Jika TDL Berdasar Harga Minyak Dunia, Direktur FORKEI: Itu Sangat Kurang Bijaksana


Menanggapi rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) berdasarkan kenaikan harga minyak dunia, Direktur Forum Kajian Kebijakan Energi Indonesia (FORKEI) Agus Kiswantono, S.T., M.T. menilai hal itu sangat kurang bijaksana.

"Penentuan tarif listrik jikalau hanya berdasarkan kenaikan harga minyak dunia, itu sangat kurang bijaksana," tuturnya pada acara Kabar Petang: Tarif Listrik Nyetrum Rakyat di  YouTube Khilafah News, Sabtu (15/01/2022).

Ia memaparkan alasannya, potensi Indonesia yang memiliki beragam sumber energi primer selain minyak bumi, baik yang bisa diperbarui (renewable), maupun yang tidak bisa diperbarui (nonrenewable).

"Contohnya potensi alam Indonesia, mulai dari dalam perut bumi bisa batu bara, gas, minyak, atau apapun. Kemudian, sorot matahari pada negara Zamrud Khatulistiwa yang luar biasa selama satu tahun hingga tanaman atau tumbuhan yang sangat banyak. Semua itu merupakan energi primer yang bisa dikonversi menjadi energi listrik," ungkapnya.

Menurutnya, sebelum pemerintah menaikkan tarif listrik karena kenaikan minyak mentah dunia, sebaiknya melihat potensi-potensi sumber enegi primer tersebut di atas.

"Dari potensi-potensi tersebut, kemudian dikalkulasi apakah layak atau tidak, bisa atau tidak. Dengan beragam kekayaan yang luar biasa tersebut diperlukan suatu reorientasi sebelum tiba-tiba menjadikan minyak mentah sebagai standardisasi," bebernya.

 

Negara Hadir Sebagai Pelayan

Bung Agus sapaan akrabnya menilai, sebesar apapun potensinya, jika negara tidak hadir untuk mengelolanya dengan base-on melayani pasti akan menjadi masalah besar.

"Perlu dijelaskan, bahwa negara hadir untuk melayani, sementara jikalau swasta yang hadir tentu untuk mencari profit sebesar-besarnya," jelasnya.

Direktur FORKEI tersebut menilai bahwa listrik sangat dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga tarif listrik harusnya murah. Karena, akan berdampak pada sektor-sektor lainnya.

"Sayangnya ini tidak terjadi link and matching, artinya mereka berdiri sendiri-sendiri. Misalnya, batu bara ada supply sendiri, kemudian listrik ada operator sendiri," katanya.

Menurutnya, hal tersebut akan menjadikan listrik mengikuti harga pasar. "Pertanyaannya, potensi negara untuk mengelola inilah yang diperlukan sekarang. Bukan hanya sekadar mengikuti rotasi pasar," imbuhnya.

Ia beralasan, jika mengikuti rotasi pasar maka pelaku pasar akan menjadikan harga termahal. “Kalau harga yang berlaku adalah harga  termahal, padahal Indonesia punya potensi sumber energi primer yang bisa digunakan untuk konversi listrik, tentunya akan menimbulkan masalah besar," pungkasnya.[] 

Heni Trinawati

 


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال