Azab adalah konsekuensi yang pasti dirasakan oleh setiap pendosa. Tentu jika mereka tidak segera bertobat sebelum ajal mendekat. Azab—bagi umat Muhammad saw.—memang bakal dirasakan di akhirat. Tidak di dunia. Itulah azab neraka. Namun, justru karena itulah banyak orang tak bisa mencerna. Apalagi merasa. Bahwa azab neraka itu sesungguhnya ada. Nyata. Meski tentu tak bisa diindera secara kasatmata. Akibatnya, banyak orang terlena. Banyak yang lupa. Banyak yang tak bisa menghadirkan dalam alam pikiran dan perasaannya tentang betapa dahsyatnya azab neraka.
Karena itulah, banyak orang tak merasa takut berbuat dosa. Bahkan banyak yang bangga dengan dosa-dosa. Buktinya, banyak orang yang berbuat dosa tak lagi diam-diam. Tak lagi malu-malu. Mereka berbuat dosa secara terang-terangan. Bahkan dengan penuh kebanggaan. Jangankan sekadar pamer aurat, lenggak-lenggok tiktokan, atau sekadar pacaran. Bahkan zina pun banyak divideokan. Lalu tak sedikit yang mereka serbarluaskan di ragam media sosial.
Demikian pula perilaku seks menyimpang lainnya seperti LGBT. Banyak pelakunya yang mulai tak sungkan-sungkan. Bahkan dengan penuh percaya diri mengekspresikan diri. Tak ada perasaan bersalah sama sekali. Seolah tak pernah terlintas dalam alam pikirannya, bahwa setiap dosa dan kemaksiatan pasti mengundang balasan yang mengerikan. Tidak di dunia, pasti akan dirasakan di akhirat.
Tak ketinggalan para penguasa dan pejabat. Tak takut untuk terus menzalimi rakyat. Korupsi pun makin berani. Bahkan dengan kadar yang makin besar. Bukan lagi ratusan juta, miliaran, atau ratusan miliar rupiah. Bahkan mereka bisa mengkorupsi triliunan rupiah. Mereka ini, jangankan takut dengan azab di akhirat yang tak terlihat. Bahkan hukuman penjara di dunia tak membuat mereka takut dan efek jera.
Agar tidak seperti mereka yang gemar melakukan dosa, maka di sinilah pentingnya setiap Muslim untuk selalu menyadari: Pertama, bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara. Juga amat singkat. Tentu jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal abadi. Nikmatnya juga sementara, singkat dan amat sedikit. Tentu dibandingkan dengan nikmat surga yang abadi, berlimpah dan tak terbatas. Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah! Tidaklah nikmat dunia ini dibandingkan dengan nikmat akhirat kecuali seperti jari telunjuk salah seorang di antara kalian yang dicelupkan ke dalam lautan, maka perhatikanlah tetesan air yang menempel saat telunjuk itu diangkat (dibandingkan dengan banyaknya air dan luasnya lautan, pen.).” (HR Muslim).
Karena itu Ibn Daqiq al-’Id rahimahulLâ h berkata, “Di antara perkara yang sudah dimaklumi adalah bahwa semua kenikmatan yang ada di dunia ini tidak sebanding dengan sebiji sawi pun dari kenikmatan yang ada di surga.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâ ri, 6/14).
Karena itu pula, menurut Imam Ibnu al-Qayyim rahimahulLâ h, bagi seorang Muslim: “Cuan (laba/keuntungan) terbesar di dunia ini adalah saat engkau menyibukkan dirimu setiap waktu dengan perkara-perkara yang lebih utama dan lebih bermanfaat untuk bekal dirimu saat berpulang (menghadap Allah SWT di akhirat nanti).” (Ibnu al-Qayyim, Al-Fawâ ‘id, hlm. 458).
Kedua, bahwa kematian adalah perkara yang pasti dirasakan oleh setiap manusia. Kematian datang tiba-tiba. Kedatangannya tak pernah diketahui dan disadarai oleh seorang manusia pun. Saat manusia mati, semua nikmat berhenti. Semua kesenangan dunia berakhir. Yang tinggal adalah kesiapan setiap manusia untuk menjalani segala konsekuensi: pahala atau dosa; surga atau azab neraka.
Dalam hal ini Imam Ahmad berkata, “Dunia adalah negeri tempat beramal (baik atau buruk). Akhirat adalah negeri tempat menerima balasan (pahala atau siksa). Siapa saja yang tidak banyak melakukan shalih di dunia, dia pasti akan merasakan penyesalan di akhirat.” (Al-Baihaqqi, Az-Zuhd, hlm. 282).
Karena itu penting bagi setiap Muslim untuk selalu mengingat mati. Bahkan kata Ibnu Mas’ud ra., “Cukuplah kematian menjadi nasihat (bagimu).” (Ibnu al-Mubarak, Az-Zuhd, hlm. 22).
Orang yang sering mengingat mati akan cenderung meremehkan dunia. Tak akan silau dengan dunia. Kata Abu Ishaq al-Qirwani rahimahulLâ h, “Betapa remehnya dunia bagi siapa saja yang menjadikan al-Quran sebagai imamnya dan bayangan kematian selalu ada di hadapannya.” (Al-Qirwani, Zahr al-Adab wa Tsamr al-Albâ b, hlm. 142).
Selalu mengingat mati amatlah penting bagi setiap Muslim. Tidak lain agar ia selalu bersemangat untuk menyiapkan bekal amal shalih sebanyak-banyak untuk kehidupan di akhirat. Sebabnya, kata Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahulLâ h, nanti banyak orang yang akan menyesal setelah mati. Kata beliau, “Sungguh kebanyakan orang-orang yang telah diwafatkan berangan-angan bisa hidup kembali meski hanya sesaat saja agar bisa bertobat dan bersungguh-sungguh melakukan ketaatan. Padahal hal demikian adalah mustahil bagi mereka.” (Ibnu Rajab, Lathâ ‘if al-Ma’â rif, hlm. 727).
Ketiga, bahwa azab neraka adalah nyata dan pasti. Bukan khayalan dan angan-angan. Setiap pendosa yang tidak segera bertobat pasti akan merasakan kepedihannya. Jangankan azab neraka yang paling berat. Bahkan yang paling ringan pun begitu dahsyat dan mengerikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh siksaan yang paling ringan bagi penduduk neraka adalah saat ia memakai sandal dari api nereka, yang dengan itu dapat mendidihkan otaknya karena amat panasnya.” (HR Muslim).
Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]
Sumber: Azab – Al-Wa'ie (al-waie.id)
Rubrik
Nafsiyah