kebijakan yang sangat praktis dan tak perlu pusing tujuh keliling adalah lewat kenaikan pajak.
Pemerintah resmi menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen. Kebijakan ini mulai berlaku pada Jumat 1 April 2022. Pemerintah mengklaim penetapan tarif PPN 11 persen ini didasarkan pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Alih-alih ingin melakukan perbaikan ekonomi masyarakat, dampak yang ditimbulkan dari kebijakan ini bisa jadi sanga besar. Pasalnya, beberapa objek yang menjadi target dari pajak ini menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti sembako dll.
Berdasarkan hasil survei nasional oleh Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA), sekitar 77,37 persen responden menolak kenaikan PPN 11 persen ini (Kompas.com). Menurut para ekonom, kenaikan PPN menjadi 11 persen diperkirakan akan mendorong inflasi di atas 1,4 persen. Kenaikan PPN juga akan berpengaruh pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik untuk nonsubsidi, serta penyesuaian harga liquefied petroleum gas (LPG) nonsubsidi untuk ke sekian kalinya.
Kebijakan ini tentu sangat berbahaya. Kebijakan ini akan semakin menambah beban hidup masyarakat karena berefek meningkatkan harga sejumlah barang dan jasa ditingkat konsumen.
Rencana Kenaikan Pertalite, Listrik, Gas Dll
Pemerintah mewacanakan kenaikan tarif dasar listrik, BBM jenis pertalite dan solar serta Gas LPG 3 kg. Dalihnya, harga produksi meningkat imbas harga minyak dunia yang melambung. Padahal, Pertamina juga baru saja menaikkan harga Pertamax di seluruh Indonesia.
Wacana ini dipertegas oleh Kemenko Perekonomian Montty Girianna yang menyatakan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi itu mesti dilakukan untuk dapat memangkas beban subsidi dan kompensasi yang makin membesar hingga triwulan pertama tahun ini (Bisnis.com).
Dampak kenaikan dari satu jenis energi seperti LPG 3 kg terhadap daya beli 40 persen kelompok pengeluaran terbawah sangat besar. Bahkan bisa mengakibatkan kenaikan inflasi sebesar 5 persen di 2022 jika Pemerintah bersikeras naikkan harga pertalite dan LPG 3 kg secara bersamaan. Kenaikan inflasi tersebut akhirnya dapat berimbas kemana-mana. Termasuk naiknya angka kemiskinan di Indonesia.
Dampak lainnya adalah kemungkinan adanya gejolak sosial yang terjadi di masyarakat karena ketimpangan semakin lebar (Tirto.id).
Dampak lainnya lagi adalah penutupan sejumlah UMKM di sektor makanan-minuman karena tidak kuat menanggung naiknya biaya produksi. Jika UMKM gulung tikar, betapa banyak yang jadi pengangguran baru. Apalagi 97 persen serapan tenaga kerja ada di UMKM.
Persoalan Minyak Goreng
Problem krusial lainnya yang menambah beban hidup masyarakat Indonesia akhir-akhir ini tidak lain adalah melambungnya harga minyak goreng. Barang yang satu ini selain melambung, beberapa waktu lalu sempat hilang dari pasaran. Anehnya, pada saat bersamaan Pemerintah telah melaporkan bahwa produksi sangat melimpah. Ini semakin menguatkan oponi publik ada permainan mafia yang mencoba mengeruk keuntungan dari minyak goreng.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga adanya permainan mafia dalam masalah minyak goreng ini, yakni praktik kartel hingga dugaan menimbun. Minyak goreng ditimbun oleh pelaku usaha agar mendapatkan keuntungan lebih banyak (Finance.detik.com).
Padahal Pemerintah sempat menyampaikan bahwa harga minyak goreng akan turun usai tahun baru 2022. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Dikutip dari Kompas.com, 30 Desember 2021, Airlangga menyebut harga berbagai komoditas termasuk minyak goreng turun usai tahun baru 2022.
Kenaikan harga tidak hanya terjadi pada minyak goreng. Masyarakat dihadapkan pada kenaikan harga-harga kebutuhan yang melambung. Sejumlah harga barang pokok juga terpantau belum juga turun sejak akhir tahun lalu
Kenaikan sejumlah bahan pokok dan kebutuhan lainnya ini jelas makin memberatkan masyarakat. Bahkan keputusan Pemerintah ini bisa mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022.
Padahal stabilitas harga ini merupakan kunci untuk memperkuat pemulihan ekonomi. Jadi seharusnya Pemerintah bisa untuk mencegah kenaikan harga seperti BBM, LPG kemudian tarif listrik, kata Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira (Liputan6.com).
Kebijakan Kontradiktif
Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit (CPO) terbesar di dunia setelah sebelumnya menyalip Malaysia. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia terutama terkonsentrasi di Kalimantan dan Sumatera. Sebagian perkebunan kelapa sawit besar lainnya berada di Sulawesi. Kini juga perlahan mulai banyak merambah Papua.
Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), total produksi minyak sawit Indonesia pada 2021 mencapai 51,3 juta ton. Rincian produksinya terdiri dari minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebanyak 46,88 juta ton dan minyak inti sawit kasar (crude palm kernel oil/CPKO) 4,41 juta ton.
Dari jumlah persediaan tersebut, sebanyak 34,23 juta ton minyak sawit Indonesia pada 2021 digunakan untuk ekspor. Konsumsi minyak sawit dalam negeri di 2021 mencapai 18,42 juta ton atau naik 6% dari konsumsi tahun 2020 sebesar 17,34 juta ton (Katadata.co.id).
Berdasarkan data tersebut, banyak pemilik perkebunan kelapa sawit adalah para pengusaha yang masuk dalam deretan orang terkaya di Indonesia. Selain memiliki pabrik kelapa sawit sendiri, mereka juga memiliki perkebunan kelapa sawit hingga puluhan ribu hektare, bahkan ratusan ribu hektare di atas tanah milik negara yang dijadikan Hak Guna Usaha (HGU). Bahkan 6 dari 10 orang terkaya di republik ini adalah konglomerat sawit (Kompas.com).
Perhatian Pemerintah sangat besar terhadap para pengusaha kelas kakap ini. Berbagai paket kebijakan memberikan keringanan kepada para pengusaha, namun makin memberatkan masyarakat. Subisidi untuk rakyat dihilangkan. Sebaliknya, subsidi untuk konglomerat terus disuntikkan. Sebagaimana dikutif dari CNN Indonesia, lima perusahaan sawit berskala besar mendapatkan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan total mencapai Rp7,5 triliun sepanjang Januari—September 2017.
Lima perusahaan sawit itu terdiri dari Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources dan Louis Dreyfus Company (LDC). Berdasarkan data yang diperoleh CNNIndonesia.com, Wilmar Group mendapatkan nilai subsidi terbesar, yakni Rp 4,16 triliun. Nilai subsidi untuk perusahaan sawit lainnya adalah Darmex Agro Group (Rp915 miliar) dengan setoran Rp 27,58 miliar; Musim Mas (Rp 1,54 triliun) dengan setoran Rp 1,11 triliun; First Resources (Rp 479 miliar) dengan setoran Rp 86,95 miliar; dan LDC (Rp 410 miliar) sebesar Rp 100,30 miliar (Cnnindonesia.com).
Paket kebijakan seperti tax amnesty juga diberlakukan Pemerintah beberepa waktu lalu. Wajar jika muncul statemen di masayarakat, orang kaya diservis banyak oleh Pemerintah, sementara masyarakat biasa terus diperas lewat pajak ini dan itu. Bagi mereka yang berstatus pengusaha, keringanan pajaknya semakin bertambah. Sebutlah, PPh badan akan turun menjadi 20 persen. Belum lagi, tax holiday dan lain sebagainya. Padahal jelas-jelas tax amnesty yang selama ini di gembor-gemborkan gagal meningkatkan rasio pajak.
PPN sembako dan tax amnesty merupakan kebijakan ironi. Pasalnya, barang yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat luas malah dipajaki, namun Pemerintah malah memberikan pengampunan pajak kepada orang yang berpotensi selama ini justru tidak tertib dalam menjalankan kewajiban perpajakannya (Cnnindonesia.com).
Ironi Sawit
Dengan kekayaan yang melimpah, tanah yang subur serta garis pantai yang terbentang dari sabang sampai merauke sejatinya membuat negeri ini menjadi kaya dan rakyatnya sejahtera. Dengan membabat jutaan hektar hutan yang disulap menjadi perkebunan kelapa sawit seharusnya rakyat di negeri ini bisa menikmati hasilnya melimpah, bukan musibah.
Dikutip dari laman resmi Kementerian Perdagangan Dalam Negeri dan Halehwal Pengguna (KPDNHEP), Jumat (7/1/2022), pemerintah Malaysia menetapkan harga minyak masak, sebutan minyak goreng di Malaysia, untuk kemasan sederhana adalah sebesar RM 2,5 atau setara dengan Rp 8.500 (kurs Rp 3.400) (Kompas.com). Pertanyaan mudahnya, mengapa Malaysia mampu menjual harga lebih murah, padahal produksi minyaknya tidak lebih besar dari negeri kita?
Tentu sangat ironi dengan kekayaan yang melimpah tersebut tidak membuat negeri ini lebih sejahtera. Sebagaimana peribahasa: ayam mati di lumbung padi. Peribahasa itu menggambarkan negeri kita sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan kapasitas produksi 51,3 juta ton, tetapi anehnya harga minyak mahal dan langka.
Semua problem tersebut diduga kuat dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalis. Kapitalismelah yang menjadi penyebab utamanya. Sistem kapitalis yang menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan umum kepada swasta atau individu telah merampas hak-hak masyarakat secara umum.
Kapitalisme1 sangat erat hubungannya dengan kepentingan individu.2 Menurut Adam Smith, jika setiap individu diperbolehkan mengejar kepentingan sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah, maka seakan ia dibimbing oleh kekuatan tangan yang tak tampak (the invisible hand) untuk mencapai yang terbaik pada masyarakat. Kebebasan ekonomi tersebut juga diilhami oleh pendapat Legendre yang ditanya oleh Menteri Keuangan Francis pada masa pemerintahaan Lois XIV pada akhir abad ke 17, yakni Jean Bapti Coulbert. “Bagaimana kiranya Pemerintah dapat membantu dunia usaha?” Legendre menjawab, “Leisez nous faire” (Jangan mengganggu kita [Leave us alone]).”
Kalimat ini kemudian dikenal dengan istilah laessez fire. Dewasa ini leissez fire diartikan sebagai tidak adanya intervensi Pemerintah sehingga timbullah individualisme ekonomi dan kebebasan ekonomi.3
Dalam sistem ekonomi kapitalis berlaku free fight liberalism (sistem persaingan bebas). Siapa yang memiliki modal dan mampu menggunakan kekuatan modal (capital) secara efektif dan efisien akan dapat memenangkan pertarungan dan bisnis. Paham ini juga telah menginternalisasi dalam kekuasaan sehingga terbentuk oligarki. Mereka adalah sekelompok pengusaha yang mampu mengendalikan pemerintahan termasuk mampu mendikte kebijakan. Paham ini mengagungkan kekuatan modal sebagai syarat memenangkan pertarungan ekonomi,4 termasuk diantaranya distribusi kepemilikan di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, kekayaan alam yang seharusnya dinikmati rakyat dan terdistribusi secara adil dan merata justru hanya berputar pada segelintir orang.
Padahal dalam pandangan Islam, kekayaan milik umum seperti minyak sawit, bahan bakar minyak, listrik dan gas serta sumber energi lainnya merupakan milik umum yang wajib dikelola oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.5 Rasulullah saw. telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadis. Dari Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi saw. bersabda, “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud).
Anas r.a. juga meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas ra. tersebut dengan menambahkan: wa tsamanuhu haram (dan harganya haram). Artinya, dilarang untuk diperjualbelikan.
Barang-barang tambang seperti minyak bumi besarta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, minyak sawit, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai, dan laut semuanya telah ditetapkan oleh syariah sebagai milik umum. Negara harus mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Cara itu diharapkan mampu memberikan keadilan ekonomi dan mengurangi beban hidup masyarakat.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Dr. Julian Sigit; Ketua Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI)]
Catatan kaki
1 Lihat Morthon Fried , The Evolotion of political Society (New York; Random House, 1970), 15-23
2 Lihat Samuelson and Wilian D. Nordhaus, Economics (Mc Graw-Hill, 1995), 5
3 Lihat Harold Faulkner, the decline of Leissez faire (new York; Holme 1978). 15-20
4 Lihat John B. Clark, Philosophy of wealth (Boston: Gixn & company, 1987), 9-15
5 Lihat Taqiyudin Al-Nabhânî, Nidhâm al-Iqtisâdi fî al-Islâm (Beirut; Dar al Ummah, 1990).
Rubrik
Nasional