Minyak Goreng, Wanted!


Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menjelaskan, ada sejumlah masalah yang menyebabkan minyak goreng masih mahal dan langka.

Masalah pertama, yakni suplai penggunaan CPO untuk pangan khususnya pada minyak goreng yang terbatas. "Minyak goreng kan bahan dasarnya CPO, sementara dalam kurun waktu empat tahun terakhir, pemakaian CPO terbagi dalam bio diesel, dan bio diesel memakan porsi yang cukup banyak," ujarnya kepada Kompas.com, Minggu (20/2/2022).

Kemudian, permasalahan kedua dikarenakan adanya kebingungan dari sisi retailer. Walaupun pemerintah telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET), dalam penerapannya retailer masih menjual minyak goreng dari stok yang lama. Pemerintah pun diminta bertanggung jawab untuk mengganti selisih harga minyak goreng stok lama para pedagang dengan HET terbaru.

Permasalahan berikutnya lantaran terlambatnya antisipasi dari pemerintah. Kelangkaan minyak goreng juga semakin diperparah oleh ketidaksiapan pemerintah karena harga CPO di level internasional masih mengalami kenaikan.

Permasalahan keempat adalah faktor permainan berupa penimbunan minyak goreng. Seperti beberapa waktu lalu, Tim Satgas Pangan Sumatera Utara mengungkap keberadaan 1,1 juta kilogram minyak goreng yang diduga ditimbun di sebuah gudang salah satu produsen di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (Kompas.com,18/2/2022).

Belakangan diketahui, pemilik dari timbunan minyak goreng di gudang tersebut adalah anak perusahaan dari Grup Salim milik konglomerat Anthony Salim, yakni PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP). Terkait dugaan penimbunan minyak goreng ini, PT SIMP memberikan klarifikasi. Melalui keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Sabtu (19/2/2022), manajemen SIMP membantah dugaan penimbunan minyak goreng.


Dugaan Kartel

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan masih menyelidiki dugaan kartel dalam kenaikan harga minyak goreng secara drastis. Terlebih, minyak goreng merupakan salah kebutuhan pokok masyarakat.

Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengatakan, kartel tersebut terlihat dari kompaknya para produsen CPO dan minyak goreng yang menaikkan harga minyak goreng. Para produsen minyak selama ini berdalih kenaikan harga akibat lonjakan harga CPO dunia. Menurut pengusaha minyak goreng, mereka harus membeli CPO dengan harga pasar internasional sebelum mengolahnya menjadi minyak goreng.

Alasan tersebut, menurut Ukay, kurang masuk akal. Ini lantaran perusahaan minyak goreng besar di Indonesia juga memiliki perkebunan kelapa sawit milik sendiri yang berada di atas tanah milik negara yang didapat melalui HGU. Selain itu, pasar industri minyak goreng di Indonesia cenderung mengarah ke struktur yang oligopoli.

KPPU mencatat dalam data consentration ratio (CR) yang dihimpun pada 2019, ada empat industri besar tampak menguasai lebih dari 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia. Beberapa pemain besar industri minyak goreng yang juga memiliki perkebunan kelapa sawit antara lain Wilmar, Grup Salim, Grup Sinarmas, Musim Mas, hingga Royal Golden Eagle Internasional milik taipan Sukanto Tanoto (Kompas.com, 2/2/2022).


Kapitalisme Sekuler Biang Kisruh

Kisruh seperti ini wajar saja terjadi. Bahkan tidak hanya pada kebutuhan pangan akan minyak goreng. Selama sistem yang menjadi panutan adalah kapitalisme sekuler. Sistem yang menjadikan kebebasan menjadi dasarnya. Sistem yang lahir atas bimbingan akal semata, hawa nafsu menjadi tak terkendali.

Dengan adanya paham kebebasan tersebut, akan memunculkan kebebasan dalam bertindak, berkata dan berkeyakinan.
Lebih jauh, ini akan tercermin dalam perilaku berkepemilikan. Dalam sistem ini, orang atau sekelompok orang diperbolehkan memiliki apa saja selama punya modal. Tidak perduli dari mana akan diperoleh modal.

Sistem aturan dibuat juga semau yang memiliki modal dan kekuasaan. Bisa jadi pemilik modal dan penguasa bersimbiosis mutualis. Saling mendukung untuk mengambil keuntungan satu sama lain. Atau lebih jauh lagi, pengusaha menjadi penguasa.

Adanya indikasi bahwa kebijakan pemerintah atas DMO (Domestik Market Obligation) minyak goreng diabaikan oleh korporasi produsen demi keuntungan sendiri dan mengorbankan

Tidak heran jika kemudian, penguasa seolah lamban bahkan tak punya gigi untuk segera mengatasi persoalan. Sebab segala kebijakan dilahirkan berdasarkan untung rugi. Hingga hubungan dengan rakyat hanyalah hubungan bisnis. Wajar jika pelayanan diberikan setengah hati. Itupun jika masih ada manfaat yang didapati. Inilah sejatinya wajah kapitalisme yang lahir dari akidah sekuler.


Islam Satu-satunya Pilihan

Islam adalah diin paripurna. Memiliki perangkat sistem yang komprehensif dan bisa digunakan sebagai solusi setiap masalah. Solusi yang tuntas perlu memperhatikan akar masalahnya, apakah karena kelangkaan, problem distribusi, ataukah ada pihak yang memang merusak kondisi ekonomi seperti monopoli hingga oligopoli atau kartel.

Problem kelangkaan bisa saja terjadi baik dalam sistem Islam ataupun tidak. Jika ini akar masalahnya, bagi rakyat perlu untuk bersabar, sementara penguasa perlu mencari jalan keluar untuk mengatasi kelangkaan tersebut.

Salamah bin Dinar (w. 140 H) pernah ditanya: “Wahai Abu Hâzim, tidakkah engkau perhatikan bahwa harga-harga melambung tinggi?” Maka beliau menjawab:

وما يُغِمُّكم من ذلك؟ إن الذي يرزقُنا في الرُخْصِ هو الذي يرزقنا في الغَلاء

“Lalu apa yang membuat engkau galau dengan hal tersebut? Sesungguhnya Yang Memberi Rizeki kepada kita saat harga murah, Dia pula yang memberi rizeki kepada kita saat harga-harga naik.”

Sungguh, bumi Allah itu luas, jika di satu daerah kekurangan sesuatu, kemungkinan besar di daerah lain kelebihan sesuatu tersebut. Pada akhir tahun 17 H, di Madinah dan sekitarnya terjadi musim paceklik parah yang dikenal dengan sebutan ‘âm ramâdah. Di Madinah memang kekurangan pangan, namun di daerah-daerah lain saat itu kelebihan. Imam at-Thabari menyatakan:

كَتَبَ عُمَرُ إِلَى أُمَرَاءِ الأَمْصَارِ يَسْتَغِيثَهُمْ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهَا، وَيَسْتَمِدَّهُمْ، فَكَانَ أَوَّلُ مَنْ قَدِمَ عَلَيْهِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي أَرْبَعَةِ آلافِ رَاحِلَةٍ مِنْ طَعَامٍ

“Umar ra telah menulis surat kepada penguasa-penguasa daerah, meminta bantuan dari mereka untuk penduduk Madinah dan sekitarnya. Bantuan pertama datang dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah sebanyak empat ribu unta yang dimuati makanan.”

Apabila kelangkaan diakibatkan oleh penimbunan, maka negara akan memaksa para pedagang, importir atau siapapun yang menimbun untuk mengeluarkan barangnya dan menjualnya. Jika efeknya besar, pelakunya bisa mendapat sanksi tambahan sesuai kebijakan pemerintah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan ia lakukan.

Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah SAW melarang penimbunan makanan.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Begitu pula jika karena rantai distribusi yang kurang atau tidak lancar. Negara di dalam Islam akan bersegera memecahkannya.

Selanjutnya negara akan mencegah monopoli ataupun praktek kartel sebab kebutuhan akan minyak goreng termasuk kebutuhan pokok akan pangan. Dan negara tidak akan memberlakukan kebijakan satu harga sebab pematokan harga di dalam Islam dilarang. Faktanya setiap penjual bisa saja berbeda modalnya.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslim untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak.” (HR Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).

Kebijakan lainnya, negara juga akan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi bahan baku pangan. Bahkan negara mendorong warganya menghidupkan tanah mati dengan modal dari negara jika diperlukan. Tanpa kompensasi apapun. Bahkan bisa jadi diberikan subsidi cuma-cuma.

Terkait pemanfaatan lebih lanjut dari minyak goreng yang disebutkan adalah untuk bahan baku biodiesel. Negara akan melihat urgensitasnya. Negara di dalam Islam akan berupaya menempuh kebijakan pemenuhan kebutuhan bahan bakar melalui diversifikasi energi. Begitu banyak sumber energi yang bisa dikembangkan. Dan negara punya cukup banyak sumber dana untuk melakukan riset serta pengembangan sumber-sumber energi dan bahan bakar. Dari kepemilikan umum saja seperti lautan, hutan dan isinya, termasuk tambang, negara sudah pasti mendapatkan dana segar melimpah. Yang semua akan dikelola hanya untuk rakyat. Sebab negara di dalam Islam memang berfungsi sebagai pelayan dan pelindung.Tidak seperti hari ini, negara hanya mengandalkan pajak dan hutang dan berfungsi layaknya pebisnis dengan rakyatnya.

Negara di dalam Islam juga akan menetapkan bahwa kebutuhan dalam negeri harus didahulukan daripada ekspor.
Dan ini benar-benar akan dipantau. Jika kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi, negara bisa saja mengekspor dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Inilah serangkaian tata kelola pemenuhan kebutuhan pangan di dalam Islam terkait solusi kelangkaan minyak goreng hari ini. Dengan negara yang berperan penuh sebagai raa'in atau pelayan dan junnah atau pelindung. Masyarakat di dalam sistem Islam akan mendapat jaminan kesejahteraan secara merata dalam pemenuhan kebutuhannya.

Wallahu a'lam. []


Oleh: Nurul Hidayati
Sahabat TintaSiyasi
Sumber : https://www.tintasiyasi.com/2022/03/minyak-goreng-wanted.html
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال