Bolehkah Saya Cuti Berdakwah?

 

Mungkin, di benak orang-orang yang berjalan di lapangan dakwah sempat terpikir pertanyaan begitu. Da’i juga manusia, bisa lemah lahir dan batinnya. Dia bisa kelelahan fisik dan mentalnya. Agenda kegiatan dakwah yang bertubi-tubi bukan tidak mungkin membuat daya tahan fisiknya merosot; lelah dan bisa juga sakit.

Mentalnya juga bisa terkapar misalnya karena beban dakwah yang dia rasakan berat, penolakan di sana dan di sini, tekanan dari orang-orang yang membenci dakwah, intimidasi dari rezim, semua bisa membuat mentalnya drop seperti baterai ponsel yang terlalu banyak multitasking.

Belum lagi persoalan pribadi, keluarga dan usaha. Bisa jadi seorang pengemban dakwah ada konflik dengan istrinya – apalagi kalau jumlahnya lebih dari satu –, pusing mendidik anak, usaha yang macet, memikirkan gaji karyawan dan sebagainya.

Jadi muncul pertanyaan; bolehkah saya cuti berdakwah? Tidak perlu kontak tokoh? Tidak perlu buat tulisan dakwah? Berhenti dari ikut kajian rutin dan mengisi kajian?

Jawabannya sudah pasti bukan diserahkan pada akal dan hati pemiliknya, tapi pada yang menugaskan kewajiban dakwah; Allah SWT.

Berdakwah adalah fardlu kifayah. Suatu kewajiban yang bila ditunaikan sempurna oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban itu atas yang lain. Firman Allah SWT.:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (TQS. an-Nahl: 125).

Dakwah juga mesti dikerjakan dengan sungguh-sungguh, tidak asal-asalan. Sebagaimana pesan Nabi SAW:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْ عِنْدِهِ ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaknya kalian betul-betul melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar atau (jika kalian tidak melaksanakan hal itu) maka sungguh Allah akan mengirim kepada kalian siksa dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya (agar supaya dihindarkan dari siksa tersebut) akan tetapi Allah Azza wa Jalla tidak mengabulkan do’a kalian.” (HR Ahmad dan at-Tirmidzi dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’)
Jadi, karena dakwah ini fardhu kifayah, menjawab pertanyaan soal cuti dakwah, kembalikan saja pada hukum asalnya; apakah kewajiban dakwah sudah paripurna dilaksanakan sebagian saudara kita? Apakah syariat Islam dan Khilafah sudah tegak dengan kaffah?

Kalau sudah, bolehlah kita cuti berdakwah. Sebab, hukum berdakwah yang fardlu kifayah ini telah ditunaikan dengan tuntas oleh sebagian saudara-saudara kita.

Kalau belum, maka fardlu kifayah ini masih menggelayuti pundak kita. Ia masih jadi kewajiban sampai akhirnya tuntas. Sekarang mari bertanya pada diri kita; bila ayah Anda meninggal lalu belum ada yang mengurus jenazah beliau sampai tuntas, jasadnya masih terbaring kaku di atas ranjang, lalu Anda bilang pada keluarga dan tetangga kanan kiri, “Maaf, saya off dulu dari mengurus jenazah bapak. Saya mau cuti.” Hmm, kalau Anda tidak digampar orang satu rumah, itu masih bagus.

Mengurus jenazah dan berdakwah sama-sama fardhu kifayah. Sama-sama wajib sampai tuntas pengerjaannya.

Tekanan rezim juga bukan alasan boleh cuti dari dakwah. Lho, di masa Nabi, para sahabat alami tekanan dakwah yang luar biasa di Mekkah. Bilal, Khabab bin al-Art, sampai Abu Bakar ra., mesti berdarah-darah saat berdakwah. Tapi sepengetahuan saya yang awam ini, tidak ada riwayat sahabat yang minta cuti dari dakwah. Semua tetap berdakwah dan siap menjadi martir di jalan dakwah.

Ada sih kondisi dimana seseorang boleh sementara waktu mengutamakan yang lain ketimbang dakwah. Ini bukan cuti, tapi memprioritaskan amal lain dibandingkan dakwah. Misalnya, ketika anak dan istri menjerit kelaparan karena kebutuhan pokok mereka belum terpenuhi, maka seorang lelaki harus bekerja dulu sampai kebutuhan asasiyah keluarga terpenuhi, barulah ia berdakwah. Karena mencari nafkah adalah fardhu ain bagi setiap kepala rumah tangga.

Memprioritaskan cari nafkah itu pun sampai batas nafkah pokok terpenuhi, bukan menunggu sampai menjadi miliarder, punya mobil Rubicon, rumah tipe villa, dll. Artinya, ketika keluarga sudah terlapangkan kebutuhan pokok, ia harus kembali berdakwah dengan sungguh-sungguh.

Jadi, teruslah berdakwah meski Anda sedang merasa lelah, meski merasa dalam intimidasi penguasa. Balasan yang akan Anda dapat akan sepadan dengan beratnya beban yang Anda rasakan sekarang ini. Para ulama seperti Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320) mengatakan:

مَا كَانَ أَكْثَرُ فِعْلاً كَانَ أَكْثَرُ فَضْلاً

“Amalan yang lebih banyak pengorbanan, lebih banyak keutamaan.”

Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur;

العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ


“Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.”

Teruslah berdakwah. Dan kalau ada kawan yang berkata dia minta izin cuti berdakwah, berikan nasihat dan hiburan. Kalau masih ngotot juga, sampaikan saja; Anda mau mati dalam keadaan meninggalkan kewajiban agama?

Wassalam.[]


Oleh: Ustadz Iwan Januar
(Siyasah Institute)
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال