Yang Tak Pernah Bisa Kembali


Ini kisah nyata yang dituturkan seorang ibu jamaah pengajian saya. Di kantornya ada seorang Muslimah yang juga rekan sekerjanya yang hingga sekarang masih mengidap trauma; sebuah penyesalan yang belum bisa pupus.

Penyesalan itu diawali dari keinginannya mengambil kesempatan melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi yang ditawarkan kantor melalui program beasiswa ke luar negeri. Hati siapa yang tidak berhasrat dibiayai kuliah lagi. Ke luar negeri pula.

Sayang, ketika ia menyampaikan niatnya kepada suaminya penolakan yang didapat. Karena suami tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di tanah air. Tapi keinginannya yang menggebu membuat ia tak putus asa untuk terus membujuk suaminya agar mengijinkan ia berangkat ke luar negeri. Ini kan program beasiswa, tidak semua orang dapat kesempatan, ia memberi alasan. Lagipula, ini kan pendidikan, untuk mencari ilmu yang hukumnya wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah.

Bujukan demi bujukan membuat sang suami goyah. Meski dengan berat hati sang suami memberikan izin kepadanya untuk berangkat ke luar negeri.

Cihuy! Dengan segala persiapan yang dirasa matang, berangkatlah sang istri ke luar negeri diiringi dengan perasaan berat hati suami tercinta. Tapi suami seperti tak berdaya karena argumentasi yang dilontarkan sang istri begitu kuat.

Hari demi hari berlalu, sang istri menjalani kehidupan baru di luar negeri untuk menunaikan kewajiban mencari ilmu, meski tanpa didampingi suami tercinta. Tidak mengapa, bukankah ada ulama yang membolehkan istri bepergian tanpa mahram? Lagipula, ia akan menjalani hidup berbulan-bulan, mungkin menahun di sana. Bukankah itu berarti ia sudah menjadi mukim.

Sampai suatu hari jantungnya berguncang-guncang. Dari tanah air ia mendapat kabar mengejutkan bahwa sang suami meninggal dengan mendadak. Tanpa ada seorang pun di keluarganya yang tahu apakah sebelumnya ia menderita sakit ataukah tidak. Andaipun sakit, kepada siapa sang suami akan bercerita di tanah air.

Dengan perasaan terguncang, air mata bercucuran, sang istri saat itu juga mencari tiket pesawat untuk membawanya pulang ke tanah air. Entah mengapa, tidak ada satu pun flight kosong hari itu yang bisa membawanya pulang ke tanah air. Ia pun menggigil dilanda kepiluan. Semua teman dikontak untuk mendapatkan tiket pulang pada hari itu tapi hasilnya nihil.

Keesokan harinya ia kembali memburu tiket pulang, lagi-lagi tidak ada satu penerbangan pun yang bisa membawanya pulang. Semua full booked. Masya Allah. Sang istri mulai meratap dalam hati, membayangkan ia tidak bisa menyaksikan terakhir kali wajah suami tercinta atau memeluk jasadnya sebelum berpisah terakhir kali.

Memang itulah yang terjadi. Ketika pada hari berikutnya ia baru bisa mendapatkan tiket pulang, semua sudah berakhir. Jasad suaminya telah diurus sempurna dan telah dikebumikan. Sang istri hanya bisa menatap gundukan tanah merah, bertabur bunga, dan sekeping nisan di pusara suami tercinta.
Sang istri hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Entah apa tanggapan keluarga besarnya kepadanya. Ah, andai waktu itu ia tidak mengeluarkan ribuan argumentasi untuk membenarkan hasratnya berangkat ke luar negeri, mungkin ceritanya akan lain. Tapi pengandaian itu tidak akan pernah terjadi. Batu itu telah dilemparkan dan tak akan kembali lagi. Waktu telah berputar dan tak ada cerita kembali ke masa lalu.
Sekarang, cerita ibu jamaah pengajian itu pada saya, Muslimah itu amat berduka. Ia masih menyimpan kenangan hidup bersama suaminya yang rasanya sulit dilupakan, yang membuat awan mendung terus bergelayut di atas kepalanya.

Dari cerita ini, saya hanya ingin mengajak akhwat fillah, para istri, untuk merenung; sudahkah semua kegiatan Antunna berjalan benar-benar di atas keridhaan suami? Atau, maaf, akhwat fillah bisa mendapatkan ‘izin’ suami setelah ‘memperdaya’ suami? Mengeluarkan argumen mungkin dalil sehingga membuat suami tidak berkutik untuk melepas kepergian sang istri keluar rumah. Padahal, sebenarnya ia tengah membutuhkan kehadiran dan bantuan anda, istrinya tercinta.

Selalu ada suami yang tak berdaya ketika istrinya menanyakan “Abi ridha kan, kalau ummi pergi 2 hari ke acara pengajian?” Pun seandainya suami mengajukan keberatan ia akan diberondong dalil-dalil yang membuatnya memilih diam.

Duhai, Nabi SAW telah mengingatkan arti pentingnya ketaatan pada suami setelah kepada Allah dan Rasul-Nya:


لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ ، لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ ، لِمَا جَعَلَ اللهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Seandainya aku diperintah seseorang bersujud kepada orang lain, akan kuperintahkan para istri bersujud kepada suaminya dikarenakan Allah telah menjadikan bagi para suami hak atas istri-istri mereka.” (HR. Ad-Darimy, Abu Daud).

Suami yang baik akan mengizinkan istri beraktifitas dakwah dan mencari ilmu. Dan istri yang baik tahu kewajiban taat pada suami, haramnya membangkang pada mereka, serta bisa meminta izin kepada suami dengan cara yang haq. Semoga Allah memberkahi rumah tangga kita dan menjaganya tetap berada di atas syariat-Nya. []


Oleh: Ustadz Iwan Januar
Pakar Parenting Islam
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال